Search in the Quran
Search in Quran:
in
Download Islamic Softwares (FREE)
Get Free Code
Powered by www.SearchTruth.com
Search Islamic Directory
Keyword:
Free Web Counter
hit Counter Credits

    Powered by Blogger

    My Daily Thoughts

Wednesday, March 22, 2006

SAKSI

SAKSI SEBAGAI BUKTI DI DEPAN HAKIM
DI PENGADILAN TIDAK MEMBEDAKAN
JENIS KELAMIN
Oleh : Drs. Anshori, Lc, M.Ag. Ketua LPPI-IIQ
A. Pendahuluan
Dalam islam ada beberapa isu kontroversi berkaitan dengan relasi jender, antara lain, asal usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak hak reproduksi, hak thalaq perempuan serta peran publik perempuan.[1]
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi subtansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender.[2]
Penulis sepakat untuk meninjau kembali penafsiran ayat-ayat yang bernuansa jender dalam rangka pemberdayaan perempuan dan sekaligus untuk meluruskan pandangan negatif tentang perempuan yang selama ini telah mendominasi pandangan kebanyakan masyarakat manusia. Namun kita harus hati-hati dalam meluruskannya, jangan sampai membuat bias baru yang juga mengatasnamakan ajaran islam.
Arief Subhan mengutip pendapat Muhammad Quraish Shihab yang menyatakan:”Bahwa masalah korelasi antara ayat-ayat al-qur’an, ini layak mendapat perhatian khusus. Menurut Muhammad Quraish Shihab, setidak- tidaknya ini dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, salah satu isu tentang al-qur’an yang sering terdengar sumbang, kedua, terjadinya penafsiran al-qur’an yang bersifat parsial.”[3]
Masalah metodologi penafsiran al-qur’an menurut Muhammad Quraish Shihab merupakan lapangan yang paling mendesak untuk diadakan semacam pembaharuan, sebab sejauh ini para ulama masih bertengkar dalam soal ini. Di kalangan para pembaharu menurutnya membawa pemahaman baru, tetapi kebanyakan tanpa dibarengi oleh metodologi yang jelas, bahkan kesan dia, mereka memahami al-qur’an tidak utuh.[4]
Muhammad Mutawally Sya’rawi mengatakan:”Apabila suatu jenis makhluk yang bernama manusia dibagi dua jenis kelamin, maka harus kita yakini bahwa pembagian jenis itu semata-mata hanyalah merupakan pembagian tugas, dan setiap jenis mempunyai kekhususan, fungsi, kedudukan dan tugas masing masing. Apabila tugas dan kepentingan keduanya sama, tentunya cukup satu jenis saja. Sebagai contoh waktu dan zaman ada siang dan malam. Sebahagian orang mengira, bahwa siang dan malam adalah berlawanan, yang satu terang dan yang satu gelap. Padahal keduanya tidak berlawanan, siang bukan untuk melawan malam, begitu juga sebaliknya. Antara keduanya tidak bisa dicari perbandingannya. Masing-masing melaksanakan tugas yang tidak bisa dilakukan oleh yang lain. Sebagaimana (Q.S.Yunus/10 : 67).[5]
Menurut Muhammad Quraish Shihab:”Sangat sulit untuk menyatakan bahwa perempuan sama dengan laki-laki, baik atas nama ilmu pengetahuan maupun agama. Adanya perbedaan antara kedua jenis manusia itu harus diakui, suka atau tidak. Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan laki-laki dan bukan perempuan. Kaidah yang menyatakan” fungsi/peran utama yang diharapkan menciptakan alat, masih tetap relevan untuk dipertahankan. Tajamnya pisau dan halusnya bibir gelas, karena fungsi dan peran yang diharapkan darinya berbeda ! Kalau merujuk teks keagamaan baik al-Qur’an maupun hadis ditemukan tuntunan dan ketentuan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, fungsi dan tugas yang dibebankan mereka.[6]
Mengingat banyaknya permasalahan yang perlu dibahas dalam kaitan ayat-ayat yang bernuansa jender, maka dalam tulisan ini penulis membatasi hanya satu masalah yaitu tentang “Saksi sebagai alat bukti di depan hakim di Pengadilan tidak membedakan jenis kelamin.”
B. Pengertian Saksi
Saksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:”Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu pristiwa (kejadian), orang yang diminta hadir pada suatu pristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa pristiwa itu sungguh terjadi, orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa, orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan.[7]
Sedangkan menurut Muhammad Quraish Shihab:”Saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat suatu pristiwa –katakanlah tabrakan- maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu anda telah dapat dinamai saksi walaupun belum lagi melaksanakan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat berarti. Janganlah orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila mereka diminta. Memang banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu mereka perlu dihimbau. Printah ini adalah anjuran, apalagi jika sudah ada orang lain yang memberi keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya muthlak untuk menegakkan keadilan. [8]
C. Pendapat para pakar tentang saksi laki-laki dan perempuan
Ayat persaksian yang sering disoroti oleh para pakar jender adalah Q.S.al-Baqarah/2 :282 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (البقرة/2 : 282 )
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Menurut Amina Wadud bahwa maksud (Q.S.al-Baqarah/2 :282) adalah dua wanita tidak disebut saksi. Satu wanita ditunjuk untuk mengingatkan satunya lagi dia bertindak sebagai teman kerja sama (kolaborator). Meskipun wanita itu ada dua, masing masing berbeda fungsinya. Kemudian dia meruzuk Fazlur Rahman yang keberatan penerapan ayat ini secara harfiyah dalam semua transaksi di kemudian hari… Dengan demikian, ayat ini penting bagi keadaan tertentu yang bisa, dan sudah menjadi usang.[9]
Pembatasan mengenai transaksi finansial ini tidak berlaku pada persoalan lain. Permintaan akan dua wanita dan satu laki-laki untuk menjadi saksi perjanjian finansial bukanlah peraturan umum untuk partisipasi wanita, bahkan tidak untuk semua kesaksian. Permintaan lain untuk saksi hendaknya tidak untuk jender tertentu. Jadi siapa saja yang dianggap mampu menjadi saksi berhak menjadi saksi.[10]
Alasan Aminah Wadud dua orang perempuan dalam (Q.S.al-Baqarah/2:282) tersebut bukan sebagai saksi kurang jelas alasannya, karena dia berangkat bukan dari teks, tapi dari kondisi sosial masyarakat.
Nampaknya Aminah Wadud menggunakan metode bottom up yang sejalan dengan tafsir emansipatoris yang mengubah strategi top down ala tafsir teosentris menjadi bottom up yang mana tafsir tidak lagi berangkat dari teks, akan tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan.[11]
Sedangkan mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat menggunakan instrumen العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب yaitu berangkat dari teks, lalu mencari hikmah melalui ilmu-ilmu lainnya. Maka dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan dalam ayat itu tidak bisa diartikan lain kecuali apa adanya dalam teks.
Menurut Zaitunah Subhan:”Bahwa saksi merupakan salah satu alat bukti untuk dijadikan pertimbangan hukum dalam memutuskan suatu perkara. Maka al-qur’an berbicara mengenai persaksian ini secara gamblang. Namun dikalangan ulama masih ada saja perbedaan pendapat dalam masalah persaksian ini, sperti Zaitunah Subhan mengatakan:”Jika yang dimaksudkan al-Qur’an bahwa dua orang wanita diperlakukan sejajar dengan satu pria, di manapun masalah kesaksian ada (muncul), al-Qur’an akan memperlakukan wanita dengan cara yang sama. Namun, kenyataan yang ada tidak demikian. Dalam al-Qur’an terdapat tujuh ayat yang berkenaan dengan pencatatan kesaksian ini, yaitu Q.S.al-Baqarah/2 :282, al-Nisa/4 : 15, al-Maidah/5 :106, al-Nur/24 :4,6 dan 13 dan al-Thalaq/65:2, tetapi tidak satupun yang menetapkan bahwa dua orang saksi wanita sebagai pengganti satu saksi laki-laki.[12]
Namun penulis juga tidak melihat ayat-ayat yang disebutkan Zaitunah Subhan mempersamakan kesaksian laki-laki dan perempuan, justru yang terlihat adalah kesaksian laki-laki karena ayat-ayat tersebut menggunakan bilangan muannats (perempuan) yang menurut tata bahasa arab ma’dud (yang dibilang/dihitung) adalah mudzakar (laki-laki).
Kemudian selanjutnya Zaitunah mengatakan:”Karena pria dan wanita itu punya setatus yang sama, maka tentu menjadi saksi itu boleh pria atau wanita. Formula satu pria dan dua wanita merupakan suatu pengecualian khusus untuk transaksi bisnis, tidak dapat diperluas pada kesaksian kesaksian yang lain, disamping juga kini sudah banyak kaum wanita yang ahli di bidang bisnis. Masihkah ayat ini relevan ? Apakah masih diinterpretasikan dan diterapkan seperti zaman dahulu ? Kesaksian kesaksian yang disebutkan al-Qur’an tidak menentukan bahwa para saksi itu harus pria, misalnya dalam surat al-Maidah/5:106 (tentang kesaksian dalam wasiat). Kemudian surat al-Nisa/4 :15, al-Nur/24 :4, dan al-Thalaq/65 :2 tentang kesaksian dalam pembuktian perzinaan. [13]
Penulis sepakat dengan pernyataan Zaitunah Subhan yang menyatakan, bahwa tidak semua persaksian dua wanita dipersamakan dengan satu pria, tapi penulis tidak sepakat ketika Zaitunah mempertanyakan relevansi Q.S.al-Baqarah/2 :282 dengan konteks sekarang. Karena sama halnya menolak firman Allah, padahal Allah sudah jelas menegaskan dalam memberi kesaksian dalam utang piutang itu harus 2 orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Hal ini sejalan dengan pendapat M.Quraish Shihab yang menyatakan:” Kata saksi yang digunakan ayat ini شهيدين bukan شاهدين Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada-menurut Muhammad Quraish Shihab- yakni kalau bukan dua orang laki laki, maka boleh seorang laki laki dan dua orang perempuan dari saksi saksi yang kamu ridhoi, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.[14]
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab melontarkan pertanyaan, mengapa kesaksian dua orang laki laki, diseimbangkan dengan satu laki laki dan dua orang perempuan. Yakni seorang laki-laki diseimbangkan dengan dua orang perempuan ? Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa, maka seorang lagi, yakni menjadi saksi bersamanya mengingatkannya. Mengapa kemungkinan itu disebutkan dalam konteks kesaksian wanita. Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang, seperti diduga sementara ulama ? Atau karena emosinya sering tidak terkendali ? Menurut Muhammad Quraish Shihab tidak ini dan tidak itu. Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya.[15]
Muhammad Quraish Shihab selanjutnya menegaskan:”Al-Qu’an dan as-Sunah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria, suami dan isteri. Suami bertugas mencari nafkah dan di tuntut untuk memberi perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak-anak dan isterinya. Sedang tugas utama wanita atau isteri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Tidak jarang isteri para sahabat Nabi Muhamad saw. ikut bekerja mencari nafkah, karna suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang melakukan aktifitas dirumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut diatas, dan perhatian berbeda yang di tuntut terhadap masing-masing jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tanga, pastilah lebih kuat dari pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak tertuju kepada kerja, perniagaan termasuk hutang-piutang. Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan diatas ditetapkan. Dan karna Al-Qur’an menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tanga, atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini,wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang, baik karna suami tidak mengijinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria, karna itu demi menguatkan persaksian 2 orang wanita di seimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.[16]
Kemudian kata الفاحشة dalam Q.S.al-Nisa/4 : 15 bukan berarti berjina, atau orang yang melakukan homo seksual, tapi mereka yang mendatangi tempat tempat yang sangat buruk, wanita wanita yang mengunjungi tempat tempat tidak terhormat, hendaknya ditahan di rumah sampai mati, atau Allah memberi jalan keluar baginya berupa perkawinan.Wanita ditahan sedangkan pria tidak ditahan, tapi dicemoohkan, karena wanita tidak berkewajiban bertebaran di bumi mencari rizki, dan dengan demikian keberadaannya di rumah tidak membawa dambak negatip bagi diri atau keluarganya, berbeda dengan pria yang harus keluar mencari rizki.[17]
Kemudian pernyataan Zaitunah bahwa formula satu pria dan dua wanita hanya berlaku khusus pada transaksi bisnis, justru pada Q.S.al-Nisâ’/4 :15 tidak menyebut wanita sama sekali, tapi menyebut 4 saksi laki laki.
Hal ini kata Muhammad Quraish Shihab:”Terlihat dari kata اربعة dipahami, bahwa saksi itu laki laki, karena bila yang dimaksud saksi itu wanita, tentu menggunakan kata اربع tanpa ada huruf ta al-marbuthah , karena dalam kaidah bahasa arab, bila yang dihitung adalah wanita maka bilangan harus menggunakan bentuk mudzakar, dan sebaliknya jika yang dihitung adalah mudzakar, maka bilangan harus menggunakan bentuk muannats, sedangkan dalam ayat diatas menggunakan bilangan muannats, berarti yang dihitung adalah mudzakar (laki-laki).[18]
Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip perkataan al-Zuhri:” Telah berlalu masa Rasul saw. dan kedua Khalifah sesudah beliau, kebiasaan tidak menerima persaksian wanita dalam sanksi-sanksi yang bersifat hudud. Ini karena sejak semula al-Qur’an dan Sunnah bermaksud menghindarkan wanita dari tempat-tempat mesum, apalagi menyaksikan kedurhakaan yang sangat buruk.[19]
Begitu juga dalam Q.S.al-Nûr/24 : 13 mengenai para penyebar isu juga menggunakan kata اربعة yang tentunya saksi itu bukan perempuan, tapi laki laki, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Sedangkan Q.S.al-Maidah/5 :106 menurut sebab nuzul ayat ini adalah kasus Tamim al-Dari dan Adi Ibnu Badda keduanya adalah laki laki, mereka berdua sering mondar mandir ke Makkah. Suatu ketika mereka berdua ditemani oleh seorang pemuda dari Bani Sahm, bernama Budail Ibnu Abi Maryam menuju ke Syam. Dalam perjalanan pemuda itu jatuh sakit dan meninggal dunia, di suatu daerah yang tidak berpenduduk muslim. Sebelum wafatnya ia berwasiat kepada Tamim dan Adi agar menyerahkan harta peninggalannya kepada keluarganya, dengan menyertakan sepucuk surat yang menjelaskan barang barang yang ditinggalkannya. Salah satu diantaranya adalah wadah yang terbuat dari ukiran perak berwarna warni. Tamim dan Adi yang tidak mengetahui tentang surat itu menjual wadah tersebut dan menyerahkan sisa harta wasiat Budail kepada keluarganya. Ketika keluarga Budail menanyakan tentang wadah yang terbuat dari perak itu, Tamim dan Adi mengingkarinya, maka Nabi saw. menyumpah keduanya. Tidak lama kemudian yang hilang itu ditemukan pada seorang yang mengaku membelinya dari Tamim dan Adi. Keluarga Budail datang kepada Nabi saw. dan bersumpah bahwa kesaksian mereka lebih wajar diterima dari sumpah Tamim dan Adi. Maka Rasul saw. membenarkan dan memberi wadah tersebut kepada keluarga yang meninggal itu. Dalam riwayat lain diinformasikan bahwa Adi mengembalikan uang harga wadah yang dijualnya kepada ahli waris yang berhak menerimanya.[20]
Begitu juga Q.S.al-Nur/24 : 4, mengenai tuduhan berbuat zina menggunakan kata اربعة tidak dengan kata اربع yang berarti saksinya adalah laki laki.
Menurut hemat penulis semua ayat yang diungkapkan Zaitunah diatas tidak ada indikasi menyamakan saksi laki laki dan wanita, bahkan terkesan pada ayat- ayat tersebut semua saksi itu kaum lelaki.
Bahkan pernyataan Zaitunah diatas dia masih bimbang, dari satu sisi dia meralat pernyatan dia diatas, dari sisi lain dia meyakini adanya perbedaan laki laki dan perempuan dalam persaksian walaupun dia hanya memberlakukan dalam masalah transaksi bisnis, tapi dalam kesimpulan pernyataannya tetap dia mempertanyakan relevan dan tidaknya surat al-Baqarah/2: 282 untuk diterapkan seperti dahulu kala.
Penulis meragukan pernyataan Zaitunah yang masih bingung karena dia masih mempertanyakan relevansi ayat tersebut dengan kondisi sekarang, tapi tidak didukung dengan argumen yang kuat, penulis justru hawatir bila kebenaran muthlak itu diukur dengan hawa nafsu (keinginan seseorang) bukan mengacu kepada al-qur’an, sebagaimana ditegaskan Allah surat al-Mu’minun/23 :71 :
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ(.المؤمنون/23 : 71 )
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.
Memang dalam teks para ahli fiqih ada juga permasalahan yang cukup hanya disaksikan oleh seorang wanita, seperti masalah yang tidak boleh dilihat oleh kaum lelaki seperti melahirkan anak, keperawanan wanita dan aib-aib wanita yang lainnya yang tidak boleh dilihat oleh kaum pria.[21]
Memang ada ayat yang mempersamakan kesaksian antara laki laki dan perempuan seperti persaksian dalam masalah Li’an yang terdapat dalam (Q.S.al-Nur/24 :6-9) yaitu :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ(6)وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ(7)وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ(8)وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ(9 ( ( النور/24 : 6-9 )
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Kemudian Zaitunah Subhan mengatakan:”Jika kita melihat dari segi penggunaan bahasa, kata mudzakar tidak secara otomatis menunjuk pria, tanpa adanya penghususan, karena dalam bahasa arab kata mudzakar berlaku untuk pria dan wanita.[22]
Tapi sayangnya Zaitunah tidak mencontohkan kata mudzakar yang diartikan wanita, karena dalam tata bahasa arab semua kata mudzakar hanya dipergunakan untuk ma’na pria, begitu juga dalam al-qur’an setiap kata dzakar hanya diartikan pria, lain halnya dengan kata رجل memang bisa diartikan tokoh atau nenek moyang tentu tidak terbatas pada laki laki, melainkan bisa juga perempuan.
Anwar Jundi mengatakan:”Bahwa persaksian dua wanita sama dengan persaksian satu orang pria. Hal ini karena mempertimbangkan sifat kewanitaannya yang lemah lembut dan halus.”[23]
Menurut Muhammad Imarah:”Bahwa semua pendapat diatas mencampuradukkan antara الشهادة dan kata الاشهاد karena kata الشهادة adalah alat bukti yang dijadikan pegangan oleh Hakim dalam menyingkap keadilan yang didasarkan alat bukti kesaksian. Untuk melepaskan tuduhan tidak bisa alat bukti kesaksian itu ukuran diterima dan tidaknya diambil dari laki-laki atau perempuan, melainkan ukurannya adalah terpenuhinya keyakinan Hakim untuk membenarkan bukti kesaksian itu, tanpa melihat jenis orang yang menjadi saksi, apakah dia laki laki atau perempuan, tanpa melihat jumlah saksi. Sehingga apabila Hakim sudah yakin hatinya bahwa bukti itu sudah jelas, apakah dia berpegang pada kesaksian dua orang laki laki, atau dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan seorang perempuan, seorang laki-laki dan dua orang perempuan, seorang perempuan dan dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki atau seorang perempuan tidak terpengaruh laki-laki atau perempuan dalam kesaksian, yang digunakan Hakim adalah bukti yang nyata.[24]
Sedangkan Q.S.al-Baqarah/2 : 282 berbicara tentang masalah lain, bukan kesaksian dihadapan hakim, tapi berbicara tentang الاشهاد memberi kesaksian pada pemilik hutang untuk mengukuhkan ingatan atas hutangnya, bukan bukti kesaksian yang dipegang teguh oleh hakim dalam memutuskan antara persengketaan kedua belah pihak. Ayat tersebut hanya ditujukan kepada pemilik hutang, bukan kepada hakim, bahkan tidak ditujukan kepada semua pemilik hutang dan juga tidak dipersyaratkan harus sama jumlahnya dalam segala hal utang piutang, melainkan hanya ditujukan kepada pemilik hutang secara khusus.[25]
Dan kata الاشهاد memberi kesaksian dalam masalah hutang piutang harus dilakukan 2 orang laki-laki beriman, atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, persyaratan ini tidak diminta dalam perdagangan modern. Pemahaman yang demikian dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H./1263-1328 M), oleh muridnya Ibnu al-Qoyyim (691-751 H./1292-1350 M.), Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M.) dan Mahmud Syaltut (1310-1383 H./1893-1963).[26]
Muhammad Imarah mengutip perkataan Ibnu Taimiyah:”Bahwa al-qur’an tidak menyebut dua saksi lelaki atau satu laki-laki dan dua perempuan dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh hakim, melainkan al-qur’an menyebutkan dua macam pembuktian (Q.S.al-Baqarah/2 : 282). Dalam ayat ini Allah memerintahkan mereka dalam rangka menjaga hak mereka dengan dua cara pertama, ditulis dan kedua dengan cara kesaksian dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.[27]
Semua ini merupakan nasehat untuk mereka, dan mendidik serta petunjuk bagi mereka yang ingin menjaga hak haknya. Menjaga hak merupakan sesuatu dan hakim memutuskan hukum dengan sesuatu merupakan hal yang lain pula. Maka cara memutuskan hukum lebih luas dari kesaksian dua orang laki-laki atau dua orang perempuan.[28]
Seorang hakim dibolehkan memutuskan hukum dengan kesaksian seorang laki-laki, jika seorang laki-laki itu diyakini benar dalam masalah selain pidana. Allah mewajibkan hakim agar memutuskan hukum hanya dengan dua saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Ini bukan berarti hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan cara lebih sedikit dari yang ditetapkan. Karena Rasulullah- sebagai hakim- memutuskan hukum dengan seorang saksi laki-laki dan sumpah, bahkan dengan seorang saksi laki-laki saja, hal itu tidak dianggap menyalahi kitab Allah bagi yang mengerti, karena tidak ada penjelasan hukum Allah dan hukum Rasulullah itu bertentangan. Seperti Nabi saw menerima kesaksian seorang Baduwi melihat bulan di dalam bulan Ramadhan (Ru’yatu al-Hilal), begitu juga Nabi saw.menerima seorang saksi laki-laki dalam masalah perhiasan orang yang terbunuh, kesaksian seorang dokter yang adil dalam masalah orang yang kena luka dapat diterima.[29]
Nabi saw. menerima kesaksian seorang perempuan dalam masalah menyusui, dia bersaksi atas perbuatannya sendiri tentang kasus Uqbah Ibnu al-Haris, bahwa dia mengawini Ummu Yahya Binti Abi Ihab, lalu datang seorang budak hitam, lalu dia mengatakan:”Saya telah menyusui anda berdua, lalu hal itu diadukan kepada Nabi saw., Nabi meminta memaparkan kepadanya, lalu dia memaparkannya kepada Nabi saw., Nabi bersabda :”Bagaimana dia sudah mengakui, bahwa dia telah menyusui kamu berdua.[30]
Nabi Muhammad juga menerima kesaksian seorang wanita dalam masalah hudud (pidana) seperti kasus seorang wanita diperkosa oleh seorang laki-laki, sebagaimana ditegaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud yang berbunyi :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا الْفِّرْيَابِيُّ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ امْرَأَةً خَرَجَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُرِيدُ الصَّلَاةَ فَتَلَقَّاهَا رَجُلٌ فَتَجَلَّلَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا فَصَاحَتْ وَانْطَلَقَ فَمَرَّ عَلَيْهَا رَجُلٌ فَقَالَتْ إِنَّ ذَاكَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا وَمَرَّتْ عِصَابَةٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ فَقَالَتْ إِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا فَانْطَلَقُوا فَأَخَذُوا الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَّتْ أَنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا فَأَتَوْهَا بِهِ فَقَالَتْ نَعَمْ هُوَ هَذَا فَأَتَوْا بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَمَرَ بِهِ قَامَ صَاحِبُهَا الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا صَاحِبُهَا فَقَالَ لَهَا اذْهَبِي فَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكِ وَقَالَ لِلرَّجُلِ قَوْلًا حَسَنًا قَالَ أَبُو دَاوُد يَعْنِي الرَّجُلَ الْمَأْخُوذَ وَقَالَ لِلرَّجُلِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا ارْجُمُوهُ فَقَالَ لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ لَقُبِلَ مِنْهُمْ قَالَ أَبُو دَاوُد رَوَاهُ أَسْبَاطُ بْنُ نَصْرٍ أَيْضًا عَنْ سِمَاكٍ [31]
Artinya:”Muhammad Bin Yahya Bin Faris menceritakan kepada kami, al-Faryabi menceritakan kepada kami, Israil menceritakan kepada kami, Simak Bin Harb menceritakan kepada kami dari Alqamah Bin Wail dari Ayahnya:”Bahwa seorang wanita pada masa Nabi saw. keluar rumah untuk menunaikan sholat, lalu seorang laki-laki bertemu dengan perempuan tersebut, lalu seorang laki-laki itu memperdayakannya dan menodai wanita tersebut, lalu wanita itu bertreak kemudian laki-laki itu lari, ketika laki-laki itu melewati wanita tersebut, wanita itu berkata:”Bahwa itu orang yang menodai saya begini begitu, lalu sekelompok kaum Muhajirin lewat, maka perempuan itu mengadu kepada kaum Muhajirin tersebut, bahwa laki laki itu yang menodai saya begini begitu, lalu kaum Muhajirin itu mengejar dan menagkap laki-laki yang diduga bahwa dia pelaku pemerkosaan, lalu mereka membawanya kepada wanita tersebut, dan wanita itu mengatakan:”Benar bahwa dia ini pelakunya, kemudian mereka membawanya kepada Rasulullah saw., ketika Rasulullah memerintahkan untuk dirajam, pelaku pemerkosaan yang sebenarnya berdiri sambil mengatakan:”Wahai Rasulullah, (bukan dia) pelakunya, sayalah pelakunya, lalu Rasulullah bersabda:”Pergilah wahai wanita, mudah mudahan Allah mengampuni kamu, dan Rasulullah saw. bersabda kepada laki-laki itu, kamu telah mengatakan dengan baik, Abu Dawud mengatakan:”Yang dimaksud adalah laki-laki yang dibawa, dan Rasulullah saw. mengatakan kepada laki-laki yang melakukan pemerkosaan, rajamlah dia, lalu bersabda:”Sungguh dia bertaubat, seandainya penduduk Madinah menerima taubatnya, maka dia akan diterima oleh mereka.” Abu Dawud mengatakan:”Asbath Bin Nashr juga meriwayatkannya dari Simak.”
Muhammad Imarah mengutip perkataan Muhammad Abduh:”Bahwa kesaksian dua orang wanita, dengan alasan bahwa wanita itu lupa, kurang tepat, yang benar karena wanita dalam bidang bisnis pada umumnya ingatannya lemah, lain halnya dalam bidang rumah tangga tentu wanita bidangnya, maka wanita lebih kuat ingatannya dalam bidang rumah tangga dibanding kaum laki laki. Artinya bahwa tabiat manusia baik laki laki maupun perempuan, dia akan kuat ingatannya terhadap masalah yang memang bidangnya.[32]
Perbedaan kesaksian antara laki laki dan perempuan dalam masalah utang piutang dan perdagangan (bisnis) (Q.S.al-Baqarah/2 :282) dengan alasan tabiat wanita dalam masalah bisnis cepat lupa, bukan tabiat umumnya wanita, tapi wanita wanita tertentu saja. Dan dalam permasalahan tertentu yaitu masalah bisnis, sebagai bukti :
Persaksian dalam masalah bisnis terdapat dalam Q.S.al-Baqarah/2 : 282 untuk menjegah perselisihan dan persengketaan dibuat 2 sarana yaitu ditulis dan disaksikan oleh 2 orang lakilaki atau seorang laki laki dan dua orang perempuan.
Persaksian dalam masalah selain bisnis, tidak ada perbedaan antara laki laki dan perempuan (Q.S.al-Thalaq/65 : 2) dan Q.S.al-Maidah/5 :106) saksi dalam masalah thalaq dan wasiat tidak dipersyaratkan seperti dalam masalah bisnis, namun dipersyaratkan adil, sedangkan adil dalam kesaksian mencakup laki laki dan perempuan, begitu juga jumlah dua orang merupakan lafadh umum yang mencakup laki laki dan perempuan.
Kesaksian dua orang laki laki atau seorang laki laki dan dua orang perempuan dalam masalah bisnis, oleh Mahmud Syaltut sebagai petunjuk pada waktu transaksi bisnis, bukan kapasitas sebagai saksi di pengadilan.
Bahwa saksi itu hanya untuk mengukuhkan dan menjaga hak, maka ketika tidak terpenuhi jumlah yang dikehendaki al-Qur’an, tentu cukup seorang saksi seperti yang dilakukan Rasulullah.
Perbedaan dalam kesaksian antara laki laki dan perempuan tidak berarti memberikan keistimewaan kepada laki laki, karena dalam kondisi tertentu syari’at islam hanya menerima kesaksian wanita semata, seperti untuk mengukuhkan kelahiran anak dari ibunya.
Perbedaan kesaksian antara laki laki dan perempuan dalam bisnis, bukan untuk membedakan laki laki dan perempuan. Karena Allah menjadikan saksi dalam masalah perzinaan adalah 4 orang laki laki, bukan berarti menurunkan derajat laki laki, melainkan untuk menjaga kehormatan wanita dan menjaga kemulyaannya
Syari’at islam ketika membedakan antara laki laki dan perempuan dalam kesaksian, maka perbedaan keduanya didasarkan kepada kehususan tabi’at manusia masing masing, dan jika syari’at islam menyamakan antara laki laki dan perempuan dalam satu masalah, maka hal itu dalam rangka kemaslahatan dan keadilan manusia, bukan untuk kemaslahatan wanita saja.[33]
Namun ada sebahagian pakar kontemporer tidak menggunakan metodologi yang benar, sehingga mereka mudah saja mengatakan ayat al-qur’an sudah tidak relevan, yang berarti tidak mengakui keberadaan ayat al-qur’an. Sementara Muhammad Quraish Shihab, menganggap semua ayat tetap eksis sampai hari qiamat. Sekalipun ayat itu sudah tidak relevan seperti ayat perbudakan, maka dikemudian hari mungkin saja ayat itu diberlakukan kembali. Hal ini juga sejalan dengan al-Marhum Prof.K.H.Ibrahim Hosen,LML ketika menanggapi tulisan Prof.Munawir Syadzali yang menyatakan:”Umar Bin al-Khaththab dianggap melanggar ayat, karena menghilangkan muallaf sebagai salah seorang yang berhak menerima zakat.”
Menurut Prof.K.H.Ibrahim Hosen,LML Umar Bin al-Khaththab tidak melanggar ayat, namun menurut dia wadah hukum yang tidak ada, maka jika muallaf sebagai wadah hukum timbul kembali, maka bagian muallaf ditimbulkan kembali.
D. Kesimpulan
Dari uraian diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
Saksi di hadapan Hakim di pengadilan tidak harus laki-laki, dan tidak berdasarkan jumlah tertentu tetapi harus sesuai dengan profesionalisme saksi itu sendiri.
Perbedaan pendapat para pakar memahami teks ayat tentang persaksian disebabkan dua faktor yaitu :
Perbedaan instrumen diantara para pakar, sebahagian berangkat dari teks, lalu mencari pembenran teks dengan hadis dan ilmu-ilmu yang lain, sedangkan sebahagian yang lain berangkat dari realitas sosial masyarakat, lalu mencari teks ayat atau hadis sebagai pendukungnya.
Sebahagian ulama mencampuradukkan antara memberi kesaksian di depan Hakim di pengadilan dan saksi sebagai alat bukti di depan hakim di pengadilan.




DAPTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman Wahid, at.al., Menakar Harga Perempuan, Bandung : Mizan, 1999
2. Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi, Tata Kehidupan Wanita Dalam Syari’at Islam, Jakarta : Wahyu Press, 2003
3. Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mesir : Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby Wa Awladih, 1974
4. Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, terjemahan Abdullah Ali, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001
5. Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, terjemahan Ahsin Wijaya, Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1989
6. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990
7. Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huquq al-Mar’ah Fi al-Mujtama al-Islam, Mesir : al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah Li al-Kitab, 1986
8. Ibtibsyarah, Hak Hak Perempuan Dalam Relasi Jender Pada Tafsir al-Sya’rawi, Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004
9. Majalah Tsaqafah Vol.1. No.3., 2003
10. Muhammad Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan, (Jakarta : Azan, 2001
11. Muhammad Imarah, al-Tahrir al-Islami Li al-Mar’ah, Cairo : Daar al-Syuruq, 1968
12. Muhammad Mutawally Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur’an, terjemahan Abu Abdillah al-Manshur, Jakarta : Gema Insani Press, 1996
13. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta : Lentera Hati,2000, Vol. 2
14. Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terjemahan Sahiron Syamsudin, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2004
15. Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah Wa Syari’ah, Mesir : Daar al-Qalam, 1966
16. Nasaruddin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran al-Qur’an, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin UIN Syahid Jakarta, 2002
17. Shahal Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembahasan Perempuan, terjemahan Khazin Abu Fakih, Surabaya : Era Intermedia, 2001
18. Said Hawa, al-Asas Fi al-Tafsir, Cairo : Daar al-Salam, 1985
19. Sayid Quthub, Fi Dhilal al-Qur’an, Cairo : Dar al-Syuruq, 1982
20. Salim al-Bahnawi, al-Mar’ah Baina al-Islam Wa al-Qawanin al-Alamiyah, Kuwait : Daar al-Wafa, 2003
21. Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, Kata Pengantar Zuhairi Misrawi, Jakarta : P3M, 2004
22. Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir, Bairut : Daar al-Fikr, 1991
23. Yusuf Qardhawi, Kedudukan Wanita Islam,terjemahan Melati Adhi Damayanti, Jakarta :PT.Global Media Publishing, 2003
24. Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Yogyakarta : LKIS, 1999







[1]. Nasaruddin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran al-Qur’an, (Pidato Pengukuan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syahid Jakarta,2002), h. 1
[2]. Ibid. 1
[3] Arief Subhan, Majalah Tsaqafah ,Vol.I. No. 3., 2003, h. 87
[4] . Ibid., h. 88
[5] Muhammad Mutawaly Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur’an, terjemahan Abu Abdillah al-Manshur, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 8
[6] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), Vol.2, h. 350
[7] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), h.770
[8] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. I, h.568
`[9] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, terjemahan Abdullah Ali, (Jakarta :PT.Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 152
[10] Ibid., h. 154
[11] Zuhairi Misrawi dalam kata pengantar buku karya Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, (Jakarta : P3M, 2004), h. xxiii
[12] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, (Yogyakarta : LkiS, 1999), h. 119
[13] Ibid., h. 119
[14] Muhammad Quraish Shihab, Op.Cit., h. 566
[15] Ibid., h. 567
[16] Ibid., h. 567
[17] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol.2, h. 355
[18] Ibid., h. 357
[19] Ibid., h. 357
[20] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 3, h. 229
[21] Mahmud Syaltut, op. cit., h. 250
[22] Ibid., h. 120
[23] Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, Terjemahan Ahsin Wijaya, (Solo :CV.Pustaka Mantiq, 1989), Cet.III, h. 36
[24] Muhammad Imarah, al-Tahrir al-Islami Li al-Mar’ah, (Cairo : Daar al-Syuruq, 1968), h. 71
[25] Ibid., h. 72
[26] Ibid., h. 73
[27] Ibid., h. 74
[28] Ibid., h. 75
[29] Ibid., h. 76
[30] Ibid., h. 77
[31] Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’ats al-Sujistani al-Azadi, Sunan Abi Dawud, (Cairo : Daar al-Hadits, 1999), Jilid IV, h. 1872
[32] Ibid., h. 80
[33] Salim al-Bahnawi, al-Mar’ah Baina al-Islam Wa al-Qawanin al-Alamiyah, (Kuwait : Daar al-Wafa, 2003), h. 182- 184

posted by KETUA PSW IIQ at 3:31 PM |

0 Comments:

Go Ahead, Share Your Thoughts! Post a Comment.

TAKE ME BACK TO THE MAIN PAGE...