|
Monday, July 16, 2007
PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
oleh: Aan Kharkanah,SHI Satu kata yang memiliki kekuatan bagi tolok ukur suatu bangsa atau umat; dinilai maju atau mundurnya peradaban dan keadaban masyarakat, PENDIDIKAN! Ketika mendengar kata pendidikan, mungkin segera terbersit dalam benak kita sebuah proses belajar mengajar mulai dari tingkat playgroup sampai pendidikan tinggi di universitas. Selain itu, kita juga sering mendengar perdebatan tentang kewajiban pemerintah untuk memberikan dukungan dalam menyelenggarakan suatu sistem pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara definitif, pendidikan dapat disamakan dengan alur kehidupan manusia. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar. Oleh karena itu, pendidikan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya (long life education) sejak lahir bahkan sejak awal hidup dalam kandungan hingga ajal. Seperti dalam hadis “Uthlubul ‘Ilma min al-Mahdi Ila al-Lahdi” tuntutlah ilmu dari buaianmu hingga akhir hayatmu. Dan patut diketahui pula bahwa pendidikan tidak diperuntukkan bagi laki-laki saja atau bagi perempuan saja, kedua makhluk yang sempurna dengan nalarnya ini memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan mengembangkan karakternya, “Thalabul ‘Ilmi Faridhatun ‘Alaa Kulli Muslimin wa Muslimatin” (HR Ibnu Majah). Inilah yang dimaksud dengan pendidikan dalam arti yang luas. Dalam pengertian sempit, pendidikan adalah sekolah atau persekolahan (schooling). Sekolah adalah lembaga pendidikan formal sebagai salah satu hasil rekayasa dari peradaban manusia untuk menyelenggarakan pendidikan, dan penciptaannya berkaitan erat dengan penguasaan bahasa tertulis dalam masyarakat, agar mereka (anak didik) mempunyai kemampuan sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka. Sedangkan menurut UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab I pasal 1 disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pada pasal 2 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. Pemahaman pendidikan sendiri tidak hanya terbatas pada peran institusi pendidikan formal semata, seperti jenjang sekolah hingga universitas. Atau lembaga nonformal dan lembaga informal. Lebih dari itu, bahwa nilai pendidikan saat ini dibutuhkan dimana-mana dan pada semua lingkup kehidupan manusia. Proses belajar mengajar tidak hanya didapatkan dari institusi yang tersebut di atas. Kita dapat belajar pada lingkungan, alam, atau sesama kita yang secara profesi berbeda dengan kita, bahkan anak kecil sekalipun, dan dari setiap subyek hukum yang memiliki akal budi. I. Pendidikan menurut pandangan Islam Pengetahuan dan peradaban dirancang oleh al-Qur’an adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama al-Qur’an menjelaskan dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, and Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya”(QS al-‘Alaq/96:1-5) Mengapa iqra’ merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian? Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya. Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga. Mengulang-ulang membaca ayat al-Qur’an menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang “membaca” alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat al-Qur’an yang kita baca dewasa ini tak sedikitpun berbeda dengan ayat al-Qur’an yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya serta limpahan kesejahteraanNya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung dalam iqra’ wa Rabbukal akram (bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah). Atas kemurahanNyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai. Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. “Membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban. A. Tujuan pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam. Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu: 1. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam. 2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya. 3. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT. Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu: 1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll. 2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll. Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya. B. Pendidikan adalah tanggung jawab negara Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda: اَلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim)
Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. Ayat wa tawashauw bil haq dalam QS al-‘Ashr (103):3 bukan saja mencanangkan “wajib belajar” tetapi juga “wajib mengajar”. Bukankah tawashauw berarti saling berpesan, saling mengajar, sedang al-Haq atau kebenaran adalah hasil pencarian ilmu? mencari kebaikan menghasilkan akhlak, mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan sekaligus mewarnai suatu peradaban. Dalam pendidikan Islam, tujuan umumnya adalah membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah atau sekurang-kurangnya mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhir manusia (al-Baqarah/2:30). Sedangkan tujuan utama khalifah adalah beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total kepadaNya (al-Dzariyat/51:56). II. Pendidikan di Indonesia Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemericik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh. Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu : Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraaan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan dan sebagainya. Undang-Undang Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah". Dan dalam pasal 3 dikatakan “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya". Pada satu sisi persoalan kewajiban negara menyiapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN atau sekitar Rp 100 triliun lebih merupakan sebuah jalan formal bagi terjaminnya sarana dan pra sarana pendidikan dalam skala nasional. Pemerintah telah mencoba meletakkan persoalan pendidikan sebagai prioritas. Lahirnya UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen sekarang ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melepaskan lilitan permasalahan pada bidang pendidikan (yang dalam kacamata pakar pendidikan masih pincang dan menuai pro-kontra), hanya saja persoalan yang mengiringinya sangat banyak dan tidak mudah dituntaskan. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo (Mantan Gubernur Lemhannas) berpendapat bahwa inti permasalahan pendidikan, adalah kepemimpinan bangsa, tingkat pusat maupun daerah, yang menyadari bahwa pendidikan adalah investasi utama satu bangsa. Tanpa pendidikan yang baik, masa depan bangsa akan celaka. Inilah yang sedang kita alami akibat masa lampau. Disamping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan luar sekolah bagi mereka yang tidak mampu atau tidak tertampung dalam jalur pendidikan formal. Menjadi sangat perlu untuk memberdayakan seluruh potensi anak bangsa melalui pendidikan. Pendidikan yang baik pada dasarnya dapat menjadi salah satu alat pemutus mata rantai kemiskinan. Dengan pendidikan, keadilan dapat ditegakkan, dan keadilan akses pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat adalah kunci utamanya. Kembali pada potensi manusia yang tidak bisa dibatasi oleh sistem pendidikan yang tersedia, perlu dikembangkan sebuah langkah kongkrit untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada siswa untuk memilih masa depannya. Tidak semua manusia Indonesia harus melalui perguruan tinggi untuk dapat mengawali karir dalam dunia pekerjaan. Telah terjadi salah kaprah dalam dunia pendidikan Indonesia, seolah-olah pendidikan formal yang tinggi menjadi tiket keberhasilan dalam dunia kerja. Rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini bisa jadi karena cara pandang masyarakat yang salah terhadap dunia pendidikan. Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap ijazah adalah sarana, sesuatu yang harus dikejar, tanpa memahami makna sebuah pendidikan. Saat ini sekolah dan kuliah hanya dilaksanakan sebatas kewajiban ritual pendidikan dari playgroup hingga universitas. Dan ironisnya para pengelola pendidikan negeri ini menangkap fenomena tersebut sebagai sebuah peluang bisnis sehingga terjadi komersialisasi pendidikan dan langsung berdampak pada nilai-nilai pendidikan, yaitu wajah pendidikan yang materialistik. Pendidikan melekat dalam kehidupan kita sehari-hari dan bukan hanya di bangku sekolah dan melulu soal prestasi. Pendidikan mencakup sebuah tanggung jawab yang sangat besar di pundak kita bersama untuk menyebarluaskan ketauladanan yang baik. Dibutuhkan kesadaran dari semua pihak untuk meluruskan sistem pendidikan di negeri ini, pemerintah, para penyelenggara pendidikan serta masyarakat. Pendidikan di Indonesia memang belum bangkrut, tetapi sedang menuju kebangkrutan jika tidak segera dibenahi! III. Pendidikan Islam Indonesia Tujuan pembangunan bangsa Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila, yaitu meliputi material dan spiritual. Untuk itu pendidikan keislaman di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan nasional, karena pendidikan keislaman disamping telah tercantum dalam GBHN sejak pelita I sampai VI juga telah berakar secara mendalam sejak masa pra penjajah. Departemen Agama yang memiliki kewenangan pada pendidikan pesantren, saat ini kurikulum pesantren harus memuat kurikulum nasional. Penggabungan kurikulum yang berbasis keagamaan dengan ilmu umum diharapkan mampu mencetak kader-kader muslim yang kaffah dan sanggup bersaing dalam arus globalisasi. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap “tantangan modernisasi”, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam. Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik. Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam. Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.” Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan. b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi. c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang. e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan. f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal. Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977: “Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.” Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN). Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan: “Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.” Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, peran orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita). Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang masa pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangan anak menuju usia dewasa. Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai-nilai moral, berbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam. Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamanya, untuk mengatur strategi yang tepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan – bukan malah mempersulit – segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Lembaga-lembaga Islam semacam pesantren perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembaga semacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintah di dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta huruf di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia. Di lain pihak lembaga-lembaga Islam tradisional semacam pesantren, khususnya pesantren salaf perlu melepaskan diri dari blue-print lamanya dan memodernisasi sistem dan metode pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melaju begitu pesat. Secara histories sejak awal berdirinya pada sekitar abad enam belas melewati masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi saat ini, pesatren salaf dikenal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan (Federspiel, 1995) dan pemerintahpun enggan mendekati pesantren kecuali saat-saat menjelang PEMILU. Di “Orde Reformasi” ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak. Dalam hal ini sikap arogansi kekuasaan di satu pihak dan rasa inferioritas di pihak lain, mutlak harus dihapuskan. Sementara itu sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda, para ilmuwan terbagi dalam dua kategori yaitu, (a) ilmuwan agama, yakni ilmuwan yang mengadakan pengkajian khusus berbagai disiplin ilmu agama dan (b) ilmuwan umum, yakni para pakar yang mengambil spesifikasi berbagai disiplin ilmu duniawi kontemporer. Para ilmuwan umum tentunya akan ‘menggarap’ ladang yang sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi keahlian mereka masing-masing sementara fungsi para ilmuwan agama di sini adalah (a) sebagai mediator antara aspirasi umat dengan para pakar iptek, (b) mengadakan hubungan yang proporsional dengan para pakar komunikasi massa dalam rangka memanfaatkan media massa, khususnya televisi dan internet, sebagai upaya unifikasi dan pengembangan umat dan (c) menyatukan paradigma para pakar iptek Muslim bahwa apa yang akan, sedang dan telah diperbuat selalu mengandung dua dimensi yaitu pengabdian kepada Allah (ibadah) dan untuk kebaikan serta rahmat seluruh umat manusia (Nawwab, 1979). Yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada Islamisasi iptek sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Faruqi di atas. Gambaran solusi Islami terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangan mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi (a) semakin menipisnya dikotomi antara – meminjam istilah Clifford Geertz – Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang terjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari ‘demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan. Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo.
Referensi: Aburrahman Saleh Abdullah, Teori-teori pendidikan berdasarkan al-Qur’an, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) Buletin Lsmart edisi IV, Juli 2007 http://www.duniaesai.com/pendidikan/index.html. http://alkhoirot.wordpress.com/2005/09/06/tantangan-pendidikan-islam-di-era-globalisasi/ http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/new/?p=121 http://www.ditpertais.net/artikel/gusdur01.asp Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 1996) Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001)
posted by KETUA PSW IIQ at 8:19 PM |
1 Comments:
-
Commented by Faisal Zulkarnaen:
- Tampaknya pemerintah Indonesia harus lebih banyak belajar dari pemerintah Mesir dalam memajukan pendidikan. Salah satu contohnya silahkan buka link berikut
http://dikbudcairo.org/?pilih=lihat&id=356
Selain itu, Mesir dikenal surganya buku bagi para penuntut ilmu dengan harga yang murah meriah buku bisa didapatkan di tepi-tepi jalan dan toko2 buku. Tambah lagi semakin gencarnya pemerintah mempromosikan Qiro'ah lil Jami' (Reading for All).
Satu lagi, tentang adanya dikotomis antara ilmu2 umum dan agama. Dalam Islam tidak ada dikotomis seperti itu. Karena selama ini masyarakat menganggap bahwa orang yang belajar di sekolah umum biasanya agamanya kurang. Ini juga berkaitan dengan kurikulum yang ada di sekolah-sekolah formal saat ini. Pelajaran agama yang hanya 2 jam pelajaran di sekolah umum sangat ironi dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang beragama dan mendeklarasikan Ketuhanan Yang Maha Esa pada poin pertama Pancasila. Saya punya harapan bahwa Indonesia akan punya dokter2 dan ilmuwan2 yang hafal Qur'an dan faham fikih seperti di Mesir. Namun saya melihat juga beberapa sekolah berbasis Islam yang menerapkan keseimbangan antara ilmu umum dan agama, semoga menjadi titik cerah bagi pendidikan Indonesia.
Salam, Faisal
- 3:16 PM
Go Ahead, Share Your Thoughts! .
TAKE ME BACK TO THE MAIN PAGE...
|