|
Friday, December 30, 2005
Whose Science? Whose Knowledge Thinking from women’s Lives
Penulis Sandra Harding Cornell University Press: Ithaca, New York 1996, 319 hlm + xii + Index Ditinjau oleh: Nadjematul Faizah
Buku dengan judul Whose Science? Whose Knowledge, ditulis oleh Sandra Harding Ph.D. Philosophy, New York University. Seorang educator dan Professor Phylosophy of Science, Director, UCLA Center for the Study of Women dan Professor di Universitas Delaware. Buku ini terdiri dari 3 bab yang diawali dengan kata pengantar (Preface) dari penulis sendiri dan diikuti dengan (1) Introduction yang memuat After the Science Question in Feminism. Ketiga isi bab itu pembahasannya adalah : Bab I Science yang mencakup empat judul yaitu (2) Feminism Confronts the Sciences: Reform and transformation; (3) How the Women’s Movements Benefits Science: Two Views; (4) Why “Physics” Is a Bad Model for Physics. Bab II Epistemology yang mencakup (5) What is Feminist Epistemology?; (6) “Strong Objectivity” and Socially Situated Knowledge; (7) Feminist Epistemology in and after the Enlightenment. Bab III “Others” yang mencakup (8) “…and Race”? Toward the Science Question in Global Feminisms; (9) Common Histories, Common Destinies: Science in the First and Third Worlds; (10) Thinking from the Perspective of Lesbian Lives; (11) Reinventing Ourselves as Other: More New Agents of History and Knowledge; dan kesimpulan (12) Conclusion: What Is Feminist Science? Buku ini membahas tentang serangkaian teori bagaimana science bekerjanya, Science dan kasus selanjutnya yang menjadi dasar untuk penemuan kembali persekutuan science dengan projek terhadap kemajuan demokrasi yang ditinjau dari perspective kehidupan perempuan. Mengapa? Karena, menurut Harding bahwa sementara ilmu pengetahuan bangsa Barat secara pasti dibantu masyarakat dari beberapa bagian untuk mengembangkannya, mereka secara simultan membantu bagi yang tidak berdaya lainnya seperti orang-orang dari turunan Dunia Ketiga, perempuan dan kemiskinan, keduanya ada disini dan di seluruh dunia. Oleh karena itu, menurut Harding, kita harus belajar untuk membuat hubungan (rantai) projek daripada science lebih kuat lagi terhadap kebutuhan semua penduduk dunia, bukan hanya keinginan siapa-siapa yang telah diuntungkan secara berlebihan. Selain itu, perspektif feminist harus terpadu dari gerakan sosial pembebasan bahkan lebih dalam lagi masuk ke projek mereka sendiri, dan jadi juga dapat lebih mampu untuk membuat persekutuan yang efektif dengan mereka. Dari Projek feminist science yang dipinjam dan kontribusi yang dibuat adalah anti-militarisme, gerakan ekologi, anti rasis dan perjuangan pascakolonialisme, dan gerakan kesehatan buruh. Harding menambahkan untuk kelompok ini harus ada cara yang lebih baik untuk menambah pengetahuan secara empiris dalam rangka untuk menjadikan ungkapan Galileo “Ilmu pengetahuan ilmiah untuk manusia (“Science for the people). Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa buku ini dibagi dalam 3 bagian yaitu: Pertama, fokus buku ini pada Science isunya pada perhatian yang khusus mengenai natural scientist dan researchers yang bekerja di kajian sosial dalam natural sciences. Selain itu, ditambah beberapa isu-isu kritis tentang science yang didesain untuk membuat diskusi nantinya pada topik-topik yang lebih dapat diakses oleh pembaca, siapa feminis baru yang mengkritik science dan epistemology. Selain itu juga, menganalisis penyadaran sumber pendekatan feminis terhadap obyektivitas yang sama sebagai proyek-proyek demokratisasi untuk bidang-bidang ini. Bagian kedua dari buku ini, “Epistemology” dimana Harding meneruskan beberapa isu-isu yang menjadi “standpoint theories” dari knowledge yang menambah diskusi tentang tradisional dan teori dari pengetahuan terbaru satu jenis teori baru yang membantah bahwa semua orang harus memulai menanyakan pertanyaan scientific dari perspective aktifitas perempuan, dalam rangka untuk mendapatkan kritikan yang lebih terhadap asumsi perspektif cara lain yang tidak ditanyakan. Kemudian Harding menantang kajian postmodernist terhadap subjek yang demikian. Point ketiga dari buku ini porsinya menerangkan “Others” dengan menggunakan logika dan standpoint epistemology sebagai arahan untuk kita mulai berpikir dari kelompok kehidupan yang tidak menjadi sentral bahan diskusi science dan epistemology dari feminist Barat. Dengan kata lain mendorong pembaca untuk mulai berpikir tentang diri mereka sendiri, nature dan hubungan social dari pada kehidupan kelompok yang dimarginalkan dalam pemikiran Barat. Kemudian untuk dipertimbangkan kembali hubungan antara pengalaman dan pengetahuan dan pertanyaan apakah gerakan pembebasan dapat melakukan untuk mempercepat “birthing” /timbulnya agen baru dari sejarah dan pengetahuan. Buku ditutup dengan menyimpulkan perdebatan logika yang ditransformasikan feminism dan science yang telah menjadi subjek dari bab-bab terdahulu, hal ini membuat pengertian untuk berpikir bahwa feminis science sudah kelihatan tampil berbeda. Dari judul buku ini whose science whose knowledge ada hubungannya dengan filsafat ilmu yang menjelaskan apa itu science dan apa itu knowledge. Akan tetapi bahwa science ditinjau dari sudut pandang atau perspektif kehidupan perempuan itu yang menantang untuk dianalisis. Hal ini menimbulkan pertanyaan siapa yang punya science dan siapa yang punya knowledge? Science dan knowledge itu milik siapa? Apakah milik jenis kelamin tertentu saja? Buku ini menjelaskan pandangan science dan knowledge dari pandangan perempuan dan ditutup dengan kesimpulan yang menjadi pertanyaan What is feminist science? Ini adalah bagian dari kesimpulan buku Harding yang akan dianalisis dengan mengkaji apa yang dimaksud dengan science, knowledge dan bagaimana gerakan perempuan memanfaatkan science?
Analisis Pembahahasan:
Buku ini ditulis oleh seorang filsuf perempuan Sandra Harding merujuk kepada judul buku ini adalah titik awal pembahasan dalam Filsafat Ilmu. Adakah persamaan Filsafat dan FIlsafat Ilmu? Sama-sama mempelajari tentang manusia, dunia dan akhirat. Dengan demikian terdapat kesamaan materi antara filsafat dan filsafat ilmu. Perbedaan Knowledge dan Science: Filsafat Ilmu dan Filsafat Ilmu Pengetahuan atau Knowledge dan Science adakah perbedaannya? Jawabnya ada, bagaimana melihat perbedaannya? Yaitu dengan cara mencari ciri khas dari filsafat yaitu mencari kebenaran atau kepastian, dengan kata lain adalah mencari sebab musababnya atau dengan ilmu kasualitas; Mengapa begitu, sebab begini atau bahasa Latinnya Cognitio per causa. Pengetahuan /knowledge diperoleh secara spontan berdasarkan fakta-fakta yang ada, sedangkan science atau ilmu pengetahuan ilmiah berbeda karena diperolehnya melalui pemikiran yang dasar-dasar pembenarannya empiric (apriori), teruji secara sistematis menurut kaidah-kaidah ilmiah, dapat digeneralisir, sistemik, memiliki kebulatan dan hubungan antar komponen, baik horizontal maupun vertical, besifat komparatif dan bukan spontan. Selain itu, subjek penyelenggara ilmu tidak semata-mata intuisi, tetapi bersifat intersubjektivitas yang memperlihatkan objektivitas atau tidak boleh terlibat sifat pribadi dalam penyimpulan dan pengubahan bentuk serta melibatkan manusia lain. Oleh karena itu, syarat subjek harus mempunyai derajad kecerdasan yang mampu berpikir kritis karena memiliki pengetahuan yang luas dalam menyusun suatu pengertian ilmu. Intersubjektif dapat disebut juga sebagai objektif tidak berpihak. Menurut Harding dalam lima tahun terakhir ini telah membanjir kritikan mengenai Western Science, teknologi, dan epistemology perdamaian dan gerakan ekologi, kaum kiri, filsuf-filsuf, aliran sejarah ilmu pengetahuan sosial, dan kritik Dunia Ketiga begitu juga dari Western Feminist. Konsekuensinya, kritikan feminist bukan suara tangis dalam hutan belantara yang terisolir tetapi dihubungkan secara tematis dan historis untuk meningkatkan analisis kritik yang ketat terhadap kehidupan mental dan hubungan social modern, androcentric, imperial, bourgeois West, termasuk Science dan termasuk gagasan knowledge. Buku ini menjelaskan tentang kritik dari feminist terhadap science, technology dan epistemology (viii-ix). Knowledge atau suatu pengetahuan (Conny Semiawan, Th.I. Setiawan dan Yufiarti, 2005, 107) termasuk ilmu atau pengetahuan ilmiah atau Science:
Apabila pengetahuan itu dan cara memperolehnya telah memenuhi syarat-syarat. Bila syarat-syarat itu belum dipenuhi, maka suatu pengetahuan dapat digolongkan ke dalam pengetahuan lain yang bukan ilmu, walaupun juga tidak usah termasuk filsafat. Bukan berarti yang bukan pengetahuan ilmiah sebagai lebih rendah,karena berbagai syarat untuk dapat masuk sebagai kategori pengetahuan ilmiah (Science) dengan kekuatan dan sekaligus keterbatasan pengetahuan ilmiah apapun. Pada umumnya syarat-syarat yang dimaksukd adalah dasar pembenaran, sifat sistematis, dan sifat intersubjektif. Selain itu ilmu juga mempunyai sifat penting lainnya yaitu: universal, dapat dikomunikasikan (communicable), dan progresif. Bahkan dalam banyak hal, satu atau lebih sifat-sifat itu sudah dengan sendirinya terkandung di dalam suatu pengetahuan bila pengetahuan itu sudah lengkap mengandung sifat-sifat dasar pembenaran, sistematik, dan intersubjektif.
Penjelasan di atas menunjukkan adanya persyaratan, bagaimana feminisme menyikapi hal ini? Mungkinkah sekaligus kekuatan dan keterbatasan itu yang menjadi titik tolak feminisme sehingga menuntut science menurut feminisme. Dalam Harding (hal. 1) dijelaskan bahwa tujuan kritiknya agar pembaca memberi kontribusi pengertian yang lebih realistis terhadap hubungan antara feminism, science dan kehidupan sosial. Diskusi feminis tentang science, teknologi dan teori-teori dari pengetahuan terjadi pada saat meningkatnya keraguan (skepticism) tentang kemanfaatan yang diperoleh dari science dan teknologi yang dapat mereka bawa ke masyarakat. Panggilan untuk mereformasi dan mentransformasikan semakin meningkat dari berbagai kelompok yang berbeda. Akan tetapi, diskusi juga terjadi apabila kaum intelektual mendapatkan bidang ilmiah lebih dalam dan teknologi kekuasaan juga lebih dalam pendidikan yang lebih tinggi dan dalam pemerintahan. Kritikan feminist dalam science ada tiga pemikiran yaitu, mereka mengkritik tidak saja ”bad science” tetapi juga problematik, etika, konsekuenses, dan status apa yang disebut sebagai ”Science-as-usual”. Kritik terhadap science-as-usual adalah dibuat dalam konteks untuk menyebut science lebih baik lagi: kecendrungan yang penting dalam feminisme mengusulkan untuk lebih mengadakan secara empiris cukup dan secara teori kurang parsial dan deskripsi distorsi dan penjelasan terhadap perempuan, laki-laki, hubungan gender dan sisanya adalah sosial dan dunia alamiah, termasuk bagaimana science melakukannya, bekerjanya dan berfungsinya. Dari segi teori yang digambarkan oleh European philosophy, kritik yang datang mencoba menggagas rekonstruksi science, apakah atau dan bukan dengan cara-cara feminis. Hal ini menunjukkan perdebatan feminis dalam ungkapan bahwa apa yang sudah pernah baik tidak akan dibuang dan menggantikannya dengan yang jelek (that there is no baby to be found in the bath water we would thrown out/thrown the baby out with the bath water- proverb). Analisa jalur tambahannya bukan hanya satu tapi banyak feminis, masing-masing menambah pengembangan dalam kedua teoretikal dan persyaratan historikal. Secara konsekuen, feminis menganalisis science, teknologi dan tidak setuju epistemologi dengan satu sama lainnya melebihi dari aspek isu-isu penting ini.(hal. 1). Dalam bukunya Harding memberi judul Feminism and Science: A confusing moment. Mengapa mereka skeptis tentang science (skepticm about the sciences). Dalam Conny Semiawan, Th. I. Setiawan dan Yufiarti (2005, 114): Progresif dapat diartikan adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntutan modern untuk ilmu. Sifat ini sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu, skeptis, menyeluruh (holistic, comprehensive), mendasar (radical), kritis, dan analitis, yang menyatu (seharusnya) dalam semua imajinasi dan penalaran ilmiah. Adanya cirri-ciri ini, yang mula-mula didominasi oleh sikap skeptis terhadap segala sesuatu yang dianggap benar akanmendorong seseorang untuk terus menerus mempertanyakan semua pengetahuan, kemudian cirri-ciri yanglain akan membawanya ke imajinasi dan penalaran filosofis ilmiah, yang kemudian berlanjut ke pengembangan pengetahuan, dan berujung pada penemuan pengetahuan baru. Dengan demikian berlangsunglah progresivitas pengetahuan.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika feminis mengalami kebingungan dan timbul skeptis tentang science tidak menjadi masalah, karena itu merupakan salah satu ciri-ciri filosofis. Semua itu dilakukan dengan spirit of innovation, melihatnya dari ciri dan cara ilmu itu yang harus kita ketahui. Karena manusia memiliki sifat keingintauan (curiosity) sehingga akan muncul pertanyaan mengapa, apanya yang begitu dan bagaimana sampai begitu? Semua ini dibahas secara ilmiah dalam filsafat ilmu yang menggunakan analisis dengan skeptis (keraguan), radikal, holistik dan kritis. Pertanyaannya science yang mana? Menurut Harding (hal. 2) Modern Western Science dan teknologi mereka selalu dipandang dengan kedua hal yaitu antusias dan ketakutan. Di lain pihak, kita cenderung untuk bijaksana, paling tidak beberapa dari mereka bertanggung jawab untuk standard kehidupan yang tinggi, dimana banyak orang di Barat menikmatinya, khususnya jika kita berkulit putih dan menengah atau kelas atas. Hal ini tidak terbayangkan oleh kita bahwa kita akan putus asa terhadap makanan, pakaian, pengobatan, mobil dan pesawat, computer, televisi dan telepon yang telah disediakan melalui scientific dan technological development. Di lain pihak, hanya siapa saja atau yang bertanggung jawab untuk bom atom, Agent Orange, exploitasi industri, polusi udara dan penumpahan minyak yang sangat luas, kontrasepsi yang berbahaya seperti perlindungan Dalkon, penggunaan valium tidak pada tempatnya, pencatutan kesehatan, kematian bayi yang tinggi di Amerika, Kelaparan di Etopia, dan perkembangan orang kulit hitam kelas bawah di Amerika? Kaum Conventionalist menegaskan bahwa science memperoleh kredit penuh terhadap aspek yang baik bagi cara hidup orang Barat (Western way of life). Tetapi, bahwa yang demikian itu adalah salah menggunakannya dan apakah kesalahan penyalahgunaan secara keseluruhan oleh kaum politikus atau industrialis yang diduga mengaplikasikan informasi yang murni secara sosial adalah cara yang tidak bertanggung jawab. Dalam Bronowsky (1973, hal. 259) dijelaskan apa yang dimaksud dengan social responsibility sebelum revolusi industri para ilmuwan harus menyatakan yang benar (to tell the truth) Sedangkan dalam revolusi industri social responsibility yang menunjukkan bahwa ada dampak pada kehidupan masyarakat yang membuat manusia menjadi materialisme. Penegasan terhadap pemisahan antara permintaan pekerjaan yang murni scientific, dan pekerjaan teknologi, dan science yang diaplikasikan telah lama dikenal sebagai strategi yang penting dalam usaha elit Barat. Untuk menghindari pertanggungjawaban terhadap yang asli dan konsekuensi dari science dan teknologi atau untuk kepentingan, keinginan, dan nilai-nilai yang mereka promosikan. Dari perspektif sosial, hal ini sangat menarik sebenarnya untuk menghormati science masa kini sebagai dasar masalah sosial. Dalam buku ini Harding menjelaskan bahwa feminis menganalisis apa yang disuarakan oleh gerakan ecology dan environment, kaum kiri, gerakan buruh, dan anti rasis, gerakan hak-hak binatang, gerakan anti imperialisme keduanya dalam dunia Barat dan Dunia Ketiga. Walaupun postmodernist[1] yang mengkritik fondasi dari filosofis rasionalistas Barat seharusnya dianggap sebagai bagian dari pengetahuan counterculture. Maksudnya adalah pandangan ilmu dunia Barat atau cara berpikirnya. The indigeneous peoples dalam dunia modern Barat dimana mereka berada di rumah masyarakat Barat memiliki pola kepercayaan dan kultur yang berbeda dimana scientific rationality memainkan peran sentralnya. Orang-orang asli (natives) untuk mengakui seperti yang lainnya mendapatkan masalah bahwa mereka memamerkan pola dan kepercayaan yang secara kultur berbeda. Seperti menemukan bahwa orang berbeda bicara tentang perbedaan gender. Dari sudut pandang Antropologi, keyakinan dalam scientific rationality paling tidak bagian dari tanggung jawab bagi banyak orang Barat. Kepercayaan dan perilaku yang menunjukkan kebanyakan tidak rasional terhadap pola kehidupan orang dan proyeknya tidak mudah cocok dengan yang hidup dalam dunia modern Barat. Dari perspective kehidupan perempuan, sering scientific rationality tampil tidak rasional seperti yang dikutip dalam Lubis (2004, hal. 13) dalam footnote postmodernitas. Kenaikan status intelektual dalam science dan teknologi. Peserta dalam counterculture science bertambah, terjadinya hanya jika prestise dari intelektual science dan teknologi pendidikan dan pemerintahan meningkat lebih tinggi. Ilmuwan telah memegang kehormatan dalam hal ini sejak sputnik, tentu saja, bahkan sejak Newton tapi banjir industri dan dana federal yang disalurkan kedalam ilmu dan proyek teknologi universitas dalam hari-hari ini sesungguhnya mengherankan. Hal ini sudah lama sejak penelitian ilmiah yang dianggap kebermaknaannya yang disosialisasikan dalam kehidupan nyata sebagai tujuan negara dan industri jika itu pernah dilakukan. Penelitian ilmiah adalah bagian penting dari dasar ekonomi masyarakat modern Barat. Ilmu dari counterculture paling tidak sebagai permulaaan dari kemungkinan penilaian realistis kedepan untuk Barat, penilaian terhadap kekurangan dalam fundamentalisme intelektual. Kebutuhan terhadap ilmu baru (The need for New Sciences). Agenda Feminis yang dimiliki adalah termasuk menurunkan ilmu baru. Perempuan membutuhkan science dan teknologi yang buat perempuan, dan perempuan yang berada pada semua kelas atau golongan, race, dan kultur. Feminist termasuk male dan female ingin menutup kesenjangan gender dalam melek scientific dan teknologi untuk menciptakan cara berpikir dan belajar dari teknik yang ada dan kemampuan yang membolehkan perempuan untuk mendapatkan lebih pengawasan dari kondisi kehidupan mereka. Ilmu-ilmu yang demikian harus dan dapat bermanfaat bagi laki-laki juga, khususnya yang dimarginalkan oleh rasis, imperialisme dan eksploitasi kelas. Ilmu baru bukan hanya untuk perempuan, tapi hal ini adalah waktu untuk bertanya seperti apa ilmu yang kelihatannya untuk perempuan laki-laki (‘female men”), mereka semua, dan yang diutamakan bukan orang kulit putih, bangsa Barat, dan secara ekonomi menguntungkan laki laki “male men” siapa yang mendapatkan manfaat dari ilmu-ilmu yang cenderung mengalir tidak bersifat sepadan. Lebih jauh lagi, ini adalah waktu untuk menguji secara kritis terhadap konflik kepentingan terhadap perempuan dalam ilmu. Dalam kelas oposisi dan rasis kepentingan perempuan yang tidak homogen yang mungkin dimiliki. Feminist menegaskan agar pertanyaan diajukan secara sifat dasar dari hubungan sosial, dan berbeda-beda ilmu dari pada prefeminist pernah menayakan. Apakah itu conventional atau counterculture. Bagaimana perempuan dapat me-managed kehidupan mereka dalam konteks science dan teknologi yang didesain dan diarahkan oleh institusi yang berkuasa untuk menunjukkan bahwa mempunyai sedikit kepentingan dalam mengkreasikan manfaat hubungan terhadap siapa saja tetapi bagi mereka yang berada dalam kelompok yang kuat?
Bagaimana gerakan perempuan memanfaatkan ilmu? (How the Women’s movement benefit science?): Metodologi dan epistemology dari modern science mengasumsikan bahwa manusia sebagai yang mengetahui (knower) adalah dapat dipertukarkan. Harding mengutip apa yang dikatakan Galileo: “Anyone can see through my telescope” kemudian dia menjadi anggota dari gerakan pembaharuan ilmu (New Science Movement) yang tumbuh dengan subur di Inggris dalam abad ke tujuhbelas, yang menginginkan mengambil alih monopoli dari kaum Aristokrasi, the humanists, dan hak kependetaan terhadap Negara, apakah dengan bukti peraturan yang baik dan dasar penyebab kecendrungan terhadap dunia alamiah. Ungkapan “Science for the people” dia (Galileo) proklamirkan, yang diambil lagi dalam tahun 1960an yang berimplikasi bahwa peserta demokrasi dapat mendahului science. Dari perspektif kelompok masyarakat yang tidak termasuk dan kelompok yang dipinggirkan (marginalizes), saat ini tuntutan konvensional bahwa semua knowers harus dapat dipertukarkan dapat terlihat memiliki konsekuensi anti demokrasi tertentu. Jika semua yang mengetahui dapat dipertukarkan, lalu affirmative action dalam science hanya agenda moral dan politik. Hal ini tidak dapat menjadi konsekuensis positif untuk isi (content) atau logika dari natural science; pekerjaan ilmiah laki dan perempuan, kaum hitam dan putih, Nazi dan Ku Klux Klanners secara sama akan diawasi dan didisiplinkan oleh metode ilmiah. Apabila semua knowers dalam prinsip yang dapat dipertukarkan, lalu kaum putih, bangsa Barat, secara ekonomis diistimewakan, laki-laki heterosexual dapat menghasilkan knowledge sekurangnya dapat sebaik orang lain. Mereka bicara sebagai sifat dasarnya sendiri dan bukan sebagai kritik yang mencurigakan diluar asumsi dasar sejarah yang khusus, bagaimana manusia harus berinteraksi dengan alam, atau hubungan sosial manusia yang pengetahuan empiris sebagai sumbernya. Jadi, affirmative action[2], dan hak-hak sipil dan gerakan perempuan yang telah diperjuangkan secara gagah berani untuk membangun dan menjaga agenda affirmative action dalam universitas dan tempat bekerja, kelihatannya tidak ada relevansi terhadap gambar yang diproduksi dunia oleh ilmu pengetahuan (science) atau terhadap teori-teori dari pengetahuan (theories of knowledge). Orang-orang yang masuk ke dalam sciences bukan sebagai pikiran individu yang ingin tahu tetapi sebagai anggota kelompok dengan agenda politik (apakah atau bukan individu sebagai anggota kelompok seperti “women” dan “minorities” terhadap agenda ini adalah mereka sendiri yang telah memasukkannya) kelihatan lebih untuk membawa masuk kedalam pekerjaan distorsi nilai sosial atau logika yang berlawanan asas (paradoxical) giliran knowers yang dapat dipertukarkan The “feminization of science” ditentang oleh ilmuwan abad ke sembilanbelas ketika perempuan pertama kali memasuki golongan ini. Pembahasan dalam bab ini menunjukkan hasil yang positif bahwa agenda affirmative action dan konsekuensis terhadap gerakan hak-hak sipil perempuan yang secara umum telah lebih dapat menerima science dan untuk pencarian knowledge. The Critique of “Bad Science”: Peneliti feminis dalam bidang biologi dan social science telah memperlihatkan secara detail dan meyakinkan hasil penelitian sexist androcentric[3] yang tidak cukup secara hati-hati mengikuti prinsip yang dimengerti dari metode dan teori. Dasar generalisasi tentang manusia hanya pada data tentang metode peraturan yang jelas tentang pelanggaran laki-laki dan teori. Jatuh pada pertanyaan, mengapa jawaban perempuan terhadap dilema moral bukan desain kategori yang cocok untuk menerima jawaban laki-laki harus sejak jauh dipandang sebagai sesuatu yang tidak beralasan. Desain penelitian yang memiliki legitimasi hanya wawancara laki-laki tentang apakah salah satu laki-laki atau perempuan secara normal dalam fungsi sistem reproduksi yang belum matang atau prinsip dari biologi yang kekurangan dasar tentang cara hama penyakit, tidak disinggung secara pengertian. Apabila kritik diakhiri argumen dengan serangan yang demikian pada bad science (kebanyakan tidak), mereka harus mencoba untuk menjaga prinsip dari penelitian yang baik dan penjelasan yang logis (pembenaran logis dalam persyaratan filsuf) secara luas dimengerti hari ini secara alamiah dan social science. Pengertian ini telah berkembang pada waktu pertama ketika natural science menjadi positivist[4]. Akan tetapi science lebih tua dari era positivist. Hanya pada abad ketujuhbelas belakangan yang pertama dikatakan bahwa kebermanfaatan positive science dibatasi dalam hal metode, jadi membuat tidak penting bagi ilmuwan dan lembaga pengetahuan memperhatikan dengan lahirnya sosial, politik, ekonomi asal, konsekuen, atau merupakan nilai dari pengetahuan. Pengertian kritik bad science dari feminisme dalam buku yang ditulis oleh Harding ini menunjukkan bahwa science yang memakai ukuran positivisme. Jadi bad science adalah yang mendukung tujuan dari objektivitas bebas nilai (netral) dan untuk semua penyelidikan ilmiah yang sifatnya tidak memihak. Mereka mengasumsikan bahwa ada tempat yang menguntungkan Archimedean (or median adj pertaining to Archimedes, a celebrated Greek mathematician, Chamber paperback dictionary) dari hubungan alamiah dunia sosial dapat dilihat dari perspective mereka. Bronoswsky (1973 hal. 74) dalam The Harvest of the Seasons menyinggung masalah Archimedes yang menjelaskan teori tentang pengungkit tanah (theory of the lever to the Greek) . Hal ini diilhami oleh pernyataan orang dari Timur Tengah ribuan tahun sebelumnya yang mengatakan “berikan saya sebuah titik tumpu dan saya akan memberi makan pada tanah”. (“Give me a lever and I will feed the earth”). Dapat juga disimpulkan sebagai median adalah penengah atau berada ditengah-tengah. Pendapat terbagi tentang apakah satu harus mendiskusikan sisa bekas positivisme dibawah nama tersebut. Beberapa ilmuwan hukum alam, banyak ilmuwan sosial, tapi kebanyakan tidak ada filsuf ilmu yang secara bahagia menjelaskan filosofi mereka terhadap ilmu pengetahuan ilmiah sebagai positivist. (hal. 57). Dalam teori conventional, subjek pengetahuan, ilmuwan, yang mengetahui (the knower) selalu individual; yang mengetahui tidak bisa kelompok sebagai kelas sosial atau gender. Individual ini adalah abstrak “it” tidak dapat memiliki sejarah identitas sosial secara khusus. Pengarang (penulis) dari hasil penelitian ilmiah dianggap secara sosial tidak bernama (anonymous). Hal ini tidak menjadikannya berbeda terhadap “goodness” dari hasil penelitian apakah penelitinya orang Cina atau Inggris, Afrika Amerika, perempuan atau laki-laki. Metode ilmiah dianggap menjadi cukup berkuasa untuk menghilangkan bias sosial apa saja yang mungkin menemukan jalan mereka dari situasi sosial untuk masuk ke hipotesis ilmuwan, konsep-konsep, desain penelitian, pengumpulan bukti, atau interpretasi dari hasil penelitian. Pembelaan yang demikian ini jarang sekali diakui, teori dari knowledge kenyataannya adalah bagian dari pandangan dunia yang termasuk sebagai unsur pusat politik liberal dan teori moral. Pengamatan dari kelompok Archimedian bahwa “good science” adalah penyelenggara (administrator) yang tidak berpihak terhadap teori politik liberal dan tidak berkepentingan pada moral filsuf the “good man” terhadap etika liberal. Harding menyebutnya “feminist empiricism” dari bentuk feminis terhadap teori ini sebagai yang diaplikasikan ke science dan prosedurnya untuk menghasilkan knowledge.
What Is Feminist Science: Dalam suatu bentuk atau lainnya dan dengan berbagai pertimbangan di benak, pertanyaannya adalah akan adakah sains feminis (“can there be feminist science”?) sebenarnya telah ditingkatkan melalui setiap orang yang berpartisipasi atau renungan diskusi feminis dalam science. Pembahasan sebelumnya ada respon negatif, beralasan (reasonable)) atau hanya ada respon positif yang terbatas dalam pertimbangan dan perdebatan yang membuat beralasan untuk berpikir bahwa sudah ada (already are) sains feminis yang spesifik (specifically feminist sciences) yang bermanfaat bagi keduanya yaitu feminisme dan sains untuk terus mengembangkan diri mereka. Untuk menjawab pertanyaan what is feminist science adalah beragam dan berbeda-beda. Interpretasi terhadap feminis, feminin atau female sains menjadi pembahasan yang kritis terhadap pengaruh male biologi. Para pemikir feminis yang cenderung dan telah mempertimbangkan dengan hati-hati kemungkinan penolakan feminis sains terhadap dominasi kultur untuk menurunkan nilai dan mengabaikan perbedaan pengetahuan dan kemampuan perempuan untuk membawa ke kehidupan sosial masyarakat termasuk sains. Jadi, harus dievaluasi kembali aktifitas yang dilakukan oleh perempuan, tentang kemampuan dan pengembangan talenta (talents) dalam kinerja aktifitas tersebut, apakah yang dapat dipelajari yang dimulai dari pemikiran aspek penting kehidupan perempuan dalam setiap bidang disiplin ilmu. Karena, sains dan feminity telah di bangun lagi dan lagi dalam posisi masing-masing, dalam bidang politik yang sangat sama. Hal ini menggoda di coba untuk mengacaukan pola ini dengan menolak, atau mencoba menjembatani kesenjangan antara kedua ini. Tetapi, banyak feminis yang mengkritik beberapa aspek dari feminitas dan maskulinitas, sebab keduanya adalah gender yang secara sosial dibangun dalam desain hubungan gender dan dipertahankan oleh institusi yang dominan. Perempuan secara sistematis tidak diikutsertakan dalam posisi kepemimpinan dalam institusi ini dan jadi mereka harus menanggung dari desain gender. Hasilnya, kebanyakan pemikir feminis sangat berkeberatan untuk mengindentifikasikan sains feminis dengan feminine science. Untuk kembali ke pertanyaan: satu cara yang berguna terhadap perbedaan konsep atas keberadaan respon feminis terhadap kemungkinan sains feminis yang dibedakan dalam tiga golongan pemikir ialah yang memberikan jawaban negatif atau hanya jawaban positif terbatas terhadap pertanyaan dan golongan keempat yang terdiri dari siapa yang menjawab secara positif tapi pertimbangannya hanya mungkin dengan sosial sains dan biologi Harding menjelaskan bahwa perdebatan dan tuntutan yang mengatakan bahwa sains feminis telah hadir ditengah-tengah kita dan sains yang paralel terhadap gagasan yang timbul dari gerakan emansipasi sains dan dalam kajian sosial sains yang baru. Sebab, keutamaan dari feminis sains yang luas dalam pandangan saling berpotongan terhadap perubahan bentuk logika sains dan hal-hal yang telah dijelajahi feminisme dalam pembahasan bab-bab terdahulu. Logika dan metode feminisme ini yang anti positivisme. Selain itu feminis mempersoalkan masalah praktik dan institusi atau lembaga termasuk Negara. Dikotominya antara bad science dan good science yang memarginalkan kesempatan pertama bagi perempuan yang memiliki kemampuan di dalam bidangnya. Dimarginalkan, sehingga ini merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan dalam bidang kesehatan dan perilaku. Realitas ini berbahaya bagi good science jika perempuan tidak memainkan perannya dalam perubahan politik lebih dulu terhadap pengetahuan. Menurut saya mengapa feminis menuntut sains feminis karena pertama, social responsibility dari pengetahuan dan teknologi yang berdampak negatif pada kehidupan perempuan. Kedua, aliran positivis yang mengatakan bebas nilai dan obyektifitas. Feminis menuntut bahwa pengetahuan itu juga harus diperoleh dari pengalaman perempuan yang merupakan pertimbangan dalam menetapkan suatu teori pengetahuan. Apa yang dikatakan bebas nilai oleh kaum positivis itu menurut feminis adalah androsentris. Padahal seperti pengetahuan biologi adalah menyangkut masalah perempuan tidak berdiri sendiri. Jadi, apakah standpoint feminis dan epistemology feminis itu? Sehingga dapat mengatakan sains feminis.
Epistemology and Feminist Standpoint Theories: Epistemologi: Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian serta secara umum hal dapat diandalkannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan (“Epistemology, or theory of knowledge is that branch of philosophy which is concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and in the general reliability of claims to knowledge”) (D.W. Hamlyn, “History of Epistemology” dalam Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, 1967. vol. 3, hal. 8-9) .
Epistemology (from Greek episteme, “knowledge”, and logos “explanation”) the study of the nature of knowledge and justification: specifically, the study of (a) defining features, (b) the substantive conditions and (c) the limits of knowledge and justification. The latter three categories are represented by traditional philosophical controversy over the analysis of knowledge and justification, the sources of knowledge and justification (e.g. rationalism versus empiricism), and the viability of skepticism about knowledge and justification. (The Cabridge Dictionary of Philosophy, 1996)
Dalam Filsafat Ilmu dijelaskan bahwa Filsafat Ilmu mempelajari ilmu pengetahuan dan posisi ilmu pengetahuan yang dapat kita lihat dari epistemology (hakikat objek yang dikaji), ontology (hakikat substansi) dan axiology (hasil, nilai manfaat). Filsafat Ilmu bicara tentang kenyataan atau realitas ilmu pengetahuan. Epistemologi bisa juga disebut standpoint kita dalam memandang suatu pengetahuan dimana standpoint kita termasuk kultur dan ideology yang kita miliki. Persoalan kultur dapat dilihat dari dimensi “Macro culture, Messo culture dan Micro culture”. Macro culture dilihat dari system global dimana nilai-nilai yang dianut sebagai warga dunia, Messo culture merupakan kultur yang dianut oleh suatu bangsa (mainstream culture) dan micro culture merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh kelompok masyarakat dalam suatu bangsa. Dalam pendekatan epistemologis, secara spesifik mengkaji hakikat realitas ilmu pengetahuan dan hubungannya dengan keberadaan manusia. Webster mengungkapkan bahwa “Epistemology is the nature, method and limits of knowledge”. Cara manusia menangkap realitas tergantung sentuhan cultural yang diterimanya dan kodrat yang dibawa sejak lahir. Cara manusia belajar sampai mencapai kedewasaan dan memperoleh modal yang cukup untuk kehidupan, senantiasa diwarnai oleh kultur yang hidup di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kultur Barat dan Timur akan menghasilkan perbedaan, cara masyarakatnya menangkap realitas. Kultur Barat lebih mengedepankan akal budi (ratio), kemampuan abstraksi dan keilmuan, sementara kultur Timur lebih berorientasi holistik dari pada rasio dalam kehidupan sosial ekonomi. Dengan epistemology, kompleksitas realitas dari ilmu pengetahuan akan semakin terungkap, karena spesialisasi yang dimiliki manusia kadang kala bersifat tidak sesuai (incompatible) dan tidak sepadan (incommersurrable) dengan kebutuhan kultural manusia. Untuk itu diperlukan pertimbangan epistemologi secara kultural dan hal ini merupakan tanggung jawab ilmu untuk mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan main (rambu-rambu), sehingga manusia menemukan jati dirinya, yang sesuai dengan aturan main/prinsip-prinsip kultural yang dianut, yang pada gilirannya akan mewarnai visi hidup manusia. Konklusinya filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat ilmu pengetahuan, objek apa yang telah ditelaah dan hubungannya dengan kemampuan manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir, merasa dan mengindera lingkungannya, bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan untuk apa pengetahuan itu digunakan. Feminist Epistemology: Harding (hal. 106) menyatakan bahwa ada tiga kecenderungan yang telah memunculkan generasi baru terhadap teori pengetahuan yaitu feminist empiricism, feminist standpoint theory dan feminist postmodernism. Akan tetapi Harding dalam bukunya ini hanya fokus pada dua hal feminist empiricism dan feminist standpoint. Dalam halaman yang sama (106-107) Harding juga mengutip pengertian epistemology menurut Encyclopedia of Philosophy di atas (hal. 18).Bagi banyak pembaca gagasan dari Feminist epistemology dapat kelihatan kontradiksi dalam terminologi (Feminist versus Convetional Epistemology). Bisakah terminologi epistemology yang benar-benar sama diaplikasikan terhadap pemikiran feminis dan cara-cara berpikir epistemology yang sudah standar didominasi Filsuf Amerika dan Inggris dalam dekade terakhir ini? Kemudian, Harding mengutip ekspresi yang mewakili pandangan dari Anglo-American: “Epistemology, or theory of knowledge is that branch of philosophy which is concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and in the general reliability of claims to knowledge” (D.W. Hamlyn, “History of Epistemology” dalam Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, 1967. vol. 3)
Epistemologi berbeda dari psikologi yang tidak mempertimbangkan mengapa orang mempunyai kepercayaan yang merkea lakukan atau dengan cara yang bagaimana membuat mereka berpegang pada kepercayaannya. Dalam prinsip psikologi dijelaskan mengapa manusia menganut dan menjalankan kepercayaannya, tetapi kompetensi mereka tidak begitu penting untuk mengatakan bahwa apakah kepercayan ini baik kedengarannya. Jawaban terhadap pertanyaan ini harus dicari melalui orang-orang yang akhli dicabang pengetahuan ini dimana mereka mengambil kepercayaan ini. Akhli matematika dapat memberikan keabsahan teori Pythagoras, ahli Fisika dapat memberikan teori yang dipercayainya, prinsip yang tak dapat ditetapkan dan orang yang biasa tapi mampu bersaksi dapat menyampaikan apa yang sebagai saksi dipercaya pada waktu kejadian kecelakaan. Secara normal jika apa yang diyakini betul dan cukup teori diijinkan untuk mengklaim bahwa itu knowledge dan apakah itu secara khusus benar dapat dikatakan pada yang mengenal yang ditentukan oleh referensi teori yang pantas terhadap bidang tersebut dari mana kebenaran itu diambil. Epistemologi, bagaimanapun, pertimbangannya adalah bukan apakah atau bagaimana kita dapat mengatakan untuk mengetahui beberapa kebenaran khusus tapi dengan apakah kita dapat menuntut kebenaran knowledge dari beberapa seluruh kelas kebenaran, atau dalam hal ini apakah mungkin semua pengetahuan (knowledge). Jadi pertanyaan yang ditanyakan ini secara umum bahwa dalam pertanyaan yang ditanyakan bukan beberapa satu cabang pengetahuan (knowledge). Dalam pembahasan epistemology ini ada tension jadi harus dapat memilah apa yang dituntut feminis epistemology dan apa yang tidak dituntutnya. Dapatkah dibedakan feminist epistemology mendapatkan tempat dalam definisi tradisional dalam bidang dan masalahnya? Masalahnya jika ditemukan suatu bukti tidak controversial ketika ditampilkan untuk mendukung tuntutan dari nonfeminis yang ditampilkan untuk mendukung tuntutan feminis, hasilnya yang bukan controversial menjadi controversial. Jadi dalam kritik dikatakan tapi apakah ini semua fakta? Akhirnya perempuan dikatakan inferior dan feminism is politics. Bagaimana dapat dikatakan perempuan dan poltik menghasilkan fakta yang siapa saja akan mendapat kehormatan untuk menentang yang telah dihasilkan terhadap bukan orang tertentu, objektif, tidak memihak, bebas nilai fakta terhadap alam dan sosial sains. Menurut Gadis Arivia (2003, hal. 253): Sudah sejak lama epistemology feminis tidak dianggap serius dan cenderung dianggap mengada-ada. Tidak semua menerima definisi epistemologis feminis, yakni “cara perempuan berpengetahuan”, ”pengalaman perempuan” atau “pengetahuan perempuan”. Posisi para filsuf feminis adalah bahwa mereka skeptis tentang pengetahuan yang universal dan obyektif. Bagi mereka pendapat ini tidak menghiraukan adanya konteks sosial dalam pengetahuan dan intervensi status subjek dalam berpengetahuan. Menurut Harding yang dikutip Ollenburger (1996, hal. 77) adalah menunjukkan pada teori pengetahuan. Epistemologi menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang bisa menjadi ‘yang mengetahui” (the knowers); tes-tes keyakinan apakah yang harus dilewati agar disahkan sebagai pengetahuan; hal-hal apakah yang harus dikenali… Feminis Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan, yang menjawab pertanyaan tentang siapa yang bisa menjadi “yang tahu”. Haruskah pengalaman dan pengamatan kaum laki-laki saja yang bisa disahkan menjadi pengetahuan? Para feminis berpendapat bahwa epistemologi positivisme secara sistematis telah menghalangi kemungkinan bahwa wanita bisa menjadi ”yang tahu”. Para feminis telah mengajukan epistemologi alternatif yang mensahkan perempuan sebagai ’yang tahu’. Sehingga pengalaman dan pengamatan perempuan bisa disahkan sebagai pengetahuan. Sandra Harding mengusulkan untuk membentuk suatu epistemologi feminis yang memiliki lima kecendrungan: 1. penelitian yang adil di dorong oleh politik reformis liberal yang menolak diskriminasi pada perempuan dalam ilmu pengetahuan 2. penelitian terhadap penggunaan dan penyalahgunaan ilmu-ilmu pengetahuan sosial kemudian biologi, teknologi untuk meneliti proyek-proyek yang berbau sexist, races dan classes. 3. studi terhadap konstruksi sosial untuk mengesahkan kemungkinan adanya ilmu pengetahuan murni (tidak berbau sexist, races dan classes) 4. studi dekonstruksi (poststructuralist) perlunya memahami ini untuk menganalisa ilmu pengetahuan sebagai teks yang tujuannya menemukan kebenaran yang berkaitan dengan bahasa, struktur retoris (retorika) bahasa ilmiah. 5. studi epistemologi untuk mengeksplorasi dasar-dasar pengetahuan dalam relasi sosial dan struktur kekuasaan (Achyar Yusuf Lubis, 2000 tidak diterbitkan)
Oleh karena itu, menurut Harding bahwa ilmu pengetahuan modern Barat itu bersifat bourgeois dan androcentric. Ia kemudian menegaskan bahwa keduanya itu tidak dapat dijadikan alat emansipatoris (suatu sikap yang bisa mengangkat persoalan yang marginal ke pusat). Solusinya adalah harus menciptakan epistemologi sendiri untuk bisa dijadikan emansipasi ketidakadilan terhadap perempuan.
Feminist Empiricism: Feminis empirisme diturunkan melalui penelitian feminis dalam biologi dan sosial sains. Feminis empirisme adalah satu strategi epistemologi untuk pembenaran tantangan terhadap asumsi tradisional. Dalam laporan penelitian secara teratur ditemukan perdebatan bahwa sexist dan tuntutan androsentris yang mana objek penelitian hanya menghasilkan: ”bad science” hal ini disebabkan sosial bias mereka, oleh purbasangka. Purbasangka-pubasangka ini diciptakan melalui sikap permusuhan dan melalui keyakinan yang salah disebabkan oleh ketahayulan, ketidaktahuan, atau pendidikan yang salah tetapi sering telah menjadi berurat berakar dalam adat (dan kadang dalam hukum). Bias-bias yang demikian pada level secara khusus masuk ke dalam proses penelitian ketika masalah scientific diidentifikasikan dan didefinisikan, tetapi mereka dapat muncul dalam rencana penelitian dan dalam pengumpulan dan penafsiran data. Feminist empiricist berargumentasi bahwa bias-bias sexist dan androcentric dapat dihapuskan melalui kesetiaan yang lebih keras terhadap norma metodologi kebutuhan sains: hanya “bad science” atau “bad sociology” yang bertanggungjawab dalam menyimpan hasil penelitian. Selanjutnya, feminist empiricist, bahwa sering menunjukkan gerakan perempuan menciptakan kesempatan lebih untuk perempuan dan feminist (male dan female) untuk menjadi peneliti-peneliti, dan mereka kelihatan lebih daripada sexist laki untuk memperhatikan bias-bias androsentris. Isu empirisme dalam pembahasan ini adalah philosophy of science yang sekurang-kurangnya kembali ke Aristoteles tapi bergabung dengan Locke, Berkeley, Hume dan lainnya Filsuf Inggris dari abad ke tujuhbelas dan delapan belas. Dalam pengertian ini, pengalaman pembelaan empirisme lebih disukai sebagai gagasan sumber pengetahuan dan ini dibandingkan dengan rasionalisme. Ilmuwan yang sejaman sedikit atau filsuf menginginkan untuk memberikan peranan yang kecil sebagai alasan definisi emprisme yang tidak langsung pada hari ini tidak ada empiricist yang sejenis itu banyak yang ilmuwan sosial dan alam menegaskan pada sisa atau bekas dari filsuf empiris sebagai keunggulan pengamatan dan data murni (“pure data”) dan bahwa untuk kepentingan mengetahui sebab satu metode telah disertifikatkan melalui garis silsilah langsung kembali ke Empiris Inggris. Jadi sementara setiap orang berpikir bahwa penelitian empiris adalah penting untuk mendapatkan bagaimana kehidupan sosial dan alam diorganisir, meskipun satu dapat mengkritik empirisme (and feminst empiricism) sebagai theory tentang bagaimana melakukan penelitian dan untuk pembenaran hasil penelitian tersebut. Feminist Standpoint theories: Pada awal resume di atas telah disinggung feminist standpoint dan epistemology. Untuk menjawab bagaimana pembenaran hasil penelitian feminist yang dilengkapi oleh feminist standpoint theories. Mereka memperdebatkan bahwa tidak hanya sekedar pendapat tapi juga kepercayaan budaya terbaik – apa yang disebut knowledge yang disituasikan secara sosial. Perbedaan ciri-ciri dari situasi perempuan dalam jenjang gender (gender-stratified) masyarakat yang digunakan sebagai sumber dalam penelitian baru feminis. Dalam perbedaan sumber-sumber yang tidak digunakan oleh peneliti conventional, yang memungkinkan feminisme menggambarkan hasil empiris secara lebih tepat dan secara teori lebih kaya penjelasan dari pada penelitian conventional. Jadi standpoint theories menawarkan penjelasan dari perbedaan terhadap feminis empiris bagaimana penelitian diarahkan melalui nilai sosial dan agenda politik meskipun dapat menghasilkan secara empiris dan secara teori menghasilkan hasil yang lebih disukai. Who are these “standpoint theories”? Secara khusus kontribusi dibuat oleh tiga feminist yaitu: Dorothy Smith, Nancy Hartsock dan Hilary Rose. Dalam tambahan pengembangan tema standpoint ada nama-nama Jane Flax’s; Alison Jaggar yang menggunakan standpoint dalam Feminist Politics and Human Nature. Dan Harding sendiri secara ringkas mengembangkan satu versi teori yang kemudian didiskusikan dalam jumlah kemunculan mereka dalam The Science Question in Feminism. Perdebatan standpoint juga secara implisit dan secara eksplisit meningkat dalam kerja dan pemikir feminis lainnya. Feminis standpoint theories fokus pada perbedaan gender (gender differences), pada perbedaan antara situasi perempuan dan laki-laki yang memberikan keuntungan sains terhadap siapa-siapa yang menggunakan perbedaan tersebut. Filsuf feminis Nancy Hartsock seperti yang dikutip Gadis Arivia (2003, 258) dalam judul tulisan The Feminist Standpoint: Developing the Ground for a Specifically Feminist Historical Materialism (1983):
“mengambil pola Marxis yang memasukkan unsur analisis sosio-ekonomi dalam pengetahuan dengan gender. Hartstock menggarisbawahi adanya difference (perbedaan) dalam persoalan relasi laki-laki dan perempuan. Perempuan mempunyai kondisi khusus seperti dapat hamil dan melahirkan anak sehingga selalu terlibat dalam memelihara anak dan mengalami penindasan-penindasan domestik. Jadi, ilmu pengetahuan yang mengambil sudut pandang laki-laki tidak cukup.Pengetahuan yang sungguh sungguh adil harus mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu perempuan”.
Standpoint, menunjukkan bahwa feminis memiliki standpoint sendiri yang mengikuti kondisi lokal menjadi mini narasi dan tidak berlaku universal karena adanya ilmu dan kepentingan yang tidak bebas nilai. Sedangkan, menurut Nancy Hartsock (1998, hal. 236) A feminist standpoint is a practical technology rooted in yearning, not an abstract philosophical foundation.. Buku Harding yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1991 dan cetakan ke empat pada tahun 1996, untuk dianalisis pada tahun 2005 ini tentunya sudah banyak perubahan yang terjadi terhadap perempuan. Misalnya, seperti dalam Women, Science, and the Women’s Movement yang ditulis Donna M. Hughes dalam Sisterhood Is Forever: The Women’s Anthology for a New Millenium yang diedit oleh Robin Morgan pada tahun 2003 yang mengatakan bahwa selama keberadaan science dan teknologi, perempuan telah menjadi ilmuwan, insinyur dan pencipta. Kebangkitan gerakan perempuan di Amerika selama akhir ketiga abad 20 menginspirasikan banyak akhli sejarah untuk melakukan penelitian dan melaporkan tentang ibu-ibu yang berada di garis depan dari Science, matematika dan teknologi[5]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses perempuan pada bidang yang didominasi laki-laki bergantung pada keinginan laki-laki untuk memasukan atau tidak memasukkan perempuan. Dalam laporannya ini, pada permulaaan abad 21, secara luas dan legal diskriminasi dihapuskan dalam pendidikan dan pekerjaan, tetapi laki-laki masih merupakan pengontrol budaya bidang pendidikan dan iklim pembelajaran dan ruang kerja. Perempuan memiliki akses yang besar terhadap bidang dominasi laki-laki apabila kita mendapatkan kekuasaan untuk mendorong terbukanya pintu, menantang perilaku permusuhan dan praktek diskriminasi, dan mengumpulkan penghargaan dan penghormatan yang sama. Progres yang demikian bagi perempuan sebagai kelompok yang selalu dihasilkan dari aktifis feminist yang diorganisir. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa perempuan mempunyai kemampuan intelektual yang sama dengan laki-laki malah kadang melebihi laki-laki. Misalnya dalam Bronowsky dijelaskan bahwa penemu struktur DNA yang berbentuk double helix adalah Francis Crick dan James Watson. Padahal, Rosalind Franklin yang merupakan orang pertama yang mendapatkan hasil empiris dari foto-foto struktur DNA yang dimungkinkan oleh teknik X-ray crystallography yang dia kembangkan selama bertahun-tahun. Watson dan Crick merupakan dua saintis ambisius yang dengan ”licik” memanfaatkan data empiris Franklin secara diam-diam ketika mereka berusaha merekonstruksi struktur DNA. Ketika dua nama tersebut menjadi selebriti dalam dunia sains, nama Franklin tersimpan dalam sejarah yang paling bawah dan nyaris tak tersentuh. Franklin merupakan simbol diskriminasi perempuan dalam institusi sains modern, suatu institusi yang dibangun atas nama rasionalitas dan bebas nilai.(Sulfikar Amir, 2003) Ada hal-hal yang dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang universal sifatnya tetapi ada yang bersifat lokal. Dengan kata lain ada grand narrative dan ada mini narrative. Kita juga tidak dapat mengklaim diri sebagai yang mewakili kelompok tertentu karena belum tentu keterwakilan kita dapat diterima oleh kelompok tersebut. Misalnya, Sandra Harding seorang bangsa Barat berkulit putih belum tentu perempuan berkulit hitam setuju dengan apa yang disampaikan oleh Harding. Demikian juga terhadap kelompok yang hidup dalam Dunia Ketiga. Karena ada perbedaan cara pandang dan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat yang biasa disebut kultur. Sedangkan Harding menggabungkan dua kultur menjadi counterculture, mungkin ini yang mendasarinya untuk melanjutkan menulis buku: Is Science Multicultural Postcolonialism, Feminism & Epistemologies: Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies (Race, Gender, Science) pada tahun 1998. Saya lebih cenderung pada cross culture mengapa? Budaya dalam konsep kajian perempuan adalah konsep gender yaitu hasil dari konstruksi sosial terhadap maskulinitas dan feminitas. Gender, yang meliputi semua kewajiban (duties), hak-hak, dan sikap budaya yang dipertimbangkan secara tepat untuk laki-laki dan perempuan, adalah hasil ciptaan sosial (Wade & Tavris, 1994, hal. 122). Sedangkan definisi budaya (Matsumuto, 1994, hal. 4) adalah seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap bersama oleh sekelompok, diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui bahasa atau alat komunikasi yang berarti lainnya. Budaya adalah konstruksi sociopsychological, bersama-sama melintasi gejala dari psychological seperti nilai-nilai, perilaku, kepercayaan dan sikap sesama anggota terhadap gejala psychological. Budaya tidak berakar pada biologi, ras dan kewarganegaraan. Syaratnya ada fenomena yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Sedangkan untuk menjawab what is culture? (Bond and Smith, 1998, hal. 38-39) dan menurut Hershovit (hal. 48): budaya sebagai bagian dari lingkungan buatan manusia, bukan saja alat-alat bangunan tetapi institusi, pendidikan dan sebagainya. Kemudian menurut Rohner (1984) apa yang bermakna (what things mean) bagi suatu kelompok sehingga dalam hal ini mempengaruhi kehidupan. Setiap manusia dalam hal-hal tertentu adalah sama dengan manusia lain, ada kesamaan manusia lain akan tetapi tidak satupun seperti manusia lain. Culture atau budaya berperan dalam pembentukan tingkah laku. (Every man is certain respects a) like all other men, b) like some other men, c) like no other man (Kluckhohn and Murray (1948) Kompilasi semua sikap-sikap praktek gender dalam suatu budaya tidak bisa dilepaskan dari sejarah, lingkungan, ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan mempertahankan diri. Apabila dirangkum definisi budaya: , relatively organized system of shared meanings adalah suatu sistem yang terorganisir secara relative sebagai makna yang dimiliki bersama, meanings terkandung arti bisa berubah atau diubah (Bond, 1998, hal. 39) Meskipun kita dilahirkan dalam konteks tertentu bukan berarti budaya itu permanen, masih bisa diubah, bagaimana kita bisa mengubah? Dimana, dari mana dan bagaimana? Aturan masyarakat dikembangkan oleh laki-laki, sedangkan perempuan adalah sarana pengembangan dan perubahan budaya.
Kesimpulan: Dalam akhir kalimat halaman kesimpulan, jawaban dari pertanyaan Whose sciences? Whose Knowledge? Harding memberikan jawaban terserah kepada para pembaca. Apabila pengembangan ilmu hanya menjelaskan sequence-nya atau bagaimananya, maka filsafat ilmu menjelaskan “mengapa” semua ini terjadi? Yang hingga sekarang belum ada jawabannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa manakala ilmuwan sudah mengalami kebuntuan dalam perkembangan pikirannya, hanya satu yang dapat dilakukan yaitu ‘percaya” dan disitulah ilmuwan dan agama bertemu. Oleh karena itu kebuntuan kemengapaan hanya dapat dijawab dalam agama. Jadi dalam filsafat ilmu terjadi pertemuan antara ilmu, agama dan seni. Sesuai dengan ajaran agama Islam sebagai rahmatan lil’alamin ketika Allah SWT menciptakan mahluk dan isi dunia ini adalah untuk semua bukan untuk jenis kelamin tertentu. Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama menjadi khalifah di bumi ini. Seperti yang diungkapkan dalam Tafsir Al-Quran dan ilmu Pengetahuan dimana ayat yang pertama yang mula-mula turun yang berhubungan dnegan ilmu pengetahuan:”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu-lah yang Maha Pemurah, yang telah mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” Surat 96 Al’Alaq ayat 1 sampai 5). Selanjutnya pada ayat-ayat lain:”.......Katakanlah:”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (Surat 39 Az Zumar ayat 9) dan ayat lainnya: ”........Allah meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat .......” Surat 58 Al Mujaadalah ayat 11. Allah SWT menurunkan Al-Quran pada manusia. Orang yang beriman yang dimaksud dalam ayat ini bukan hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Oleh karena itu, tidak perlu pengkategorisasian atau segregasi, jika ada feminis sains maka akan ada maskulin sains. Menurut saya apa yang diungkapkan oleh Galileo bahwa ”Science for the people” sudah sejalan dengan Al-Quran, berarti termasuk relasi gender atau gender mainstreaming di dalamnya yang mencakup social responsibility dengan pertimbangan positif dan negatif terhadap kehidupan orang banyak. DNA ditemukan untuk hal yang positif tetapi juga untuk penindasan perempuan dan crime. Pihak Barat menciptakan alat untuk mengetahui bayi yang dikandung perempuan atau laki-laki bagi negara-negara tertentu dengan kultur yang mengiginkan anak laki-laki ini adalah positif. Akan tetapi, begitu diketahui bahwa bayi yang dikandung bukanlah anak yang diinginkan sebut saja perempuan maka anak tersebut digugurkan. Maka muncullah tuntutan terhadap hak-hak alat reproduksi perempuan. Jadi di satu sisi teknologi membantu dan pada saat yang bersamaan menjadi bencana bagi perempuan. Penemuan dan pengembangan atom, berlaku positif tetapi juga negatif sebagai alat pembunuh massal. Nuklir untuk kedokteran disamping itu juga sebagai senjata pembunuh. Bagaimana menyeimbangkan antara negatif dan positif inilah yang harus dilakukan. Bagaimana mengaplikasikan kebenaran ilmu? apakah ilmu yang didapatkan itu jika terbukti dapat bermanfaat atau dapat digunakan dalam segala hal? Apakah ini yang dimaksud dengan knowledge or certainty menjelaskan bahwa science ada ambang kesalahan atau paradoks ilmu bahwa ilmuwan tidak dapat melihat satu sisi saja terhadap kebenaran (imperfect) yang diperoleh berdasarkan pembuktian padahal ilmu pengetahuan dan pikiran manusia berkembang terus sehingga ilmuwan harus bersikap rendah hati (humble) tidak merasa benar sendiri. Karena ternyata temuannya berdampak negatif terhadap kehidupan perempuan khususnya dan manusia lain yang dipinggirkan.
Daftar Kepustakaan
Audi, Robert. (Gen. Ed.). (1996). The Cambridge Dictionary of Philophy. Cambridge: University Press. Amir, Sulfikar, 2003. Diskriminasi Sains terhadap Perempuan. Jawa Pos, 25 Januari 2003. Bond, H. Michael & Peter, B. Smith. (1998) Social Psychology Across Culture. London: Prentice Hall. Bern, Lipsitz, Sandra, 1993, The Lenses of Gender: Transforming The Debate On Sexual Inequality. New Haven & London: Yale University Press. Bronowsky, J. (1973). The Ascent of Man.Boston/Toronto: Little, Brown and Company. Gadis Arivia. (2003). Filsafat Berpespektif Feminis.Jakarta: yayasan Jurnal Perempuan. Harding, Sandra, 1991. Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women’s Lives. Ithaca, New York: Cornell University Press. Hartsock, Nancy C.M. 1998. The Feminist Standpoint Revisited & Other Essays. Colorado: Westview Press. Hughes, M. Donna. (2003) Sisterhood Is Forever: The Women’s Anthology for a New Millenium. Robin Morgan (Ed.) dalam Women, Science, and the Women’s Movement, diakses pada tanggal 14 Juni 2005. Lubis, Akhyar Yusuf. (2004). Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor; Akademia. Matsumuto, David. 1994. People Psychology From A Cultural Perspective. California: Brooks/Cole. Ollenburger, Jane C. & Moore, Helen, A. (1996). Sosiologi Wanita (A Sociology of Women). Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana (penerj.) Jakarta: Rineka Cipta. Semiawan, Conny; Setiawan, Th, I. dan Yufiarti (2005). Panorama Filsafat Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta: Teraju (PT Mizan Publika). Tavris, Carol & Wade Carole. (1994). Psychology and Culture (Water, J. Lonner & Roy S. Malpass (Ed.). Boston: Allyn & Bacon.
[1] Istilah “postmodernitas” dapat pula mengacu pada satu era dimana kepercayaan pada modernitas (the Enlightenment belief) mulai memudar. Misalnya mulai hilangnya kepercayaan masa modern bahwa ilmu pengetahuan dapat emnciptakan kemakmuran; bahwa modernitas dapat menghilangkan kemiskinan dan ketidakadilan; bahwa ilmu pengetahuan akan membawa kemajuan bagi kemanusiaan (emansipasi dan progress).Hilangnya kepercayaan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya dapat membantu manusia untuk memenuhhi keinginannya, akan tetapi juga di sisi lain menimbulkan banyak masalah dan penderitaan seperti: kerusakan lingkungan yang luar biasa, perang dan ancaman nuklir, dan pembunuhan masal yang dilakukan Nazi terhadap orang Yahudi dan Serbia terhadap penduduk Bosnia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan bukan saja tidak dapat menghilangkan kemiskinan dan ketidakadilan, akan tetapi sekaligus membuktikan bahwa modernitas memiliki dampak negative. Modernitas yang diidentikkan dengan manusia rasional dalam banyak hal, ternyata bertindak sangat tidak rasional. Berkurangnya kepercayaan pada rasionalitas dan doktrin ilmu pengetahuan modern serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi/informasi memeprcepat munculnya zaman postmodern. Toynbee dalam buku A Study of History (1974) menggunakan istilah postmodern untuk menjelaskan siklus sejarah dimaan mulai surutnya dominasi Barat, individualisme, kapitalisme dan kristianisme serta bangkitnya kebudayaan non-barat serta menonjolnya pluralisme dalam kebudayaan dunia sebagai awal dari kebudayaan postmodern (Toynbee, 1974) (Akhyar Yusuf Lubis, 2004, hal. 12-13) [2] Affirmative actions (pasal 4 Konvensi Wanita) yaitu langkah-langkah khusus sementara yang dilakukan untuk mencapai persamaan kesempatan dan perlakuan antara wanita dan pria.maka peraturan-peraturan inidihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai. [3] Androcentris adalah suatu kerangka berpikir, sudut pandang dan tolok ukur yang memusatkan perhatian atau mengutamakan keberpihakan pada kepentingan laki-laki (male bias) dalam membuat gejala, fakta dan data (pengalaman laki-laki dijadikan standar atau norma di masyarakat). Perempuan dilihat sebagai objek pasif, bukan pusat, bukan subjek, tidak merepresentasikan perempuan dan menampilkan pemikiran yang merugikan perempuan (Bern, 1993, hal. 41) [4] Positivist: Aliran positivis merupakan suatu paham dalam filsafat sains. Positivisme menjadi agama digmatis karen aia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut positivisme adalah pandangan dunia objektivisitk. Positivisme melembagakan pandangan dunia objektivitisnya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin kesatuan ilmu mengatakan bahwa seluruh ilmu baik ilmu alam maupun manusia harus berada dibawah payung paradigma positivistik. Ciri-cirinya adalah bebas nilai, fenomenalisme, nominalisme, berlaku iniversal, reduksionisme, naturalisme (lubis, t.t. h. 44) [5] A sampling: Phaenarete (midwife, mathematician, and incidentally, Socrates\d5mother), Hypatia of Alexandria (the most revered woman mathematician and scientist oft eh ancient world—385-415 C.E.), Trotula (medical doctor and lecturer at the University Salerno, considered to be mother of gynecology—circa 1050), astronomer Caroline Herschel, Ellen Swallow (who founded the scientific disicipline of ecology and was the first women admitted to the Massachusetts Institut of Technology), Emily Roebling (who took over design and construction of the Brooklyn Bridge when her husband was incapacitated), Marie Curie and her daughter Irene, Grace Murray Hopper (inventor of COBOL, an early major computer language), Rosalind Franklin, etc., etc. More comprehensive lists appear in Taking Hold of Technology (Washington, D.C.: American Association of University Women, 1983), and in Elise Boulding’s classic work, The Underside of History: A view of women Through Time (Boulder, Colorado: Westview Press, 1976). Dikutip dari RobinMorgan (Ed), 2003, hal. 1)
posted by KETUA PSW IIQ at 11:02 PM |
0 Comments:
Go Ahead, Share Your Thoughts! .
TAKE ME BACK TO THE MAIN PAGE...
|