Search in the Quran
Search in Quran:
in
Download Islamic Softwares (FREE)
Get Free Code
Powered by www.SearchTruth.com
Search Islamic Directory
Keyword:
Free Web Counter
hit Counter Credits

    Powered by Blogger

    My Daily Thoughts

Monday, March 13, 2006

Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

KEPEMIMPINAN LELAKI DAN PEREMPUAN DALAM
KELUARGA DAN MASYARAKAT
MENURUT ISLAM
Oleh : Drs. Anshori Lc
Ketua LPPI-IIQ
(Lembaga Penelitian dan Pengkajian Ilmiah-Institut Ilmu Al-Qur’an)

A. Pendahuluan
Kepemimpinan laki-laki dan perempuan dalam islam sering terjadi kontroversi dalam masyarkat islam, ini sebenarnya tidak perlu terjadi, bila memahami teks al-qur’an dan hadis secara benar.
Tampilnya Balqis dan Sulaiman adalah representasi kepemimpinan ratu dan raja dalam al-qur’an. Balqis dilukiskan sebagai pemilik tahta kerajaan” superpower”(Laha ‘arsyun ‘azhim) (Q.S.al-Namal/27 :23), dan tidak pernah ada dalam al-qur’an kata lahu ‘arsyun ‘azhim (bagi laki-laki memiliki tahta kerajaan) ,sementara Sulaiman mempunyai beberapa kemampuan, seperti menguasai dirgantara dengan perantaraan burung (Q.S.al-Namal/27:16), kemampuan melakukan mobilisasi sangat cepat, karena ia dapat merekayasa angin (Q.S.al-Anbiya/21:81), kemampuan untuk melakukan eksplorasi di dasar laut (.S.al-Anbiya/21:82), kemampuan untuk bekerja sama dengan jin dan burung Q.S.al-Namal/27:17), berkomunikasi dengan hewan dan serangga (Q.S.al-Namal/27:18), termasuk kemampuan untuk menguasai setan (Q.S.al-Anbiya/21:82). Dalam menghadapi kekuatan Balqis, Sulaiman terpaksa harus mengerahkan segenap potensi tersebut.[1]
Dari dua cerita kepemimpinan diatas, semestinya tidak ada perbedaan antra kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Namun yang perlu diperhatikan adalah perbedaan antara kepemimpinan di rumah tangga dan kepemimpinan di masyarakat, karena dua hal yang berbeda. Untuk itu penulis ingin mengemukakan perbedaan antara dua bentuk kepemimpinan.

B. Kepemimpinan Dalam Islam
Manusia sebagai makhluk sosial tentu memerlukan hubungan satu sama lain kemudian membuat kelompok-kelompok baik dalam lingkup kecil maupun besar, dan setiap kelompok apapun memerlukan seorang pemimpin. Maka ajaran islam telah mengatur sedemikian rupa yang berkaitan dengan kepemimpinan, ada kepemimpinan rumah tangga, kepemimpinan masayarkat, dan kepemimpinan negara dan sejenisnya. Untuk membahas masalah kepemimpinan, maka perlu dikelompokkan kepada dua macam kepemimpinan yaitu :


1. Kepemimpinan dalam rumah tangga
Diantara ayat yang mengatur kepemimpinan rumah tangga adalah (Q.S.al-Nisa/4 ayat 34 :
Artinya:”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Sifat kejantanan merupakan unsur pokok dalam kepemimpinan, maka suami adalah kepala rumah tangga menurut semua peraturan yang ada di dunia. Oleh karena itu anak-anak dinisbatkan kepada ayah walaupun seorang ibu yang banyak dibebani oleh seorang anak sejak dalam kandungan sampai melahirkan, bahkan sampai besar. Namun islam berbeda dengan peraturan yang ada di dunia, karena islam menjadikan suami menjadi pemimpin dengan dua alasan yaitu karena memiliki sifat kejantanan dan memberi nafkah. (Q.S.al-Nisâ/4 : 34).[2]
Jika laki-laki diwajibkan memberi nafkah kepada keluarganya, menjadikan sebab dia berhak menjadi pemimpin, maka bagaimana jika wanita yang mencari nafkah, apakah kepemimpinan dapat berpindah kepada sang istri ? Salim al-Bahnasawi menjawab:” Memberi nafkah semata bukan menjadikan sebab kepemimpinan ditangan suami, bahkan sebab yang paling prinsip adalah fisik yang dimiliki laki-laki.”[3]
Muhammad Shahrur pada aspek harta benda dalam firman-Nya Wabimâ Anfaqû Min Amwâlihim menyatakan:”Bahwa seorang pemilik harta benda pasti memiliki kepemimpinan (al-qiwâmah) tanpa harus melihat kecakapan dan ketinggian kesadaran dan kebudayaannya, sehingga seorang pemilik pabrik yang berpendidikan rendah, misalnya, bisa menunjuk seorang direktur yang berijazah tinggi untuk menjalankan pabriknya, dimana sang direktur akan tunduk terhadap seluruh kebijakan sang pemilik pabrik karena ia memeiliki kekuasaan untuk menyalurkan harta (qiwwâmât al-Infâq). Kekuasaan/kepemimpinan dalam bidang ekonomi ini tampak jelas pada individu-individu, keluarga, dan negara negara maju dan tidak berkaitan sama sekali dengan tingkat kebudayaan dan kecakapan.[4]
Menurut hemat penulis bahwa Muhammad Shahrur menghendaki kepemimpinan itu berada pada orang yang memiliki materi baik laki-laki maupun perempuan sekalipun dia tidak pandai dan lemah, kurang tepat karena Q.S.al-Nisâ/4 :34 bukan berbicara tentang sebuah perusahaan, tapi berbicara masalah rumah tangga yang memang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah, yaitu kepemimpinan dalam rumah tangga ada pada suami karena Allah sudah memberikan 2 hal yang ada pada seorang suami yaitu kelebihan dari segi fisik dan kewajiban memberi nafkah.
Kemudian Allah memberi Petunjuk kepada para suami dalam rangka mengatur dan mengantisipasi terjadinya pembangkangan para istri terhadap suaminya. Pertama suami harus menasehati mereka pada saat yang tepat dan dengan kata kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengkelan, dan kedua bila nasehat belum mengahiri pembangkangannya maka tinggalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah, tetapi di tempat pembaringan kamu berdua, dengan memalingkan wajah dan membelakangi mereka. Kalau perlu tidak mengajak berbicara paling lama tiga hari berturut-turut untuk menunjukkan rasa kesal dan ketidakbutuhanmu kepada mereka, dan ketiga kalau inipun belum mempan, maka demi memelihara kelanjutan rumah tanggamu, maka pukullah mereka, tetapi pukulan yang tidak menyakitkan agar tidak mencendrainya namun menunjukkan sikap tegas.[5]
Bila ketiga langkah tersebut tidak berhasil, maka langkah berikut adalah sebagaimana yang diperintahkan Allah (Q.S.Al-Nisâ/4 : 35) yang artinya:”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam (juru damai) itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Muhammad Quraish Shihab mengemukakan bahwa al-Rijalu Qawwamuna ala al-Nisa (laki-laki pemimpin wanita) bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan diatas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat, adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta mereka yakni untuk istri-istri mereka.[6]
Allah swt. menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok yaitu : Pertama, Bima Faddalallah Ba’dhahum Ala Ba’din (karena Allah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain), yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimilki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Disisi lain, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.[7]
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa"fungsi menciptakan bentuk" atau "bentuk disesuaikan dengan fungsi". Mengapa pisau diciptakan lancip dan tajam ? Mengapa bibir gelas tebal dan halus ? Mengapa tidak sebaliknya? Jawabannya adalah ungkapan diatas. Yakni pisau diciptakan demikian, karena ia berfungsi untuk memotong, sedangkan gelas untuk minum. Kalau bentuk gelas sama dengan pisau, maka ia berbahaya dan gagal dalam fungsinya. Kalau pisau dibentuk seperti gelas, maka sia sialah kehadirannya dan gagal pula ia dalam fungsinya.[8] Begitu juga bila fungsi suami disamakan dengan istri, maka akan terjadi dualisme kepemimpinan sehingga rumah tangga tidak akan terjadi mawaddah wa rahmah.
Kedua, Bima Anfaquu Min Amwalihim disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Bentuk kata kerja past tence /masa lampau yang digunakan ayat ini “telah menafkahkan“, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat ummat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal tersebut, sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini. Dalam konteks kepemimpinan dalam keluarga, alasan kedua agaknya cukup logis. Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak ? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas ? Tetapi pada hakekatnya, ketetapan ini bukan hanya atas pertimbangan materi.[9]
Wanita secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami, bahkan kekasihnya. Di sisi lain, pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama islam yang tuntunann tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya. Kewajiban itu diterima dan menjadi kebanggaan suami, sekaligus menjadi kebanggaan istri yang dipenuhi kebutuhan dan permintaannya oleh suami, sebagai tanda cinta kepadanya.[10]
Nah dari kedua faktor yang disebut diatas, lahir hak suami yang harus pula dipenuhi oleh istri. Suami wajib ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri. Ini bukan kewajiban taat secara muthlak. Jangankan terhadap suami, terhadap Ibu Bapakpun kebaktian kepada mereka tidak boleh mencabut hak-hak pribadi seorang anak.[11]
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menyatakan:”Perlu digaris bawahi bahwa kepemimpinan yang dianugrahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Bukankah musyawarah merupakan anjuran al-qur’an dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan yang dihadapi keluarga ?[12]
Muhammad Quraish Shihab mengutip perkataan Imam Fakhruddin al-Razi yang menyatakan:”Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. suami harus memperhatikan hak dan kepentingan istrinya, dan istri juga harus mendengarkan nasehat suaminya.”[13]
Berkaitan dengan kepemimpinan dalam rumah tangga, ada hal yang menarik pernyataan Muhammad Quraish Shihab yang dituangkan dalam buku karya beliau yang berjudul”Perempuan”mengungkapkan:” Bila dua syarat kepemimpinan suami dalam rumah tangga yakni kemampuan qawwâmah (sifat kepemimpinan) dan kemampuan memberi nafkah tidak dimiliki oleh seorang suami, atau kemampuan istri melebihi kemampuan suami dalam hal keistimewaan -misalnya karena suami sakit-sakitan maka bisa saja kepemimpinan rumah tangga beralih kepada istri. Tetapi ini dengan syarat kedua faktor yang disebut di atas tidak dimiliki suami. Jika suami tidak mampu memberi nafkah, namun tidak mengalami gangguan dari segi keistimewaan yang dibutuhkan dalam kepemimpinan, maka istri belum boleh mengambil alih kepemimpinan itu.[14]
Suami dijadikan pemimpin dalam rumah tangga oleh Allah, karena ada 2 ‘illat (motif penetapan hukum) yaitu memiliki kelebihan fisik dan kewajiban memberi nafkah, maka jika kedua hal tersebut tidak ada, maka dapat diambil alih kepemimpinan rumah tangga itu oleh istrinya yang memang memiliki kedua hal tersebut.
Wahbah al-Zuhaily dalam menafsirkan (Q.S.al-Nisâ/4:34) sejalan dengan M.Quraish Shihab dia menegaskan dalam tafsirnya:”Bahwa penafsiran ayat diatas adalah suami/lelaki adalah pemimpin daripada istri/wanita, dia sebagai kepala rumah tangga, dia sebagai hakim dalam rumah tangga dan sebagai pendidik istri bila istri menyimpang, dia sebagai pemelihara dan pengelola rumah tangga, oleh karena itu dia wajib berusaha dengan sungguh-sungguh, dia berhak mendapatkan waris lebih besar dari istri karena dia yang diberi beban untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya..[15] Ini merupakan bagian dari kebaikan islam sebagaimana ditegaskan dalam (Q.S. al-Baqarah/2 : 228)
Ahmad Mushthafa al-Maraghi juga sejalan dengan M.Quraish Shihab, dia menegaskan:”Suami memimpin istri, karena suami yang melaksanakan urusan istri, dan memperhatikan untuk menjaganya, sebab suami dilebihkan daripada istri, karena dua hal pertama, secara alami laki-laki itu diciptakan Allah kuat dan sempurna fisiknya seperti kuat akalnya, pemandangannya jernih dalam menghadapi permasalahan sejak awal sampai ahir permasalahan. Kedua, dari segi usaha, laki-laki memiliki kekuatan untuk usaha dan mengatur segala urusan, oleh karena itu laki-laki dibebani untuk memberi nafkah kepada istri dan melakukan kepemimpinan dalam rumah tangga.[16]
Begitu juga Zamakhsyari,[17]Sayyid Qutub,[18] Said Hawa, [19]mempunyai pandangan yang sama yaitu, bahwa kepemimpinan itu berada di tangan kaum lelaki (suami) disebabkan dua faktor, pertama kaum laki-laki diberi kelebihan oleh Allah seperti akal, ide, cita-cita, kekuatan fisik, kesempurnaan puasa, sholat, kenabian, kepemimpian, menjadi imam, azan dalam sholat, khuthbah, saksi dalam hukum pidana, qishash, mendapat waris yang berlipat, memiliki nikah, dan talak. Kedua disebabkan kaum lelaki diwajibkan memberi nafkah dan mahar pada sang istrinya dan anak-anaknya.

2. Kepemimpinan dalam masyarakat/pemerintahan
Kaum wanita bebas berpendapat dan berfikir karena Allah telah berfirman dalam beberapa ayat tentang musyawarah antara lain (Q.S.Ali Imrân/3:159) dan (Q.S.al-Syurâ/42 : 38). Di dalam musyawarah tidak ada perbedaan dalam mendiskusikan masalah-masalah umum dalam masyarkat antara laki-laki dan perempuan. Wanita pada permulaan islam selalu ikut serta dalam urusan sosial dan tidak dipencilkan/diasingkan dari aktifitas masyarakat ditengah-tengah keberadaan Nabi saw., begitu juga pada masa al-Khulafa al-Rasyidin, bahkan tidak ada seorangpun yang mengingkari hak bersekutu bagi kaum wanita dalam masalah-masalah umum di masyarkat.[20]
Jamaluddin Muhammad Mahmud mengatakan:"Bahwa islam mengajak kepada semua pakar baik laki-laki maupun perempuan di masyarkat untuk menyatakan pendapatnya demi kebaikan di masyarakat.[21] Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah (Q.S.Ali Imrân/3:104) yang artinya:”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini mengajak untuk menyatakan pendapat dan mengambil sikap positip dalam memperbaiki masyarakat melalui ceramah atau mengeluarkan pendapat, baik laki-laki maupun perempuan dalam kapasitas yang sama.
Ada sekelompok wanita pergi menghadap Nabi saw. mereka menuntut untuk berbaiat (janji setia), lalu Nabi membaiat mereka, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah (Q.S.al-Mumtahanah/60:12)
Ayat ini merupakan bukti, bahwa wanita dapat menyatakan hak-haknya dalam masalah aqidah, pemikiran, dan mengembangkan agama yang dia pilihnya, lalu Nabi menerimanya. Ini merupakan contoh yang nyata atas kebebasan kaum wanita dalam aqidah, menyatakan pendapat dan mengambil keputusan, dalam hal ini bukan hal yang aneh di masyarakat yang menganut prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah menyatakan pendapat.[22]
Begitu juga Nabi sebagai Hakim Agung, Mufti yang paling alim, dan Hakim yang bijak, mau mendengar pengaduan wanita terhadap suaminya, sebagaimana ditegaskan Allah (Q.S.al-Mujâdalah/58:1) yang artinya:” Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Ayat ini menunjukkan, bahwa istri tidak dilarang mengajukan gugatan suaminya kepada penguasa yang tertinggi dalam masyarakat. Begitu juga wanita tidak boleh diasingkan dari masyarkat, karena Nabi saw. mengizinkan kaum perempuan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu juga Nabi mengizinkan pergi ke Masjid untuk menunaikan sholat.
Islam meletakkan kaum wanita di belakang kaum laki-laki dalam sholat, bukan berarti wanita memiliki kekurangan, tetapi sebaliknya dalam rangka menjaga kesucian dan kehormatan wanita itu sendiri, sebab jika kaum wanita diletakkan di baris depan kaum lelaki, maka kaum lelaki akan melihat ruku dan sujud kaum wanita sehingga akan menimbulkan fitnah.[23]
Banyak diantara wanita yang menjadi penyair seperti al-Khansa, Rabiah al-Adawiyah begitu juga banyak kaum wanita yang mengemban amanah periwayatan hadis dari Nabi saw. seperti Aisyah, Asma Binti Abi Bakar, Hafshah Biti Umar, Ummu Hani Binti Abi Thalib, Fathimah al-Naisaburiyah, Nafisah Binti Hasan al-Anwar, Asma Binti Asad Ibnu al-Furat dari Qairuwan, dan banyak para ulama mengambil hadis yang diriwayatkan oleh kaum wanita tersebut. Dari sini jelaslah bahwa wanita pada masa awal islam sudah ikut serta dalam bidang sastra dan pemikiran.[24]
Kaum wanita berhak menjdi pemimpin dalam masyarakat umum karena sebahagian ulama berpendapat:”Bahwa islam tidak mengharamkan wanita berpolitik sebagaimana terdapat dalam Q.S.al-Baqarah/2 :228 dan Q.S.al-Taubah/9 :71 begitu juga adanya ikut serta wanita pada kaum laki-laki dalam kegiatan di masyarakat seperti Aisyah ikut serta menyelesaikan sengketa politik antara Ali dan Muawiyah, begitu juga Nailah istri Usman Bin Affan, ini menunjukkan adanya pengakuan ajaran islam terhadap kebolehan wanita berpolitik khususnya memiliki hak memilih dan dipilih untuk menjadi anggota DPR/MPR yang melakukan prinsip-prinsip musyawarah.[25]
Wanita dibolehkan mengendalikan urusan peradilan (menjabat sebagai qadhi atau hakim), karena ada riwayat yang menyatakan bahwa Umar Bin Khatthab pernah mengangkat seorang wanita bernama Syifa untuk menjabat Qadhi hisbah (Hakim yang menyangkut pelanggaran terhadap hak masyarakat) di pasar. Dengan demikian, wanita boleh menjabat sebagai Qadhi (Hakim) [26]
Ada sebagian ulama yang mengharamkan wanita sebagai pemimpim dengan alasan sebuah hadis riwayat al-Bukhari yang artinya:”Dari Abi Bakrah telah berkata:”Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku pada waktu perang jamal dengan kalimat yang saya dengar dari Rasulullah saw. setelah aku hampir bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka, Abu Bakrah berkata:”Ketika ada berita sampai kepada Rasulullah, bahwa penduduk Persi telah mengangkat putri Kisra menjadi Ratu, maka Rasulullah bersabda:”Tidak akan sukses suatu kaum jika masalah pemerintahan diserahkan kepada wanita. Diriwayatkan olehal-Bukhari.
Jika kita menelaah hadis diatas, maka celaan Rasulullah terhadap orang orang yang menyerahkan urusan pemerintahannya kepada seorang wanita, merupakan respon beliau terhadap informasi yang dia dengarnya yaitu bahwa bangsa Persia dipimpin oleh seorang wanita. Hadis ini tentu dikhususkan untuk topik ini, tidak terkait dengan persoalan yang lain. Artinya tidak dapat digeneralisir segala persoalan.
Apalagi bila dilihat dari latar belakang pengungkapan Rasulullah yang terdapat pada kitab Imam Bukhori yang artinya:”Ibnu ‘Abbas memberi tahukan, bahwa Rasulullah saw. telah mengirim surat kepada Kisra melalui ‘Abdillah ibnu Khuzafah al-sahmi. Rasulullah saw. memerintahkannya untuk menyerahkan surat tersebut kepada pembesar bahrain, lalu diserahkan kepada Kisra. Ketika Kisra membaca surat tersebut , maka surat itu dirobek robeknya. Lalu saya mengira bahwa ibnu al-Musayyab mengatakan:”Maka Rasulullah mendoakan agar mereka dirobek-robek seperti robekan surat tersebut. (H.R.Bukhari.)
Ahmad Fudhaili mengutip perkataan al-Asqallany dalam kitab Fathu al-Bari yang mengatakan :”Kisra yang telah merobek-robek surat Nabi dibunuh oleh anak laki-lakinya. Sebelum matinya, Kisra mengetahui bahwa ia dibunuh oleh anaknya sendiri, Syairuwiyah, maka ia memerintahkan kepada pembantunya yang setia untuk membunuh anaknya setelah ia mati. Berselang enam bulan sejak kematian bapaknya, Syairuwiyahpun mati diracun. Pada saat itu tidak ada yang menggantikan kedudukan raja, karena di samping membunuh ayahnya Syairuwiyah juga membunuh saudara saudaranya yang lain karena ambisi untuk menduduki tahta kerajaan, kecuali anak perempuannya, Buran bint Syairuwiah ibn Kisra bin Barwiz. Anak perempuan inilah yang kemudian menduduki tahta kerajaan. Tidak lama kemudian kekuasaannya hancur berantakan, sebagaimana sumpah Nabi kepada mereka.[27]
Kemudian Ahmad Fudhaili mengutip perkataan Husen Muhammad yang mengatakan:”Dalam konteks inilah Nabi bersabda:”Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintahkan oleh perempuan”. Hadits ini diungkapkan dalam kerangka pemberitahuan, hanya sebuah informasi yang disampaikan Nabi dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum dan tidak memiliki relevansi hukum.[28]
Penulis setuju bahwa wanita mempunyai kewenangan publik seperti menjadi anggota parlemen (DPR), menjadi Hakim bahkan menjadi Presiden, selama wanita itu memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Sesuai dengan salah satu riwayat yang artinya:” Apabila urusan diberikan bukan pada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Sebahagian ulama membedakan antara dua wilayah yaitu pertama, Al-Wilâyah al-Khâshah seperti masalah jual beli, hibah, wakaf, wasiat dan semacamnya. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan. Kedua, Al-Wilâyah al-âmmah yaitu kekuasaan yang ditetapkan dalam urusan kolektif, seperti jabatan Hakim, DPR/MPR atau kepala Negara dengan kata lain tiga kekuasaan yaitu legislatif, ekskutif dan yudikatif.[29] Wilayah ini hanya bisa dijabat oleh lelaki.
Sedangkan Muhammad Imarah menyatakan:”Jumhur ulama fiqih tidak ada perbedaan tentang al-Imâmah al-Uzhmâ dan Khilâfah al-âmmah (kepala negara) harus laki-laki. Sedangkan fiqih modern tidak membicarakan al-Imâmah al-Uzhmâ dan Khilâfah al-âmmah, karena hal itu sudah hilang sejak jatuhnya khilafah Usmaniyah (1342 H/1924 M) sampai sekarang.[30]
Pemahaman al-Wilâyah al-âmmah pada masa kita sekarang sudah berubah dengan perubahan kekuasaan individu (sulthan al-Fardhi) kepada kekuasaan kolektif (Sulthan al-Muassasah) yang di dalamnya ikut serta semua yang memiliki kepemimpinan dan keahlian, begitu juga hakim individu kepada hakim kolektif yang didalamnya terkumpul para hakim. Maka ikut serta wanita sebagai hakim di pengadilan, bukan karena adanya hadis yang membolehkan wanita menjadi hakim. Artinya karena memang sudah ada pada fiqih klasik. Sebab kepemimpinan sekarang baik laki-laki maupun perempuan di (lembaga apapun) adalah kepemimpinan kolektif bukan individu. Hakim sekarang tidak berijtihad dalam memutuskan hukum, tapi hanya sebagai pelaksana undang- undang yang sudah dibuat oleh pemerintah secara kolektif.[31]
Dengan adanya perubahan ijtihad dari individu kepada kolektif, maka keikut sertaan wanita dalam pengadilan, bukan karena ada hadis yang membolehkan wanita menjadi hakim, melainkan karena adanya perubahan kepemimpinan dari kepemimpinan individu kepada kepemimpinan kolektif.
Al-Qur’an berbicara tentang Ratu Saba, lalu al-Qur’an memuji Ratu dan kepemimpinannya dalam wilâyah âmmah (kepala negara) karena dia melakukan prinsip musyawarah, bukan prinsip individu. (Q.S.al-Namal/27 :32) dan al-Qur’an mencela Firaun Raja Mesir, karena dia menggunakan prinsip kekuasaan individu.(Q.S.Ghâfir/40 :29) kedua ayat itu tidak berbicara laki-laki atau perempuan dalam wilâyah âmmah (kepala negara), tapi berbicara prinsip individu atau kolektif.[32]
Orang yang tidak membolehkan wanita bekerja di luar rumah mengacu pada (Q.S.al-Ahzâb/33:33) artinya:”Dan hendaklah kamu (kaum wanita) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Shalah Qazan mengutip komentar Yusuf Qardhawi mengatakan:” Bahwa ayat tersebut ditujukan kepada para istri Nabi saw. Mereka memang berhak mendapat perlakuan khusus yang tidak dilakukan kepada selain mereka, disamping juga berlaku aturan berat yang tidak dibebankan kepada perempuan lain. Meskipun demikian, ayat ini tidak menghalangi Aisyah Ummu al-Mu’minîn, untuk pergi keluar dalam perang Jamal dan menuntut sesuatu yang diyakininya sebagai hal yang benar dalam masalah politik. Beliau disertai oleh dua orang Sahabat besar yang dicalonkan untuk menjadi Khalifah dan keduanya termasuk sepuluh Sahabat yang dijamin masuk surga.[33]
Anwar Jundi mengatakan:”Islam mengarahkan aktivitas wanita terutama menyangkut kepada pekerjaan-pekerjaan yang berkenaan untuk mengatur dirinya dan keluarga. Bila wanita terpaksa harus bekerja, maka ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, diantaranya pekerjaan tersebut harus sesuai dengan kodrat kewanitaannya, pekerjaan tersebut adalah untuk membantu suami, pekerjaan tersebut akan membawa kemaslahatan bagi kehidupan rumah tangga, dan pekerjaan tersebut tidak akan membawa fitnah bagi dirinya maupun bagi rumah tangganya.[34]
Kemudian Anwar Jundi mengutip perkataan Isa Abduh:”Bahwa menyamakan pekerjaan wanita dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang pria merupakan penganiayaan. Dan hal tersebut hanya akan mencampur adukkan ketentuan tugas yang telah diciptakan oleh al-Khaliq (Allah).[35]
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang terlibat pada persoalan politik praktis, Ummu Hani misalnya dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik. Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a. memimpin langsung peperangan melawan Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu tersebar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terbunuhnya Khalaifah ketiga Usman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun.[36]
Muhammad Quraish Shihab mengatakan:”Harus diakui bahwa memang ulama dan pemikir masa lalu, tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan Kepala Negara, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan, jangankan Kepala Negara, menteri atau kepala daerah pun tidak. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karena itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau memimpin negara.[37]
Bahkan Muhammad Imarah lebih jelas argumentasinya mengenai kebolehan wanita menjadi kepala negara, yaitu disebabkan kepemimpinan sekarang ini bukan kepemimpinan individu, melainkan kepemimpinan kolektif, jadi kepala negara yang ada saat ini bagaikan boneka yang hanya merupakan simbul, karena semua keputusannya sudah diatur bersama.
Faisar Ananda Arfa menyimpulkan :”Dari diskursus di atas terlihat perbedaan interpretasi antara kelompok islam tradisional dan modern dalam melihat soal kepemimpinan wanita dalam islam. Bagi kelompok islam tradisional kepemimpinan tersebut berada di tangan laki-laki dengan asumsi bahwa Allah telah melebihkan laki-laki dari wanita secara fisik maupun mental yang merupakan prasyarat mutlak bagi kepemimpinan yang baik. Pembebanan kewajiban nafkah kepada laki-laki menambah kesan yang kuat bahwa Tuhan mempercayakan laki-laki sebagai pemimpin. Ketentuan Allah ini merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar dalam kondisi dan situasi apapun.[38]
Sebaliknya bagi kelompok Islam modern, ajaran Islam diklasifikasikan dalam dua bagan besar, yakni ajaran dasar dan ajaran bukan dasar. Masalah kepemimpinan dimasukkan ke dalam bagian ajaran bukan dasar, yang bersifat interpretatif dan karenanya sangat mungkin berubah sesuai dangan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan manusia. Mereka kelihatanya memandang bahwa kepemimpinan dalam Islam bukan sesuatu yang given, namun merupakan ajang kompetisi terbuka yang dapat diperebutkan baik oleh laki-laki dan perempuan. [39]
Ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan dipandang sebagai ayat yang bersifat kondisional, dan merupakan cerminan dari msyarakat Arab ketika ayat tersebut diturunkan. Oleh karena itu ayat-ayat itu tidak merupakan ayat yang mengikat kaum muslimin sepanjang masa dan di berbagai tempat di pelosok dunia. Jadi dasar pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok Islam modern dalam masalah ini adalah bahwa dalam soal ajaran yang bukan dasar dan bersifat muamalah seperti soal kepemimpinan ini, Islam tidak memberikan aturan yang ketat dan kaku, namun dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat. [40]
Penulis tidak sependapat dengan pernyataan Faisar Ananda Arfa yang menyatakan bahwa perbedaan masalah kepemimpinan dalam Q.S.al-Nisâ/4 :34 di kelompokkan pada penafsiran para mufassir klasik dan modern, tapi yang jadi pokok masalah adalah kepemimpinan dalam rumah tangga atau kepemimpinan dalam masyarakat, karena kepemimpinan dalam rumah tangga mayoritas ulama baik ulama kalsik maupun modern telah sepakat bahwa suami adalah pemimpin tertinggi dalam keluarga. Namun kepemimpinan dalam masyarkat para ulama memang berbeda pendapat dan semuanya mengacu pada (Q.S.al-Taubah/9:71).
Sekalipun perempuan boleh jadi pemimpin dalam masyarakat, namun jangan dijadikan alasan bahwa perempuan boleh menjadi imam kaum laki-laki dalam sholat, karena hasil Musyawarah Nasional VII Majlis Ulama Indonesia tangggal 29 Juli 2005 menetapkan :
a. Wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah
b. Wanita menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.[41]

C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Kepemimpinan di rumah tangga berada pada suami, karena dia memeliki dua hal yaitu memiliki sifat kejantanan dan kewajiban memberi nafkah.
2. Kepemimpinan di masyarakat tidak ditentukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, tapi ditentukan oleh kwalitas dan profesionalisme seseorang
3. Wanita menjadi Kepala Negara yang oleh sebahagian ulama dilarang, maka dengan kepemimpinan sekarang yang bersifat kolektif, bukan kepemimpinan individu sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, maka otomatis tidak berlaku larangan tersebut.


DAPTAR PUSTAKA
1. Abu al-Hasan Ali Bin Muhammad Bin Habib al-Mawardi al-Bashari, al-Nukat Wa al-Uyun Tafsir al-Mawardi, Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.
2. Ahmad Fudhaili, Perempuan Di Lembah Suci, Yogyakarta : Pilar Media,2005
3. Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi, Tata Kehidupan Wanita Dalam Syari’at Islam, Jakarta : Wahyu Press, 2003
4. Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mesir : Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby Wa Awladih, 1974
5. Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, terjemahan Ahsin Wijaya, Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1989
6. Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i, Nudzum al-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995
7. Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004
8. Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huquq al-Mar’ah Fi al-Mujtama al-Islam, Mesir : al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah Li al-Kitab, 1986
9. Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’I al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur’an, Cairo : Daar al-Shabuni, 1999
10. Muhammad Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan, Jakarta : Azan, 2001
11. Muhammad Imarah, al-Tahrir al-Islami Li al-Mar’ah, Cairo : Daar al-Syuruq, 1968
12. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta : Lentera Hati,2000, Vol. 2
13. _______, Membumikan al-Quran, Bandung : Mizan, 1992
14. _______, Perempuan, Ciputat : Lentera Hati, 2005
15. Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terjemahan Sahiron Syamsudin, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2004
16. Nasaruddin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran al-Qur’an, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin UIN Syahid Jakarta, 2002
17. Shahal Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembahasan Perempuan, terjemahan Khazin Abu Fakih, Surabaya : Era Intermedia, 2001
18. Said Hawa, al-Asas Fi al-Tafsir, Cairo : Daar al-Salam, 1985
19. Sayid Quthub, Fi Dhilal al-Qur’an, Cairo : Dar al-Syuruq, 1982
20. Salim al-Bahnawi, al-Mar’ah Baina al-Islam Wa al-Qawanin al-Alamiyah, Kuwait : Daar al-Wafa, 2003
21. Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir, Bairut : Daar al-Fikr, 1991
22. Yusuf Qardhawi, Kedudukan Wanita Islam,terjemahan Melati Adhi Damayanti, Jakarta :PT.Global Media Publishing, 2003
23. Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘An Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil Wa Uyun al-Haqaiq Fi Wujuh al-Ta’wil, Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995




[1] Muhammad Anas Qasim Ja’far, Kata Pengantar Nasaruddin Umar, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan, (Jakarta : Azan, 2001), h. xii
[2] Salim al-Bahnasawi, al-Mar’ah Baina al-Islam Wa al-Qawanin al-Alamiyah, (Kuwait: Daar al-Wafa, 2003), h. 2001
[3] Ibid., h. 2002
[4] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terjemahan Sahiron Syamsudin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), h. 449
[5] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta :Lentera Hati, 2001), h. 403
[6] Ibid., h.403
[7] Ibid., h.404
[8] Ibid., h. 405
[9] Ibid., h. 407
[10] Ibid., h.407
[11] Ibid., h. 408
[12] Ibid., h. 408
[13] Ibid., h. 409
[14] Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (Ciputat : Lentera Hati, 2005), h.334
[15] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir, (Bairut : Daar al-Fikr, 1998), Juz 5, h. 54
[16] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir : Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Halabi Wa-Awladih,1974) Jilid. 5., h. 26 Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur’an, (Cairo : Daar al-Shabuni, 1999), Jilid.I. h. 332 Lihat Abi al-Hasan Ali Muhammad Bin Habib al-Mawardi al-Bashari, al-Naktu Wa al-Uyun Tafsir al-Mawardi, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), Jilid.I, h. 480 Lihat Tafsir Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i, Nudzum al-Durar Fi Tanasub al-Ayaat Wa al-Suwar, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), Juz 2, h. 251
[17] Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘An Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wjuh al-Ta’wil, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), Jilid.I, h. 495
[18] Sayyid Qutub, Fi Dhilal al-Qur’an, (Cairo: Daar al-Syuruq, 1981), Jilid.II, h.649
[19] Said Hawa, al-Asas Fi Tafsir, (Cairo : Daar al-Salam, 1985), Jilid. II, h. 1052
[20] Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huquq al-Mar’ah Fi al-Mujtama’i al-Islam,(Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah Li al-Kitab, 1986), h.53
[21] Ibid., h. 53
[22] Ibid., h. 54
[23] Ibid., h. 55
[24] Ibid., h. 59
[25] Ibid., h. 64
[26] Achmad Junaidi Ath-Thayyibiy, Tata Kehidupan Wanita Dalam Syariat Islam, (Jakarta :Wahyu Press,2003), h. 81
[27] Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci Kritik Atas Hadis Hadis Sahih, (Yogyakarta : Pilar Religia, 2005), h. 228
[28] Ibid., h. 228
[29] Ibid., h. 121
[30] Muhammad Imarah, al-Tahrir al-Islam Li al-Mar’ah, (Cairo: Daar al-Syuruq,1968), h. 103
[31] Ibid., h. 104
[32] Ibid., h. 105
[33] Shahal Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, Terjemahan Khazin Abu Fakih, (Surakarta : Era Intermedia, 2001), h. 54
[34] Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, Terjemahan Ahsin Wijaya, (Solo : CV.Pustaka Mantiq,1991) Cet. III,h. 61
[35] Ibid., h. 62
[36] Ibid., h. 316
[37] Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, Op.Cit., h. 350
[38] Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta : Pustaka Firdaus,2004), h. 111
[39] Ibid., h. 112
[40] Ibid., h. 112
[41] Keputusan Fatwa MUI Nomor:9/MUNAS VII/MUI/13/2005 tentang Wanita Menjadi Imam Sholat, h. 3

posted by KETUA PSW IIQ at 1:41 PM |

0 Comments:

Go Ahead, Share Your Thoughts! Post a Comment.

TAKE ME BACK TO THE MAIN PAGE...