POLIGAMI MENURUT PANDANGAN ISLAM
Oleh : Anshori – Ketua LPPI - IIQ
A. Pendahuluan
Poligami sudah ada sejak zaman dahulu, yaitu pada waktu sebelum Muhammad diutus menjadi Nabi dan jumlahnya tidak terbatas dan tidak ada persyaratan, ketika datang islam poligami mulai dibatasi tidak boleh lebih dari empat wanita dengan persyaratan yang ketat, yaitu berlaku adil dan mampu menanggung nafkah.
Orang diluar islam menjadikan kebolehan poligami dalam islam, sebagai senjata untuk menuduh islam tidak menghormati kaum perempuan, padahal poligami menurut islam bertujuan mengangkat derazat wanita, bila poligami dilaksanakan secara benar. Maka bila poligami ternyata menjadikan mudharat bagi masyarkat khususnya kaum wanita, tentu jangan disalahkan aturan poligaminya, tapi pelaku poligami yang melanggar aturan poligami.
Peraturan yang dibuat Allah sudah dipastikan benar dan tidak dapat diragukan lagi( Q.S.al-Baqarah/2 : 2 ), sedangkan peraturan yang dibuat oleh manusia bersifat relatif. Untuk itu kenapa ummat islam kadang kadang cenderung pada peraturan selain al-Qur’an yang belum tentu benar (Q.S.al-Maidah/5 : 50), dan islam adalah agama yang menegakkan prinsip prinsip keadilan (Q.S.al-Nisa/4 : 58). Agar poligami tidak melanggar prinsip keadilan yang dikehendaki Allah, maka bagi orang yang mau melakukan poligami tidak ada jalan lain kecuali menerapkan keadilan.
B. Pengertian Poligami
Poligami menurut kamus besar Bahasa Indonesia “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.”
[1]Sedangkan poliandri adalah”wanita yang memiliki suami lebih dari satu di waktu yang bersamaan.”
[2]Dari definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa poligami yaitu suami yang memiliki istri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan poliandri yaitu istri yang memiliki suami lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan.
C. Pendapat para pakar islam tentang poligami
Ayat tentang poligami yang biasa dirujuk oleh para pakar jender adalah Q.S.al-Nisa/4 : 3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا(النساء/4 :3)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
M.Quraish Shihab menyatakan:”Penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakekatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya:”jika Anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini , maka habiskan saja makanan selainnya yang ada dihadapan Anda”.Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu.
[3]Perlu digaris bawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
[4]Sikap Muhammad Quraish Shihab dalam masalah hukum poligami cukup jelas yaitu mubah (boleh) tapi tidak dianjurkan dan tidak boleh ditutup rapat, dan tidak dilihat dari sisi baik dan buruknya, tapi harus dilihat dari penetapan hukum Allah dalam kondisi yang mungkin terjadi, dan Allah membuat peraturan dalam al-qur’an tentu pasti terjadi. Bahkan Muhammad Quraish Shihab dalam berbagai kesempatan menyatakan:”Bahwa poligami bagaikan pintu darurat yang ada pada pesawat terbang, dimana pintu darurat itu sudah dirancang karena diduga setiap pesawat akan mengalami kecelakaan, dan pada saat terjadi kecelakaan yang tidak mungkin bagi para penumpang hanya melalui satu pintu biasa, maka pintu darurat dapat dimanfaatkan, tapi pintu darurat tidak boleh dibuka sembarang waktu.
Adalah wajar bagi suatu perundang undangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada satu ketika, walaupun kejadian itu baru merupakan kemungkinan. Bukankah kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki bahkan jantan binatang lebih sedikit dari jumlah wanita atau betinanya ?Perhatikanlah sekeliling anda, bukankah rata rata usia wanita lebih panjang dari usia laki laki, sedang potensi membuahi, lelaki lebih lama dari potensi wanita, bukan saja karena wanita mengalami masa haid, tetapi juga karena wanita mengalami manopous sedang pria tidak mengalami keduanya.
[5]Selanjutnya, Bukankah kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh dan dapat terjadi di mana mana? Apakah jalan keluar yang dapat diusulkan kepada suami yang mengalami kasus demikian ? Bagaimanakah seharusnya ia menyalurkan kebutuhan biologisnya atau memperoleh dambaannya pada keturunan ? Poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling tepat, apalagi berarti kewajiban. Seandainya ia anjuran, pastilah Allah menciptakan wanita lebih banyak empat kali lipat dari jumlah laki laki, karena tidak ada artinya anda –apalagi Allah- menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas.Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu. Kita tidak dapat membenarkan orang yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa perintah di atas dimulai dengan bilangan dua, tiga, atau empat, baru kemudian kalau khawatir tidak berlaku adil, maka nikahilah seorang saja dengan alasan yang telah dikemukakan di atas, baik dari makna redaksi ayat, maupun dari segi kenyataan sosiologis di mana perbandingan perempuan dan laki laki tidak mencapai empat banding satu, bahkan dua banding satu.
[6]Namun penulis melihat Muhammad Quraish Shihab tidak memberi jalan keluar, bila kondisi tersebut terjadi sebaliknya seperti suami mandul, laki laki lebih banyak daripada wanita, suami sakit parah dan semacamnya. Sehingga kesan penulis dan para pembaca tafsir al-Mishbah, bahwa Muhammad Quraish Shihab hanya membela kepentingan kaum laki laki saja.
Menurut hemat penulis, bila terjadi sebaliknya, maka kaum wanita berhak melakukan seperti yang dilakukan kaum laki laki selain poliandri, karena poliandri haram hukumnya menurut ajaran islam. Dia hanya bisa minta cerai atau membeli thalaq suami yang biasa disebut thalaq bain shugra.
Kemudian Muhammad Quraish Shihab juga mengingatkan kepada kita semua dengan menyatakan:”Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasul Saw. kawin lebih dari satu, dan perkawinan semacam itu hendaknya diteladani, karena tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi ummatnya. Bukankah Rasul Saw. antara lain wajib bangun sholat malam dan tidak menerima zakat ? Bukankah tidak batal wudu beliau bila tertidur ? Bukankah ada hak hak bagi seorang pemimpin guna mensukseskan misinya ? Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar benar ingin meneladani Rasul dalam perkawinannya ? Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadar bahwa semua wanita yang beliau kawini, kecuali Aisyah ra. Adalah janda janda, dan kesemuanya untuk tujuan mensukseskan da’wah, atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu, yang pada umumnya bukanlah wanita wanita yang dikenal ,memiliki daya tarik yang memikat.
[7]Persyaratan poligami yang dikemukakan oleh Muhammad Quraish Shihab identik dengan persyaratan yang dikemukakan oleh Muhammad Shahrur, namun Muhammad Shahrur lebih ketat daripada Muhammad Quraish Shihab, karena poligami menurut Muhammad Shahrur :”Sesungguhnya Allah SWT. tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi Dia sangat menganjurkannya, dengan dua syarat, pertama, bahwa istri kedua, ketiga dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim, kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak anak yatim, sehingga printah poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat di atas.
[8] Persyaratan poligami yang dikemukakan oleh Muhammad Shahrur tidak sejalan dengan Muhammad Quraish Shihab, karena Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan ماطاب لكم من النساء maka kawinilah apa yang kamu senangi, bukan siapa yang kamu senangi, agaknya ia disebabkan karena kata itu bermaksud menekankan tentang sifat wanita itu, bukan orang tertentu, nama, atau keturunannya.Bukankah jika anda berkata:”Siapa yang dia kawini ? Maka anda menanti jawaban tentang wanita tertentu, namanya dan anak siapa dia. Sedang bila anda bertanya dengan menggunakan kata apa, maka jawaban yang anda nantikan adalah sifat dari yang ditanyakan itu, misalnya janda atau gadis, cantik atau tidak dan sebagainya.
[9]Artinya wanita yang dikawininya tidak perlu harus janda sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Muhammad Shahrur diatas.
Kemudian Muhammad Shahrur menegaskan :”khithab perintah dalam ayat poligami tersebut ditujukan kepada orang orang yang telah menikah dengan seorang wanita dan memiliki anak, sehingga tidak dikatakan poligami bagi laki laki bujangan yang mengawini janda yang memiliki anak yatim, dengan alasan bahwa ayat tersebut diawali dengan dua dan diahiri dengan empat, berarti sudah punya satu sebelumnya.
[10]Selanjutnya Muhammad Shahrur mengatakan:”Karena konteks ayat poligami adalah berkisar tentang anak anak yatim yang belum dewasa yang ditinggalkan ayahnya, sementara ibunya masih hidup menjanda, maka anak yang kehilangan kedua orang tuanya (yatim piatu) atau kehilangan ibunya (piatu) menjadi gugur masalah poligami, seperti suami ditinggalkan istrinya, lalu dia kawin lagi, maka istri keduanya tidak disebut poligami.”
[11]Kemudian Muhammad Shahrur juga mengatakan:”Dia tidak sependapat, bila adil dikaitkan dengan hubungan suami istri (senggama), karena konteks ayat tersebut berbicara tentang poligami dalam kaitannya dengan pemahaman sosial kemasyarakatan, bukan konsep biologis (senggama) dan berkisar masalah anak yatim dan berbuat baik kepadanya serta berlaku adil terhadapnya.”
[12]“Dia juga tidak sependapat jika jumlah perempuan lebih banyak dari laki laki, istri mandul syahwat laki laki lebih besar, kelemahan seorang istri menjalankan fungsi sebagai seorang istri karena sakit yang berkepanjangan dijadikan alasan bagi suami berpoligami. Bahkan dia balik bertanya, bagaimana bila kejadian itu menimpa sang suami.”
[13] Muhammad Shahrur dalam mengahiri pembicaraan mengenai poligami menyatakan:”Suatu yang haram tidak mungkin dihalalkan, akan tetapi sesuatu yang halal mungkin dilarang, tapi pelarangannya tidaklah mengandung sifat abadi dan umum. Apabila pelarangan ini mengandung sifat abadi dan umum, berarti sesuatu yang haram, dan ia merupakan hak khusus Allah semata, bahkan para Nabi dan Rasulpun tidak berhak untuk mengharamkannya.”
[14]Siti Musdah Mulia mengutip pendapat Muhammad Syaltut (w.1963) :”Dia secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran islam, dan juga menolak bahwa poligami diterapkan oleh syari’ah.”
[15]Setelah penulis merujuk kepada kitab aslinya, nampaknya kesimpulan Musdah Mulia bertolak belakang dengan maksud Muhammad Syaltut, karena beliau menyatakan sebagai berikut :
والاسلام لم يكن فى شرع تعدد الزوجات ولا فى شرع اصل الزواج مبتكرا لشيئ لم يكن معروفا من قبل وهذا شأنه فى كثير من وجوه المعاملات والارتباطات البشرية التى تقضى بها طبيعة الاجتماع وانماكان مقررا ماتقتضيه الطبيعة من ذلك معدلا فيهابما يرى من جهات التهذيب التى تكفل الطبيعة الوقوف فى الحدالوسط وتقيها شر الانحراف و الميل وتحفظ للاجتماع خير مقتضيات هذه الطبيعة .
[16]Artinya:”Islam-dalam penetapan hukum poligami, dan penetapan hukum asal perkawinan- tidak menciptakan untuk sesutu yang belum dikenal sebelumnya. Inilah peranan islam pada umumnya dalam masalah mu’amalat (perdata) dan hubungan antara sesama manusia yang dikehendaki oleh watak sosial, bahkan islam menetapkan hal itu untuk kepentinga tabi’at (watak/karakter tersebut), untuk menyeimbangkan hal hal yang dianggap perlu dari segi pendidikan yang dapat menjamin tabiat agar berada pada batas keadilan (moderat), dan menjaganya dari kejahatan dan kecenderungan adanya penyimpangan serta memelihara kehendak tabiat/watak yang terbaik untuk kepentingan masyarakat.
Pernyataan Mahmud Syaltut diatas, islam tidak menolak poligami, tapi dia hanya mengatakan, bahwa islam dalam menetapkan hukum poligami, bukan hal yang baru, tapi sudah ada sebelum islam lahir.
Poligami- menurut Siti Musdah Mulia – pada hakekatnya adalah selingkuh yang dilegalkan, dan karenanya jauh lebih menyakitkan perasaan istri. Islam menuntun manusia agar menjahui selingkuh, dan sekaligus menghindari poligami. Islam menuntun pengikutnya; laki laki dan perempuan agar mampu menjaga organ organ reproduksinya dengan benar sehingga tidak terjerumus pada segala bentuk pemuasan syahwat yang dapat mengantarkan pada kejahatan terhadap kemanusiaan.
[17] Membolehkan poligami berdasarkan kasus kasus yang ada justru bertentangan dengan akal sehat yang berarti juga bertentangan dengan ajaran agama, solusinya bukan membolehkan poligami, malah sebaliknya melarang poligami secara muthlaq.
[18] Penulis tidak sependapat bila poligami dikatakan selingkuh yang dilegalkan, karena sangat berbeda antara selingkuh dengan poligami. Karena selingkuh memang sudah jelas haram hukumnya dan tidak ada yang berhak seorangpun bahkan para Nabi sekalipun untuk menghalalkannya karena sudah hak preogatif Allah, dan sebaliknya tidak ada seorangpun yang berhak mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, sebagaimana ditegaskan Allah dalam beberapa firman-Nya :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ. (التحريم\66 :1 )
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ. (المائدة\5 : 87 )
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Kemudian melarang poligami secara muthlaq bertentangan dengan kehendak Allah yang memang sudah merancang hukum poligami walaupun dengan persyaratan yang ketat, sama halnya seorang arsitiktur yang merancang pintu darurat untuk pesawat terbang, karena kemungkinan akan terjadi diluar kemampuan manusia, bahwa pesawat terbang diduga pada suatu saat sedang terbang pesawat tersebut akan rusak, sehingga para penumpang harus diselamatkan melalui pintu darurat. Apalagi Allah yang memang sudah mengetahui persis akan terjadi suatu yang tidak diinginkan oleh pasangan suami istri, maka harus menempuh pintu darurat dengan jalan poligami.
Kalaupun dibenarkan berdalil pada satu ayat saja (meski ini sangat tidak logis), maka sesungguhnya pemahaman kelompok yang pro poligami terhadap teks ayat tersebut juga tidak utuh. Pertama, mari kita (kata Siti Musdah Mulia) lihat bunyi teksnya"Maka kawinilah perempuan perempuan yang kamu senangi;dua, tiga, empat,… atau budak budak perempuan yang kamu miliki."Secara jelas teks ayat itu membolehkan perbudakan. Akan tetapi, mengapa para pendukung bunyi literal teks tersebut memegang teguh kebolehan poligami, namun mengabaikan kebolehan menggauli budak budak perempuan ?.
[19] Kemudian dia- dalam kaitan ini –mengutip perkataan Nasr Hamid Abu Zayd:"…jika perbudakan dapat dihapuskan dari kehidupan masyarakat secara bertahap, maka poligami juga seharusnya seperti itu.
[20] Menurut hemat penulis poligami dengan perbudakan sangat berbeda, sekalipun ayat tersebut membolehkan perbudakan, tapi banyak ayat selainnya justru menghapuskan secara bertahap, sedangkan ayat poligami tidak ada ayat lain selain Q.S.al-Nisa/4 :3
Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan potongan ayat ماملكت ايمانكم yang diterjemahkan dengan budak budak wanita yang kamu miliki, menunjuk kepada satu kelompok masyarkat yang ketika itu merupakan salah satu fenomena umum masyarkat manusia di seluruh dunia. Dapat dipastikan, Allah dan Rasul-Nya tidak merestui perbudakan, walau dalam saat yang sama harus pula diakui bahwa al-Qur'an dan Sunnah tidak mengambil langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus. Al-Qur'an dan Sunnah menutup semua pintu untuk lahir dan berkembangnya perbudakan, kecuali satu pintu yaitu tawanan yang diakibatkan oleh peperangan dalam rangka mempertahankan diri dan akidah. Itupun disebabkan karena ketika itu demikianlah perlakuan manusia terhadap tawanan perangnya. Namun kendati tawanan perang diperkenankan untuk diperbudak, tapi perlakuan terhadap mereka sangat manusiawi, bahkan al-Qur'an memberi peluang kepada penguasa muslim untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan; berbeda dengan sikap ummat manusia ketika itu.
[21] Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan antara lain disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak yang ditemuinya. Para budak ketika itu hidup bersama tuan tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka terpenuhi. Anda dapat membayangkan bagaimana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus. Pasti akan terjadi problema sosial yang jauh lebih parah dari PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Ketika itu- para budak bila dibebaskan- bukan saja pangan yang harus mereka siapkan sendiri, tetapi juga papan. Atas dasar itu kiranya dapat dimengerti jika al-Qur'an dan Sunnah menempuh jalan bertahap dalam menghapus perbudakan. Dalam konteks ini, dapat juga kiranya dipahami perlunya ketentuan ketentuan hukum bagi para budak tersebut. Itulah yang mengakibatkan adanya tuntutan agama, baik dari segi hukum atau moral yang berkaitan dengan perbudakan. Salah satu tuntutan itu adalah izin mengawini budak wanita.Ini bukan saja kerena mereka juga adalah manusia yang mempunyai kebutuhan biologis, tetapi juga merupakan salah satu cara menghapus perbudakan.
[22] Di sisi lain, walau perbudakan secara resmi tidak dikenal lagi oleh ummat manusia dewasa ini, namun itu bukan berarti bahwa ini dan semacamnya dapat dinilai tidak relevan lagi. Ini karena al-Qur'an tidak hanya diturunkan untuk putra putri abad ini, tetapi ia diturunkan untuk ummat manusia sejak abad ke 6 hingga ahir zaman. Semua diberi petunjuk dan semua dapat menimba petunjuk sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zamannya. Masyarakat abad ke 6 menemukan budak budak wanita, dan bagi merekalah tuntunan itu diberikan. Al-Qur'an akan terasa kurang oleh mereka, jika petunjuk ayat ini tidak mereka temukan.Di lain segi kita tidak tau perkembangan masyarakat pada abad abad yang akan datang, boleh jadi mereka mengalami perkembangan yang belum dapat kita duga dewasa ini.Ayat ayat ini atau jiwa petunjuknya dapat mereka jadikan rujukan dalam kehidupan mereka.
[23] Menurut hemat penulis bahwa Muhammad Quraish Shihab cenderung bahwa ayat itu tetap berlaku sebagai payung hukum, kendati obyek hukumnya sudah tidak ada, namun tidak menutup kemungkinan, jika obyek hukum tersebut muncul, maka ayat tersebut dapat dijadikan pedoman sebagai pelaksanaan hukum. Sama halnya dengan Umar Bin al-Khatthab yang melarang memberikan zakat pada muallaf karena Umar Bin Khatthab menganggap muallaf tidak ada, tapi bukan berarti Umar Bin al-Khatthab menghapus ayat tentang muallaf.
Siti Musdah Mulia menyatakan:”Setelah Allah menyuruh setiap pasangan untuk produktip membangun keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan keluarga melalui sikap dan prilaku yang senantiasa adil, maka pada ayat selanjutnya, Allah mengecam para suami yang berpoligami dan menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah mampu berbuat adil terhadap para istri, dalam Q.S.al-Nisa/4 : 129.
[24]Bahkan dia menegaskan bahwa islam sudah menutup rapat pintu poligami melalui ayat tersebut.
[25] Kemudian Siti Musdah Mulia menyimpulkan:”Bahwa menjadikan surat al-Nisa/4 :3 sebagai dalil pembenar bagi kebolehan poligami, seperti dipahami di masyarakat, sesungguhnya tidak signifikan dan sangat keliru, mengingat ayat itu bukan diturunkan dalam konteks pembicaraan poligami, melainkan dalam konteks pembicaraan anak yatim dan perlakuan tidak adil yang menimpa mereka.
[26] Melalui ayat tersebut menurutnya, Allah memperingatkan kepada para suami akan dua hal, pertama, jangan menikahi anak yatim perempuan yang berada dalam perwalian mereka, kalau tidak mampu berlaku adil, kedua, jangan poligami kalau tidak mampu berlaku adil. Faktanya dalam dua hal tersebut manusia hampir hampir mustahil dapat berlaku adil.Kesimpulannya ayat ini lebih berat mengandung ancaman berpoligami ketimbang membolehkannya.
[27]Pernyataan Siti Musdah Mulia bertentangan dengan pernyataan Muhammad Shahrur yang mengatakan:”Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah Swt. Sehingga tidak mengherankan kalau Dia meletakannya pada awal surat al-Nisa dalam kitab-Nya yang mulia.Seperti yang kita lihat, poligami terdapat pada ayat ketiga dan merupakan satu satunya ayat dalam al-Tanzil yang membicarakan masalah ini. Akan tetapi, para mufassir dan para ahli fiqih, seperti biasanya, telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara masalah poligami dengan para janda yang memiliki anak anak yatim.”
[28] Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat al-Nisa/4 : 3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا( النساء : 3 )
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa laki laki tidak berhak melakukan poligami, karena poligami merupakan bentuk kezaliman terhadap perempuan (istri) dimana suami tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap para istrinya, dengan mengacu pada (Q.S.al-Nisa/4 :3) dan (Q.S.al-Baqarah/2: 129).
Arij Abdurrahman As-Sanan mengatakan:”Bahwa pendapat ini jelas keliru, karena ayat pertama mewajibkan berlaku adil pada hal yang menjadi kesanggupan suami yaitu adil dalam bermalam, nafkah, dan pergaulan. Sedang ayat kedua menafikan keadilan yang memang berada di luar kesanggupan suami, yaitu cinta dan hubungan badan.
[29] Ada sebagian masyarakat yang menganggap poligami merupakan penghinaan terhadap perempuan, karena dia dijadikan alat pemuas nafsu seksual kaum laki laki, justru menurut penulis memberikan pemuasan seksual kaum wanita, karena hubungan badan laki laki dan perempuan akan sama sama mendapatkan kepuasan/kenikmatan kedua belah pihak.
Poligami justru merupakan pemuliaan bagi perempuan, karena poligami menjaganya dari zina karena pernikahan adalah satu satunya jalan yang sah untuk untuk menyalurkan libido seksual, dan karena poligami menjaga laki laki dari penyimpangan perilaku zina, yaitu memiliki kekasih gelap atau perempuan simpanan.
[30] Bahkan bila terjadi di suatu daerah wanita lebih banyak dari laki laki, menurut hemat penulis poligami justru memberi kesempatan kepada kaum wanita untuk menyalurkan keinginan syahwatnya. Dan bila tidak diberi wadah melalui poligami, tentu tidak mustahil mengakibatkan terjadinya perzinahan yang merajalela.
Adapun akibat negatif poligami yang terjadi di masyarakat, seperti ketidak adilan suami atas istri istrinya, hal ini bukan lahir dari syariat poligami itu sendiri, tapi diakibatkan oleh tidak diterapkannya syariat pologami itu dengan benar.
[31] Ada sebahagian orang bahwa poligami seolah olah hanya islam yang pertama membolehkannya, hal ini tidak benar dan merupakan kebohongan sejarah. Banyak bangsa dan Agama sebelum islam yang telah mengizinkan menikahi banyak perempuan, sepuluh, bahkan seratus tanpa persyaratan atau pembatasan apapun. Perjanjian Lama menyebutkan bahwa Dawud memiliki tiga ratus perempuan dan Sulaiman memiliki tujuh ratus perempuan, beberapa diantaranya adalah istrinya, sementara lainnya Cuma gundik.
[32] Islam adalah kata kata terahir dari Allah yang menyimpulkan/menyegel seluruh pesan pesan-Nya, karena itu islam datang dengan hukum yang umum dan abadi untuk merangkul seluruh bangsa, usia dan masyarakat. Islam tidak membuat hukum untuk penduduk kota tanpa memandang masyarakat pedesaan, juga tidak hanya untuk kawasan dingin atau panas, atau sebaliknya dan juga tidak untuk usia tertentu dan mengabaikan kelompok usia lainnya serta generasi generasi lainnya.Islam menghormati pentingnya pribadi maupun masyarakat.
[33] Wahbah al-Zuhaily menyimpulkan:”Bahwa poligami dalam islam adalah masalah darurat, memperbaiki kerusakan dalam poligami lebih utama daripada menghilangkan poligami, dan tidak boleh seorangpun membatalkan poligami, karena nash syar’inya secara jelas membolehkannya, menghentikan atau mengeluarkan nash, berarti mengingkari ayat Allah dan haram menurut syari’at dan agama Allah.
[34] Islam membolehkan poligami karena dharurat dengan syarat mampu memberi nafkah, adil diantara istri istrinya, berlaku baik atau karena suatu hal seperti istri mandul, jumlah wanita lebih banyak dari kaum laki laki, atau pisik wanita yang tidak dapat melayani suami karena sakit.
[35] Sistem poligami menurut hukum islam adalah suatu sistem yang manusiawi dan bermoral. Disebut bermoral karena tidak membolehkan laki laki untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan manapun yang dikehendakinya, dan pada waktu kapanpun ia kehendaki tanpa melalui pernikahan yang sah. Laki laki itu juga tidak diizinkan untuk melakukan hubungan seksual dengan lebih dari tiga perempuan disamping istri pertamanya, dan tidak dapat melakukannya secara sembunyi sembunyi, melainkan harus dilangsungkan dengan sebuah akad nikah dan diumumkan walau di antara khalayakterbatas.
[36] Sedangkan Q.S.Al-Nisa/4:129 yang dijadikan argumen oleh orang orang yang menolak poligami karena manusia tidak akan mampu berbuat adil pada para istri sekalipun berusaha keras. Wahbah al-Zuhaily justru memandang ayat ini sebagai dukungan terhadap ayat poligami diatas, karena adil yang dituntut oleh para istri adalah adil dalam masalah materi seperti giliran (tidur bersamanya), nafkah, pakean, dan tempat tinggal, sedangkan keadilan dalam masalah non materi (masalah hati) seperti cinta karena cinta memang sulit untuk disamakan, maka Allah tidak menuntut kecuali sesuai dengan kemampuan, maka Rasulullah mencintai Aisyah lebih besar dibanding pada istri selainnya.
[37] Sayangnya, sementara kalangan yang menghendaki berkembangnya paham Barat di negara negara Arab dan Islam lainnya telah memanfatkan apa yang terjadi akibat pelanggaran yang dilakukan beberapa orang islam. Mereka makin gigih menyuarakan agar poligami dihapuskan sepenuhnya.Siang dan malam kelemahan poligami terus diulas sementara mereka justru membisu jika menyangkut akibat merugikan perzinahan dan perselingkuhan, yang sayangnya dibolehkan oleh hukum setempat yang mengatur negara negara muslim dewasa ini.
[38] Bila ada orang mengatakan:”Bahwa poligami lebih banyak mudharatnya daripada kemaslahatannya, jangan lalu disalahkan ayat al-Qur’annya, tapi orang yang melakukan poligami itu sendiri, karena al-Qur’an telah melarang orang yang berpoligami yang tidak mengikuti tuntunan al-Qur’an yaitu berbuat adil.Juga islam melarang sesuatu yang akan menjadikan mudhorat kepada dirinya dan orang lain, sebagaimana ditegaskan dalam Firman-Nya (Q.S.al-Baqarah/2 :219) :
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(الاعراف : 157)
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dalam ajaran islam, semua yang dilarang dalam al-Qur’an pasti lebih banyak kerugian daripada keuntungannya, dan segala yang diperintahkan dalam al-Qur’an pasti lebih banyak keuntungannya dibandingkan kerugiannya. Seperti mengenai khamer dan judi Allah berfirman (Q.S.al-Baqarah/2 : 219) :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ(البقرة /2 : 219)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Mengenai pernyataan bahwa pihak yang berwenang memiliki hak untuk mencegah melakukan beberapa perkara yang diperbolehkan (termasuk poligami), kami (Yusuf Qardhawi) harus mengatakan hal berikut ini; apa yang telah diberikan oleh hukum kepada pihak berwenang adalah hak untuk membatasi beberapa hal yang diizinkan demi besarnya kepentingan tertentu pada suatu waktu, atau dalam beberapa kasus, atau untuk orang orang tertentu. Ia tidak boleh secara umum atau sama sekali mencegahnya untuk selamanya, karena hal itu akan seperti melarang, yang hanya merupakan hak Allah, yang ditentang oleh al-Qur’an terhadap Ahli Kitab :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ(التوبة : 31)
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Ahmad Mushthafa al-Maraghi senada dengan Wahbah al-Zuhaili, bahwa poligami dibolehkan karena dhorurat dengan syarat dia yakin dapat menegakkan keadilan. Namun keadilan yang sesuai dengan kemampuan manusia adalah yang bersifat materi seperti tempat tinggal, pakaian dan semacamnya. Sedangkan yang bersifat non materi seperti cinta sulit untuk menyamakannya, maka manusia tidak dituntut maksimal sebagaimana Nabi mencintai Aisyah melebihi cintanya pada istri istri yang lainnya.
[39] Begitu juga Said Hawa,
[40] Sayyid Qutub, Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad dan Jalaluddin Abdu al-Rahman Bin Abi Bakar al-Suyuthi,
[41] ketiga mufassir tersebut memandang poligami itu adalah rukhshoh (dispensasi) yang memang tidak dapat dihindari di dalam kehidupan manusia, dengan syarat tidak lebih dari empat dan berlaku adil.Karena islam adalah undang undang untuk kepentingan manusia, maka undang undangnya harus sesuai dengan fitrah manusia, sesuai dengan realita kehidupan manusia yang berubah dalam berbagai tempat, waktu dan keadaan.
[42] Istibsyaroh menyatakan :”Bahwa adanya persyaratan berlaku adil kepada istri istri, sebenarnya merupakan suatu tekanan psikologis terhadap laki yang berpoligami pada masa itu, agar tidak seenaknya saja melakukan poligami yang dapat berakibat pada buruknya perlakuan terhadap istri istri mereka. Hal ini diperkuat dengan Q.S.al-Nisa/4 :129. Ayat ini menurutnya dapat dipahami sebagai penolakan terhadap poligami atau setidaknya lebih memperketat pelaksanaan poligami, karena syarat dari poligami adalah kesanggupan berlaku adil, sedangkan ayat ini menegaskan ketidakmampuan seseorang berlaku adil terhadap istri istrinya.
[43] Kemudian dia mengutip pendapat al-Sya’rawi:”Bahwa adil dalam hal kecenderungan kepada salah satu istrinya merupakan beban yang tidak akan dapat ditanggung oleh manusia, karena hal ini berkaitan erat dengan hati. Islam tidak mensyaratkan berlaku adil dalam hal yang berkaitan dengan hati, tapi hanya mensyaratkan bersikap adil dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Islam membolehkan praktek poligami ketika pihak laki laki yakin bahwa dirinya tidak akan memarjinalkan dan menyepelekan perempuan.
[44] Menurut hemat penulis kutipan Istibsyaroh terhadap al-Sya’rawi menggugurkan pendapatnya sendiri yang katanya Q.S.al-Nisa/4:129 sebagai penolakan terhadap poligami, justru al-Sya’rawi ayat itu dijadikan sebagai pendukung kebolehan poligami.
Begitu juga dengan kutipan dia terhadap Ahmad Mushthafa al-Maraghi membatalkan pendapat dia sendiri seperti dia katakan:”Memang ada sebagian penafsir, seperti al-Maraghi, yang memahami potongan ayat فلاتميلوا كل الميل sebagai penolakan pemustahilan poligami. Menurutnya, bagian ayat tersebut seolah olah ditujukan kepada mereka yang tidak mampu berlaku adil, sedangkan mereka yang mampu berlaku adil dengan sendirinya potongan ayat ini tidak berlaku. Jadi potongan ayat ini memberikan penjelasan terhadap potongan ayat sebelumnya yang mengeliminir kemampuan berlaku adil terhadap perempuan, dan dengan demikian penjelasan ini menafikan pemustahilan untuk berpoligami.
[45] Nasaruddin Umar mengutip pernyataan Muhammad Ali al-Shabuni dalam tafsir ayat ahkam tentang menafsirkan Q.S.al-Nisa/4:3 sebagai berikut:”Ayat ini menggunakan shighah umum, yaitu menggunakan kata ganti jamak (ايمانكم , فانكحوا , تقسطوا , خفتم و تعولوا ) padahal ayat ini turun untuk menanggapi suatu sebab khusus yaitu Urwah Bin Zubair, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhari yang bersumber dari Aisyah, bahwa ia mempunyai seorang anak yatim yang hisup di dalam pengawasannya. Selain cantik, anak yatim itu juga memiliki harta sehingga Urwah bermaksud mengawininya, maka ayat ini menjadi petunjuk bagi Urwah dalam melangsungkan niatnya.
[46] Metode tahlili menyimpulkan bahwa teks ayat tersebut (Q.S.al-Nisa/4:3) diatas mengizinkan poligami, yaitu seorang laki laki boleh kawin lebih dari satu sampai empat, asal yang bersangkutan mampu berlaku adil. Akan tetapi metode maudhui bisa menyimpulkan lain, karena adanya ayat di tempat lain yang seolah olah memustahilkan syarat adil itu dapat dilakukan manusia sebagaimana ditegaskan dalam Q.S.al-Nisa/4 :129. Ayat ini kata Nasaruddin Umar dapat diartikan menolak poligami, atau paling tidak lebih memperketat pelaksanaan poligami. Syarat poligami adalah kesanggupan untuk berlaku adil, sementara ayat ini menegaskan ketidakmampuan seseorang berlaku adil di antara istri istrinya. Kata فلا تميلوا كل الميل (janganlah kalian terlalu cenderung pada setiap kecenderungan) dalam ayat diatas, difahami sebagian mufassir sebagai penolakan pemustahilan berpoligami.
[47]Menurut hemat penulis kurang tepat bila ayat 129 dari surat al-Nisa dijadikan alasan untuk menolak poligami karena maksud bahwa kalian tidak akan dapat berbuat adil diantara istri istri sekalipun kalian berusaha keras, adalah adil dalam masalah mahabbah (cinta) yang memang tidak perlu harus sama persis, karena sulit mengukurnya, hanya saja tidak boleh karena perbedaan kecintaan kepada satu istri mengakibatkan perbedaan dalam nafkah, pakaian dan giliran pada istri yang lainnya. Kemudian penulis tidak sependapat bila kata كل الميل diartikan segala/setiap kecenderungan, karena kata كل yang disandarkan kepada mashdar fiilnya disebut naib maful muthlaq (pengganti maful muthlaq) yang diartikan untuk menta’kidkan fiilnya, maka kata كل الميل harus diartikan betul betul cenderung/sangat cenderung, bukan segala kecenderungan.
Muhammad Quraish Shihab justru mengkritik orang yang tidak merestui poligami, sebagaimana dia katakan:”Ayat ini sering dijadikan alasan oleh sementara orang yang tidak mengerti bahwa islam tidak merestui poligami, karena kalau izin berpoligami bersyarat dengan berlaku adil berdasar firman-Nya “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S.al-Nisa/4 : 3) sedang disini dinyatakannya bahwa kamu sekali kali tidakakan dapat berlaku adil di antara istri istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka hasilnya –kata mereka- adalah bahwa poligami tidak mungkin direstui. Pendapat ini, tidak dapat diterima, bukan saja karena Nabi saw. dan sekian banyak Sahabat beliau melakukan poligami, tetapi juga karena ayat ini tidak berhenti di tempat para penganut pendapat ini berhenti, tetapi berlanjut dengan menyatakan karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai). Penggalan ayat ini menunjukkan kebolehan poligami walau keadilan muthlak tidak dapat diwujudkan.
[48] Seperti terbaca di atas, keadilan yang tidak dapat diwujudkan itu adalah dalam hal cinta. Bahkan cinta atau suka pun dapat di bagi, yakni suka yang lahir atas dorongan perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal. Obat yang pahit tidak disukai oleh siapapun, ini berdasar perasaan setiap orang, tetapi obat yang sama akan disukai, dicari, dan diminum karena akal si sakit mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian juga suka atau cinta dalam diri seseorang dapat berbeda. Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka berdasar perasaan. Sedang suka yang berdasar akal dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan isteri dengan baik, membiasakan diri untuk menerima kekurangan-kekurangannya, memandang semua aspek yang ada padanya, bukan hanya aspek keburukannya ataupun kebaikannya saja. Inilah yang dimaksud dengan janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) dan jangan juga terlalu cendrung mengabaikan yang kamu kurang cintai.
[49] Istibsyaroh mengutip beberapa hadis sebagai dasar mengurangi terjadinya poligami secara pelan pelan.
[50] Adapun hadis yang dia kutip adalah :
حد ثنا هناد حدثنا عبده عن سعيد بن ابي عربة عن معمر عن الزهرى عن سالم بن عبد الله عن ابن غمر ان غيلان بن سلمة الثقفى اسلم وله عشر نسوة فى الجاهلية فاسلمن معه فامره النبى صلى الله عليه و سلم ان يتخير اربعا منهن رواه الترمذي
Artinya:”Hunad menceritakan kepada kami, Abduh menceritakan kepada kami dari Said Bin Abi Urwah dari Ma’mar, dari al-Zuhri, dari Salim Bin Abdullah dari Ibnu Ghamar, bahwa Ghailan Bin Salmah al-Tsaqafi masuk islam dan ia memiliki 10 istri pada masa Jahiliyah, mereka masuk islam bersama dia, lalu Nabi saw. memerintahkan ghailan untuk memilih 4 dari 10 diantara mereka.Diriwayatkan oleh al-Turmudzi.
حدثنااحمد بن ابراهيم الدوقى حدثناهشيم عن ابن ابى ليلى عن حميضة بنت الشمردل عن قيس بن الحارث قال اسلمت وعندى ثمان نسوة فاتيت النبى صلى الله عليه وسلم فقلت ذلك له فقال اختر منهن اربعا رواه ابن ماجه
Artinya:”Ahmad Bin Ibrahim al-Durqi menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari Humaidhah Biti al-Symardal dari Qais Bin al-Harits telah berkata:”Saya telah masuk islam dan memiliki 8 istri, lalu saya datang kepada Nabi saw. lalu saya katakan hal itu kepada Nabi, lalu Nabi mengatakan:”Pilihlah 4 diantara 8 dari mereka. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
حدثنا مسدد حدثناهشيم وحدثناوهب بن بقيه اخبرنا هشيم عن ابن ابى ليلى عن حميضة بن الشمردل عن الحارث بن قيس قال مسدد ابن عميرة وقال وهب الاسدى قال اسلمت و عندى تسعة نسوة فذكرت ذلك للنبى صلى الله عليه وسلم فقال النبى صلى الله عليه وسلم اختر منهن اربعا رواه ابوداود
Artinya:”Musaddad menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami, Wahab Bin Buqyah menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari Humaidhah Bin al-Syamardal dari al-Harits Bin Qais, Musaddad Ibnu Umairah telah berkata dan Wahab al-Asady telah berkata:”Saya telah masuk islam dan saya memiliki 9 istri, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi saw. Nabi telah bersabda:”Pilihlah 4 dari 9 diantara mereka.Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Menurut hemat penulis 3 hadis diatas justru mengukuhkan bolehnya poligami dengan syarat maksimal 4 istri. Kalau Nabi saw. saja tidak berani menyalahi al-Qur’an yang membolehkan kawin lebih dari satu sampai 4 istri walaupun dengan syarat yang ketat, mengapa para cendikiawan sekarang berani mendahului Nabi yang melarang poligami. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Q.S.al-Hujurat/49 :2 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ. (الحجرات\49 :2 )
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.
Sedangkan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah, tidak harus diteladani baik jumlahnya maupun orang yang akan dijadikan istri kedua, ketiga dan kempat, karena hal tersebut merupakan kekhushusan Rasulullah sebagaimana ditegaskan Q.S.al-Ahzab/33 : 50 :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي ءَاتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا. (الاحزاب\33 : 50 )
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Hal ini diungkap oleh Muhammad Quraish Shihab:”Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasul saw. kawin lebih dari satu, dan perkawinan semacam itu hendaknya diteladani, karena tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Bukankah Rasul saw. antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu’beliau bila tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan misinya? Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar-benar ingin meneladani Rasul dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadar bahwa semua wanita yang beliau kawini, kecuali Aisyah ra; adalah janda-janda, dan kesemuanya untuk tujuan menyukseskan da’wah, atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu, yang pada umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat.
[51] Sedangkan untuk ummatnya maksimal hanya 4 istri sebagaimana hadis yang dikutip oleh Abdullah Nashih Ulwan
[52] yaitu :
1- اخرج مالك فى الموطا واحمد فى مسنده وابن ماجه والترمذى فى سننهما و الشافعى فى الام ان غيلان الثقفى اسلم وفى عصمته عشر نسوة فذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال له اختر منهن اربعا وفارق سائرهن
Artinya:”Imam Malik mengeluarkan hadis dalam kitab al-Muwaththa, Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya, Ibnu Majah dan al-Turmudzi dalam kitab Sunannya dan Imam Syafii dalam Kitab al-Um menegaskan:”Bahwa Ghailan al-Tsaqafi masuk islam dan dia memiliki 10 istri, lalu dia menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu Rosulullah mengatakan kepada Ghailan, pilih empat istri dan ceraikan istri selain 4 tersebut.
2- وروى ابن ماجه وابو داود فى سننهماان قيس بن الحارث اسلم و عنده ثمانى نسوة فذكر ذلك للرسول صلى الله عليه و سلم فقال له اختر منهن اربعا
Artinya:”Ibnu Majah dan Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab sunannya, bahwa Qais Ibnu al-Haris masuk islam dan dia memiliki 8 istri, lalu dia menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw. ,lau Rasulullah mengatakan kepada Qais Binal-Haris, pilih empat dari delapan istri yang ada.
3- وقدروت كتب السنة غيرهذين الحديثين فقد روي ان نوفل بن معاوية الديلمى قال اسلمت وتحتى خمس نسوة فقال النبى صلىالله عليه وسلم فارق واحدة منهن قال فعمدت الى عجوز عاقر معى منذ ستين فطلقتها
Kitab kitab hadis meriwayatkan satu hadis selain dua hadis diatas, ada riwayat, bahwa Naufal Bin Muawiyah al-Dailami telah berkata:”Saya telah masuk islam dan saya memiliki 5 istri, lalu Nabi saw. bersabda:”Ceraikan seorang istri (dari 5 istri), dia berkata:”Saya niat menceraikan istri tua yang mandul yang hidup bersama saya selama 60 tahun, lalu saya menthalaqnya.
Poligami dipersyaratkan harus adil, namun yang dimaksud adil oleh Nashih Ulwan adalah :”Bahwa para ulama telah sepakat ,mendukung penafsiran Rasul dan perbuatannya, menyatakan:”Bahwa maksud adil yang dipersyaratkan adalah adil dari segi materi seperti tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman dan giliran, karena semuanya memungkinkan untuk direalisasikannya, karena masuk dalam jangkauan manusia.
[53] Sedangkan adil dalam masalah cinta (kecenderungan) diantara para istri di luar jangkauan kemampuan manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam Q.S.al-Nisa/4 :129. Ayat ini menjelaskan :”Bahwa seorang suami tidak boleh sangat cenderung kepada salah satu istri lalu mengabaikan istri yang lain dalam masalah materi. Hal ini dapat dipahami oleh Nabi ketika menafsirkan ayat yang berbunyi ةلن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولو حرصتم ... kalian tidak akan dapat berlaku adil diantara para istri, sekalipun kalian sudah berusaha semaksimal mungkin dalam masalah cinta yang berada dalam lubuk hati, karena manusia tidak akan dapat berlaku adil dalam masalah cinta walaupun sudah berusaha semaksimal mungkin, karena diluar kemampuan manusia. Maka ketika cinta Nabi saw. pada Aisyah ra. Melebihi cintanya daripada istri istri yang lainnya, namun Nabi saw. tetap berlaku adil diantara paraistrinya dalam masalah materi, beliau bersabda: اللهم هذاقسمى فيمااملك فلا تؤاخذ نى فيمالااملك رواه ابن حبان في صحيحه artinya:”Ya Allah ini adalah bagianku apa yang aku mampu kuasai/miliki, maka janganlah engkau menghukumku pada apa yang tidak mampu aku miliki.
[54] Para ahli fiqih mendefinisikan adil terhadap istri beragam, Arij Abdurrahman As Sanan mengutip beberapa pendapat ahli fiqih antara lain :
a. Al-Kasani (Ulama Mazhab Hanafi) menyatakan:”Bahwa adil terhadap para istri adalah menyamakan para istri dalam semua hak hak mereka menggilir, nafkah dan sandang.”
b. Ibnu Abidin (Mazhab Hanafi) menambahkan definisi Al-Kasani:”Adil terhadap para istri ialah tidak zalim (berat sebelah) dalam menggilir, pangan, sandang, dan keikut sertaan mereka ketika bepergian.”
c. Al-Qurthubi (Mazhab Maliki) dalam bukunya al-Jami mengatakan:”Bahwa adil terhadap para istri adalah menyamakan mereka dalam menggilir dan menafkahi mereka.”
[55]Kemudian Arij juga mengutip dalam kitab al-Fatawa al-Hidayah menyebutkan:”Keadilan dan perlakuan sama seorang suami kepada para istrinya dalam hal hal yang sanggup dilakukannya yaitu menginap, kebersamaan, dan kedekatan, bukan dalam hal yang tidak sanggup ia lakukan seperti rasa cinta dan hubungan seksual.”
[56]Dari definisi diatas dapat disimpulkan, bahwa adil yang dimaksud adalah dalam hal yang dapat diukur dan dilakukan oleh suami secara manusiawi, seperti nafkah, giliran, sandang dan tempat tinggal, sedangkan cinta, jumlah hubungan seksual, jumlah ciuman dan sejenisnya yang sulit diukur dan dilaksanakan suami tidak diwajibkan harus adil.
Sumbangan islam yang paling berharga terhadap kaum wanita adalah menganjurkan agar hubungan antara pria dan wanita merupakan hubungan yang terhormat dalam kerangka hubungan suami istri, di mana disahkan dalam ikatan suatu pernikahan. Islam melarang keras terhadap seorang suami untuk melakukan hubungan gelap, sebab hal itu sama saja dengan merendahkan wanita. Akan tetapi, islam memperkenankan bagi seorang suami untuk melakukan poligami, di mana ia harus berani bertanggung jawab dan bersikap adil terhadap anak dan istrinya. Sehingga dengan demikian kedudukan wanita akan tetap terjaga dari kerendahan harkat dan martabatnya. Kemuliaan lainnya yang ditunjukkan di dalam islam, ialah hak wanita dalam menentukan mahar ketika hendak dinikahi oleh seorang lelaki.
[57]Islam memperlakukan wanita sesuai dengan kewanitaannya yang halus, lembut,dan manja. Sebagaimana islam juga memperlakukan pria sesuai dengan kejantanannya, dan berusaha agar wanita tidak merubah diri menjadi pria atau pria merubah diri menjadi wanita, baik secara fisik maupun secara psikis yang diwujudkan melalui prilaku. Islam mengharamkan wanita memamerkan bagian bagian tubuhnya yang dinyatakan sebagai aurat atau melakukan maksiat dengan cara lesbian atau menjadi seorang pelacur.
[58]Poligami disyariatkan dengan maksud demi kemaslahatan pihak istri, suami, anak anak dan bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kedudukan hukumnya di dalam ajaran islam bersifat mubah, artinya diperbolehkan. Namun kenyataannya – diakui atau tidak- aturan poligami ini sering dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan, sebab sering dimanfaatkan oleh kaum pria yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, islam memberi syarat syarat tertentu bagi suami yang hendak melakukan poligami. Islam mensyariatkan bahwa suami harus mampu berlaku adil dan tidak ada kehawatiran akan berlaku aniaya terhadap istri istrinya kelak. Sebaliknya, jika dihawatirkan suami akan berlaku tidak adil, maka poligami tidak diperkenankan.
[59]Kini timbul pertanyaan, manakah yang lebih baik antara mengharamkan poligami yang berarti membuka celah celah untuk melakukan perzinahan, hubungan gelap, kumpul kebo, atau memperbolehkan poligami di mana berfungsi sebagai langkah preventif terhadap tindak amoral.
[60]Bahkan jika di suatu negara yang perempuannya lebih banyak dari laki laki, maka menurut hemat penulis lebih baik dianjurkan kepada kaum lelaki untuk berpoligami, untuk memberi kesempatan para wanita menikah, sebab bila tidak diberi jalan keluar dihawatirkan terjadinya kasus perzinahan dan kerusakan moral dikalangan masyarakat.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, poligami menurut pandangan islam hukumnya mubah artinya tidak dianjurkan dan tidak ditutup rapat, tapi hanya sekedar pintu darurat yang hanya dapat dibuka pada saat dibutuhkan dengan syarat yang ketat dan tidak boleh melebihi dari 4 istri .
Sedangkan dalil disyareatkannya poligami yaitu Q.S.al-Nisa/4 : 3, banyak hadis hadis Nabi sebagaimana yang disebutkan diatas dan juga ijma ulama, sebagaimana Arij Abdurrahman As-Sanan yang mengutip kitab Ahkam al-Syar’iyah Fi Ahwal al-Syakhsyiah karya Umar Abdullah menyatakan:” Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulullah saw sampai hari ini. Seperti para Sahabat utama Nabi melakukan poligami antara lain Umar Bin Khatthab, Ali Bin Abi Thalaib, Muawiyah Bin Abi Sufyan, dan Mu’az Bin Jabal radiyallah ‘anhum. Poligami juga dilakukan oleh para ahli fiqih tabiin (generasi pasca Sahabat Nabi), dan lain lain yang terbilang tidak banyak. Mereka mengakui orang yang menikah lebih dari satu istri. Kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan khallaf (sekarang) dari ummat islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.
[61]Hasil wawancara Masdar F.Mas’udi dengan Zakiah Daradjat mengatakan
Pada prinsipnya, seharusnya tidak ada seorang pun yang melakukan poligami. Akan tetapi ada pengecualian bagi mereka yang karena istrinya mempunyai kelemahan tertentu atau disebabkan oleh kondisi yang sangat mendesak. Untuk masalah masalah tertentu terbuka pintu bagi mereka. Akan tetapi ini hanya merupakan sesuatu kasus force majeure. Observasi saya sebagai seorang psikoterapis menunjukkan bahwa memang terdapat banyak lelaki yang mempunyai libido tertentu yang sangat tinggi dan banyak pula lelaki yang normal. Laki laki yang berlobido tinggi ini disebut sebagai hyper dan sering kali istrinya tidak mampu memuaskan mereka. Karena itu, islam membuka sedikit pintu, hanya sebesar lubang jarum jahit. Bisa juga apabila istrinya sakit atau tidak dapat sepenuhnya melakukan kewajibannyasebagai seorang istri. Islam sangat keras dalam membahas hal ini. Perempuan harus memberikan izin bagi suaminya dalam kasus kasus tertentu seperti. Saya mengenal seorang perempuan yang meminta suaminya menikah lagi karena dia tidak dapat memuaskan kebutuhan suaminya sendirian. Dia mencarikan istri kedua untuk suaminya dengan sepenuh hati, karena dia merasa takut bahwa suaminya akan melakukan perbuatan zina.
[62]Zakiyah Daradjat pada prinsipnya mengakui kebolehan poligami menurut islam, bahkan dia menganjurkan untuk orang orang tertentu sebagaimana yang dialami oleh beberapa pasennya.
Sementara Amina Wadud sejalan dengan Muhammad Shahrur, dia mengatakan:
Akhirnya, tentang tiga pembenaran umum terhadap poligami, tidak ada persetujuan langsung dalam al-qur’an. Pertama adalah finansial; dalam konteks masalah ekonomi seperti pengangguran, seorang laki laki yang mampu secara finansial hendaknya mengurus lebih dari satu istri. Lagi lagi, pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua wanita adalah beban finansial; pelaku reproduksi, tapi bukan produsen. Di dunia zaman sekarang banyak wanita yang tidak memiliki maupun membutuhkan sokongan laki laki… poligami bukan solusi yang sederhana untuk masalah perekonomian yang kompleks.
[63]Kemudian dasar pemikiran lain untuk berpoligami difokuskan pada wanita yang tidak dapat mempunyai anak. Lagi lagi, tidak ada penjelasan tentang hal ini sebagai alasan untuk berpoligami dalam al-qur’an. Namun demikian, keinginan mempunyai anak memang alami. Jadi kemndulan laki laki dan kemandulan istri seharusnya tidak meniadakan kesempatan bagi salah satunya untuk menikah, maupun mengurus dan mendidik anak. Apakah solusi yang mungkin untuk keduanya bila istri atau suami steril sehingga pasangan itu tidak dapat mempunyai anak ?. Lalu dia menawarkan untuk mengambil anak yatim muslim maupun non muslim di negara yang terjadi perang.
[64]Akhirnya alasan ketiga untuk berpoligami selain tidak mempunyai sandaran dalam al-qur’an, juga jelas jelas tidak qur’ani karena berusaha untuk menyetujui nafsu laki laki yang tidak terkendali; yakni, jika kebutuhan seksual seorang laki laki tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Barangkali, jika nafsunya lebih besar daripada dua, maka dia harus mempunyai tiga, dan terus sampai dia mempunyai empat. Baru setelah empat, prinsip al-qur’an tentang pengendalian diri, kesederhanaan, dan kesetiaan akhirnya dijalankan. Karena pada awalnya istri disyaratkan untuk mengendalikan diri dan setia, kebijakan moral ini juga penting untuk suami.
[65]Tiga faktor yang memang tidak tercantum dalam al-qur’an sebagai alasan bolehnya berpoligami, seperti dapat membantu wanita dari segi finansial, jika istri mandul, atau karena nafsu seks suami lebih besar sehingga istri kewalahan jika ditanggung sendirian, hal ini memang tidak diungkap dalam al-qur’an, namun kenyataan itu telah dialami oleh suami istri, sehingga mendesak untuk melakukan poligami. Sebenarnya tiga hal ini hanya merupakan sebahagian hikmah dibolehkannya poligami, bukan syarat kebolehan poligami yang ditentukan Allah.
Lembaga Darut Tauhid menyatakan:”Hasil penelitian para ilmuan, bahwa jumlah wanita melebihi jumlah pria di dunia ini. Peperangan dan permusuhan antara ummat manusia meninggalkan sejumlah besar kaum wanita, sehingga melebihi jumlah kaum pria. Disebutkan pula bahwa sejumlah wanita ada yang mandul dan tidak diminati oleh seorangpun, atau boleh jadi sebagian istri mengidap penyakit yang menghalangi sang suami untuk menyalurkan nafsu seksualnya. Atau dapat juga terjadi ada sebahagian wanita yang belum ingin melakukan hubungan seksual bersama suaminya. Kondisi seperti itu, tidak mungkin diselamatkan kecuali dengan melaksanakan poligami. Jadi poligami adalah satu satunya solusi yang benar dan paling selamat untuk menghindarkan jatuhnya kaum pria dan wanita dalam perzinaan, pelacuran, penindasan seksual dan perbuatan haram. Secara realistis, masyarakat yang tidak mempercayai peranan poligami, dan malah melakukan kebebasan dan kehancuran moral, seperti masyarakat Eropa, Amerika dan Rusia atau lainnya, akan dilanda perzinaan dan pelacuran yang menurut mereka merupakan perbuatan yang biasa dan dianggap sebagai suatu tradisi. Dari kenyataan diatas, jelaslah bahwa islam yang besar ini telah mengangkat wanita setinggi tingginya.
[66] Dalam masalah poligami Muhammad Quraish Shihab menggunakan instrumen العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب karena ayat itu berlaku secara umum, tidak hanya seorang suami yang ditinggalkan istrinya dan juga tidak harus dengan janda yang memiliki anak yatim. Kemudian dapat dilihat pula ketika dia menjelaskan ayat perbudakan, dia tidak setuju ayat perbudakan itu tidak berlaku sama sekali, yang benar adalah pada saat tertentu ayat perbudakan memang tidak relevan, tapi mungkin saja pada abad mendatang dimana kondisi sama seperti ayat perbudakan turun, maka ayat perbudakan dapat dijadikan pedoman sebagai pelaksanaan hukum.
Muhammad Quraish Shihab- untuk menghindari penafsiran ayat al-Qur’an secara parsial, maka dia menggunakan metode munasabah ayat seperti masalah poligami dia mengkaitkan antara Q.S.al-Nisa/4 : 3 dengan Q.S.al-Nisa/4 : 129. Dan dia tidak mengakui adanya ayat ayat bias jender, tapi dia mengakui adanya para mufassir menerjemahkan ayat ayat bias jender.
Sedangkan ulama kalsik mereka berpegang teguh pada teks, maka tidak jauh berbeda dengan penafsiran Muhammad Quraish Shihab, namun Muhammad Quraish Shihab dia memberikan contoh yang kongkrit sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Adapun para pakar kontemporer, pada umumnya berangkat dari realita sosial masyarkat, atau yang biasa mereka sebut dengan bottom up atau yang biasa dikenal dengan العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ
Karena perbedaan instrumen, maka akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, yang satu berangkat dari teks yang suci, lalu mencari pembenaran, sedangkan yang lain, berangkat dari realita sosial masyarkat dan teks yang suci itu hanya sebagai pendukung.
D. Kesimpulan
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Poligami hukumnya mubah, namun tidak dianjurkan dan tidak boleh ditutup rapat, dengan persyaratan yang ketat.
Bila ada dampak poligami yang negatif, bukan berarti ayat poligami itu yang salah, tapi pelaku poligami itu yang melanggar aturan poligami.
Poligami merupakan solusi untuk memberi kesempatan kaum wanita menikah, dan menutup perzinaan dan kebejatan moral.
Sikap istri sama halnya dengan suami, kecuali poliandri, karena poliandri haram hukumnya
[1] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), Cet.III, h. 693
[2] Ibid., h. 693
[3] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 2 , h. 324
[4] Ibid., h. 324
[5] Ibid., h. 325
[6] Ibid., h. 325
[7] Ibid., h. 326
[8] Muhammad Shahrur, Op.Cit., h. 428
[9] M.Quraish Shihab, Op.Cit., h. 322
[10] Ibid., h. 428
[11] Ibid., h. 427
[12] Ibid., h. 429
[13] Ibid., h. 430
[14] Ibid., h. 434
[15] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama,2004), h.44
[16] Muhammad Syaltut, al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah, (Cairo : Daar al-Qalam , 1966), Cet. III, h. 186
[17] Siti Musdah Mulia, Op.Cit., h. 62
[18] Ibid., h. 66
[19] Ibid., h. 50
[20] Ibid., h. 51
[21] Muhammad Quraish Shihab, Op.Cit., h. 322
[22] Ibid., h. 322
[23] Ibid., h. 323
[24] Ibid., h. 110
[25] Ibid., h. 131
[26] Siti Musdah Mulia, Op.Cit., h. 116
[27] Ibid., h. 116
[28] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Terjemahan Sahiron Syamsudin), (Yogyakarta : eLSAQ Press, 2004), h. 425
[29] Arij Abdurrahman As-Sanan,Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta :PT.Global Media Cipta Publishing, 2003), h. 26
[30] Ibid., h. 26
[31] Ibid., h. 27
[32] Yusuf Qardhawi, Kedudukan Wanita Islam, terjemahan Melati Adhi Damayanti, (Jakarta : PT.Global Media Publishing, 2003), h. 123
[33] Ibid., h. 126
[34] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir, (Bairut : Daar al-Fikr,1991), Juz V.h. 244
[35] Ibid., h 242
[36] Ibid., h. 129
[37] Ibid., h. 302
[38] Ibid., h. 134
[39] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maragi, (Mesir : Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Halaby Wa Awladih, 1974) Juz IV.h.180
[40] Said Hawa, Al-Asas Fi al-Tafsir, (Cairo :Daar al-Salam, 1985), Jilid.II, h.992
[41] Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad dan Jalaluddin Abdu al-Rahman Bin Abi Bakar al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, (Bandung : Syarikah al-Ma’arif Bandung Indonesia, t.t.), Jilid. I., h.70
[42] Sayyid Quthub, Fi Dhilal al-Qur’an, (Cairo : Daar al-Syuruq, 1982), Jilid.1, h.579
[43] Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan Dalam Relasi Jender Pada Tafsir Al-Sya’rawi, (Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004), h.210
[44] Ibid., h. 211
[45] Ibid., h. 213
[46] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001),h.282
[47] Ibid., h.283
[48] Muhammad Quraish Shihab, Op.Cit., h. 581
[49] Ibid., h. 582
[50] Istibsyaroh, Op.Cit., h.207
[51] Muhammad Quraish Shihab, Op.Cit. h. 326
[52] Abdullah Nashih Ulwan, Ta’addud al-Zaujaat Fi al-Islam, (Saudi Arabia :Daar al-Salam,1984) Cet.II, h. 42
[53] Ibid.,h. 45
[54] Ibid., h.45
[55] Arij Abdurrahman As-Sanan, Op.Cit. h. 42
[56] Ibid., h. 45
[57] Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, Terjemahan Ahsin Wijaya, (Solo : CV.Pustaka Mantiq, 1989), Cet.III, h. 35
[58] Ibid., h. 36
[59] Ibid., h. 51
[60] Ibid., h. 53
[61] Arij Abdurrahman As-Sanan, Op.Cit., h. 29
[62] Abdurahman Wahid, at. al.,Menakar Harga Perempuan, (Bandung : Mizan, 1999), h. 240
[63] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, terjemahan Abdullah Ali, (Jakarta : PT.Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 150
[64] Ibid., h. 151
[65] Ibid., h. 151
[66] Lembaga Darut Tauhid, Kiprah Muslimah Dalam Keluarga Islam, (Bandung : Mizan, 1990), h. 159
Go Ahead, Share Your Thoughts! .