Search in the Quran
Search in Quran:
in
Download Islamic Softwares (FREE)
Get Free Code
Powered by www.SearchTruth.com
Search Islamic Directory
Keyword:
Free Web Counter
hit Counter Credits

    Powered by Blogger

    My Daily Thoughts

Wednesday, July 11, 2007

KESEHATAN PEREMPUAN DALAM ISLAM



Oleh: Hilyatuzzahrah
Islam merupakan agama yang diturunkan sebagai Rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu, Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan. Tuntunan tersebut dapat kita temukan pada Al-Qu’ran dan Hadits sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada umat manusia. Tuntunan mengenai kesehatan ini bersifat umum dan ditujukan bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan bangsa, suku maupun jenis kelamin. Karena pada dasarnya, semua manusia menginginkan kesehatan yang optimal bagi dirinya. Setiap laki-laki dan perempuan dari suku dan bangsa apapun pasti sepakat bahwa kesehatan lahir batin merupakan bentuk anugrah Allah yang terutama serta berhak dan wajib dipelihara. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai "ketahanan jasmaniah, ruhaniah dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya dan memelihara serta mengembangkannya."
Islam sebagai rahmat bagi semesta alam tidak membedakan hak antara laki-laki dan perempuan dalam memelihara kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun sayangnya, ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam “mengebiri” dan meminggirkan hak-hak perempuan dalam bidang kesehatan. Pandangan ini jelas tidak tepat. Tulisan ini mencoba memaparkan hak-hak perempuan dalam bidang kesehatan menurut Al-Qur’an dan selanjutnya mencoba menawarkan sudut pandang baru mengenai hal tersebut. Setidaknya ada beberapa hal yang akan diangkat dalam tulisan ini, yaitu mengenai hak kesehatan perempuan secara fisik, mental maupun reproduksi. Yang terakhir disebutkan merupakan isu yang paling banyak dibahas dan dikaji dewasa ini.

KESEHATAN FISIK
Dalam konteks kesehatan fisik, Nabi Muhammad Saw. bersabda:
اِنّ لجسدك عليك حقّا . الحديث رواه البخاري
Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.
Demikian beliau menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu. Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik dimulai dengan meletakkan prinsip:
الوقاية خير من العلاج
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan banyak petunjuk Al-Qur'an dan hadits Nabi Saw. yang lebih condong ke arah pencegahan penyakit. Contohnya pada ayat-ayat berikut ini:
انّ الله يحب التّوّابين ويحبّ المتطهّرين
Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertaubat dan senang kepada orang yang membersihkan diri.
Menurut Quraish Syihab dalam bukunya, wawasan Al-Qur'an, tobat menghasilkan kesehatan mental. Sedangkan kebersihan lahiriah lebih lanjut menghasilkan kesehatan fisik dan merupakan upaya pencegahan terhadap penyakit.
Mengenai perintah membersihkan diri ini juga dapat ditemui pada ayat lainnya:
وثيابك فطهّر والرّجز فاهجر
Dan pakaianmu bersihkanlah, dan segala macam kekotoran (perbuatan dosa) tinggalkanlah (QS Al-Muddatstsir [74]: 4-5).
Tingkat kebersihan seseorang akan mencerminkan pribadinya. Bahkan dalam sebuah hadis yang amat populer dikatakan bahwa "Kebersihan adalah bagian dari iman". Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadits dha'if. Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut.
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Selain itu, ditemukan pula peringatan bahwa perut merupakan sumber penyakit: Al-ma'idat bait adda'. Sehingga banyak sekali tuntunan agama, baik dari Al-Qur'an maupun hadis Rasulullah Saw., yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya. Dalam Al-Qur'an kita dapat menemukan ayat yang artinya, "Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A'raf [7]: 31).
Lebih lanjut Nabi Saw. menjelaskan peringatan itu dalam sabdanya:
ما ملأ آدمى وعاء شرّ من بطن بحسب ابن آدم اكلات يقمن صلبه فان كان لا محائة فثلث لطعامه وثلث لشرابه وثلث لنفسه. رواه الترمذى
Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra-putri Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra dam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya.
Hujjatul Islam, Imam al-Gazhali berkata bahwa sesuatu yang paling berbahaya bagi anak Adam adalah syahwat perut. Karena syawat tersebut Adam dan Hawa' dikeluarkan dari sorga ke dalam alam yang penuh kehinaan dan kefakiran (dunia). Dan ternyata, perut merupakan gudang segala bentuk syahwat dan tempat bersemayamnya penyakit. (Muhammad 'Athiyah al-Abrasy, 2002: 102-103). Menurut al-Qaradhawi juga, ternyata jenis penyakit memang banyak datang dari perut manusia yang mereka penuhi dengan berbagai jenis makanan apa saja yang mereka senangi yang tidak pernah mereka beda-bedakan; apakah makanan tersebut baik atau tidak, halal atau haram.
Dalam dunia kesehatan sendiri, para ahli kesehatan telah lama mengetahui bahwa kunci utama tubuh yang sehat terletak dari makanan. Hal ini mencakup pola makan yang sehat dan fungsi pencernaan yang bekerja maksimal. Logikanya begitu sederhana, pola makan yang sehat, baik dan seimbang akan membuat fungsi pencernaan bekerja secara maksimal. Jika fungsi pencernaan bekerja maksimal, dengan sendirinya penyerapan zat gizi akan berjalan lancar, dan pembuangan racun tubuh pun tidak terhambat. Hasilnya, pastilah tidak bisa lain adalah tubuh yang sehat.
Terlalu banyak menyantap makanan sumber protein (hewani), pati, dan lemak mengakibatkan tubuh mengalami asidosis, yakni kondisi keasaman darah dan jaringan tubuh berlebihan. Asidosis dapat menimbulkan peradangan pada berbagai jaringan dalam tubuh, menyebabkan butir-butir darah melekat satu sama lain, atau terbentuknya jejaring serabut-serabut halus (fibrin) dalam darah. Jejaring serabut-serabut ini yang memberi kesan seolah-olah darah menjadi pekat. Serabut-serabut ini mengakibatkan peredaran sel-sel darah terganggu, sehingga pasokan zat makan dan oksigen ke sel-sel jaringan tubuh lainnya terhambat. Tubuh kita dikaruniai enzim-enzim yang diperlukan oleh berbagai fungsi metabolisme dalam tubuh dalam jumlah terbatas, termasuk proses pencernaan. Tubuh tidak akan menggunakan enzim-enzim ini apabila makanan yang kita makan masih memiliki enzim. Terus-menerus menggunakan enzim tubuh akan menghabiskan energi dan menyebabkan peradangan pada pankreas. Pankreas adalah organ vital yang memproduksi enzim-enzim pencernaan pada usus kecil. Gangguan pada pankreas menyebabkan pencernaan tidak lancar dan tubuh semakin banyak memproduksi ampas. Usus besar tidak memiliki kemampuan untuk mencerna makanan. Tubuh akan memadatkan makanan yang tidak tercerna ke sepanjang dinding usus halus. Secara alami proses ini akan mengundang pengeluaran lendir dari sistem kekebalan tubuh yang ada pada dinding-dinding usus. Kondisi ini akan mengakibatkan sembelit (sulit buang air besar) dan penyumbatan pada saluran usus besar. Setelah beberapa waktu, kotoran ini akan membusuk dan menghasilkan gas beracun. Gas lebih mudah terserap melalui pori-pori halus pada dinding usus, mengalir dalam darah dan masuk ke sel-sel tubuh dan sewaktu-waktu siap menimbulkan penyakit. Pembersihan besar-besaran alias detoksifikasi yang dilakukan secara berkala, perlu bagi tubuh kita. Selain untuk mengurangi ampas-ampas beracun dari dalam tubuh, tidak ada organisme pembawa penyakit atau virus yang tahan dalam tubuh yang bersih. Khusus untuk masalah pencernaan, Islam telah memberikan solusinya, baik dari segi pencegahan maupun pengobatan, yaitu puasa. Puasa merupakan terapi detoks paling tua dan sudah ratusan tahun dilakukan oleh manusia.
Allah telah mewajibkan ibadah puasa kepada manusia pada bulan Ramadhan. Tidak mungkin Allah mewajibkannya pada bulan tersebut, kecuali mengandung rahasia-rahasia yang luar biasa, hikmah yang tinggi, ada yang sudah diketahui dan ada yang belum diketahui oleh manusia, sebagian dari hikmah dan rahasia tersebut telah diketahui oleh para ilmuwan sejalan dengan kemajuan zaman (Dr. Yusuf al-Qaradhawi, 1995: 288). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa tiga ratus orang telah terhindar dari penyakit diabetes karena menjalani proses pengobatan dengan berpuasa. Maka, benarlah apa yang telah diproklamirkan oleh Rasulullah saw. bahwa berpuasa dapat menyehatkan badan (Shumu Tashihhu; Puasalah niscaya kamu akan sehat (HR. al-Thabrani, Sanad para perawinya adalah tsiqat sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab "al-Targhib, karya al-Mundziri)) [al-Qaradhawi, Ibid., 290].
Dasar pemikiran semua ini dari segi kesehatan mesti dilihat dari prinsip detoksifikasi. Detoksifikasi (detoks) adalah proses pengeluaran racun atau zat-zat yang bersifat racun dari dalam tubuh. Puasa merupakan salah satu metode efektif detoksifikasi. Pembersihan dan detoks meningkatkan proses alamiah pengeluaran toksin dari dalam tubuh kita. Organ vital yang menjadi target dalam program pembersihan racun yang efektif adalah usus besar (pengeluaran) dan liver (detoksifikasi). Hampir semua penyakit degeneratif dapat dihubungkan dengan kondisi keracunan dalam saluran usus (intestinal toxemia). Karena setiap jaringan dalam tubuh mendapatkan makanan dari darah, dan darah mendapatkannya dari usus. Setiap zat yang masuk ke dalam tubuh kita akan terserap ke dalam darah melalui dinding-dinding usus. Artinya, toksin yang berada usus juga akan ikut beredar bersama aliran darah sampai ke sel-sel di seluruh penjuru tubuh kita. Toksin-toksin inilah yang menyumbangkan terjadinya berbagai kondisi penyakit kronis, akut, dan degeneratif. Begitu juga menurunnya tingkat energi dan penuaan dini.
Selain memberikan solusi berupa tuntunan berpuasa, Islam juga memerintahkan untuk berobat pada saat ditimpa penyakit. Hal ini diisyaratkan dalam sebuah hadits Rasulullah riwayat Abu Daud dan At-Tirmidzi dari sahabat Usamah bin Syuraik yang artinya, "Berobatlah, karena tiada suatu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan".
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadits tentang keharusan berobat, maka prinsip-prinsip pokok yang diangkat dari Al-Qur'an dan hadits cukup dijadikan dasar untuk upaya pengobatan dan kesehatan. Selain itu, dari beberapa prinsip pokok tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam bertujuan memelihara agama, akal, jiwa, kesehatan dan harta benda seluruh umat manusia. Islam sangat menghormati hak-hak asasi manusia, yang merupakan anugrah Allah, tanpa membedakan suku, bangsa, ras dan jenis kelamin. Dari penjabaran ayat-ayat di atas, tidak ada satu ayatpun ditemukan yang membedakan hak dan kewajiban memelihara kesehatan fisik antara laki-laki dan perempuan.

KESEHATAN MENTAL
Al-Qur'an banyak berbicara tentang penyakit mental. Mereka yang lemah iman dinilai oleh Al-Qur'an sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Islam memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak (kandungan Alquran, Surat Attahrim:6). Rasulullah saw. dalam salah satu hadisnya bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tauhiidulllah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi" (H.R. Bukhari & Muslim, dalam Panitia Mudzakarah Ulama, 1988).
Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran Islam pada saat bayi berada di dalam kandungan. Karena para psikolog berpendapat bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat pembuahan. Mengenai hal ini, telah diisyaratkan dalam hadis-hadis nabi, jauh sebelum hal ini menjadi bahan penelitian oleh para psikolog.
Dalam suatu hadis Rasulullah Saw. diceritakan tentang seorang anak yang sedang digendong oleh beliau, kemudian pipis dan membasahi pakaian beliau. Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Kemudian Rasulullah menegurnya,
مهلا بأم الفضل إن هذه الاراقة الماء بطهرها فاى شىء يزيل هذا الغبار عن قلبه
Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)?
Seperti diungkapkan oleh beberapa psikolog, sebagian kompleks kejiawaan yang diderita oleh orang dewasa dapat diketahui penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa, khususnya dari lingkungan keluarga dan orang tuanya. Penyakit kejiawaan ini, menurut Al-Qur'an dapat mencakup banyak hal, beraneka ragam dan bertingkat-tingkat, serta dapat menimpa hati maupun akal. Sikap angkuh, dendam, benci fanatisme, loba dan kikir merupakan contoh penyakit kejiwaan yang disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah bentuk kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam surat As-Syu'ara': 88-89
يوم لا ينفع مال ولا بنون. إلاّ من أتى الله بقلب سليم
Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat.
Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari segala macam penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Allah Swt., karena:
الا بذكر الله ثطمئنّ القلوب. [الرّعد: ٢٨]
Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah lah, jiwa akan menjadi tenang.
Dalam hal ini, orang tua, baik ibu maupun bapak memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kesehatan mental anak. Peranan orang tua dalam mendidik dan membimbing anak ini tidak dibeda-bedakan antara bapak (sebagai laki-laki) dan ibu (sebagai perempuan). Keduanya memiliki porsi peran dan tanggung jawab yang sama besar terhadap perkembangan kesehatan mental anak. Dari kedua belah pihak orang tua, anak akan belajar pengetahuan yang lebih beragam dan pengalaman yang lebih kaya jika dibandingkan dengan pengasuhan oleh satu pihak orang tua saja. Perawatan oleh keduanya yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya, yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Melalui perawatan, dan perlakuan yang baik dari orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-biologis, maupun sosiopsikologisnya.
Berkenaan dengan peran orang tua, baik ibu maupun bapak, dalam mendidik anak, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ikhtisar Ihya Ulumuddin terjemahan Mochtar Rasidi dan Mochtar Yahya (1966:189) mengemukakan bahwa anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata, baik atau buruknya perkembangan anak, amat bergantung kepada baik atau buruknya pembiasaan yang diberikan kepadanya. Orang tua mempunyai peranan penting karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry). Orang tua juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial budaya anak (Hurlock, 1956; dan Pervin, 1970).
Pengokohan penerapan nilai-nilai Islam oleh orang tua dalam keluarga merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kondisi atau tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera. Namun sebaliknya, apabila terjadi pengikisan atau erosi nilai-nilai Islam dalam keluarga, atau juga dalam masyarakat, maka akan timbul malapetaka kehidupan yang dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk menciptakan keluarga sebagai lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mental yang sehat, suasana sosiopsikologis keluarga yang bahagia, khususnya perkembangan karakteristik pribadi anak yang saleh, agama Islam telah memberikan petunjuk atau rambu-rambu, yang di antaranya adalah sebagai berikut. (1) Membangun keluarga melalui pernikahan yang sah berdasarkan syariat atau ketentuan agama. (2) Pernikahan hendaknya didasarkan kepada niat beribadah kepada Allah. Dengan demikian, suami-istri, ibu-bapak dan anak adalah mitra dalam beribadah kepada Allah. 3) Pada saat berhubungan suami-istri, hendaknya berdoa kepada Allah agar diberi anak yang terhindar dari godaan setan. Doa yang diajarkan Rasulullah adalah Bismillaahirrahmaanirrahiim, Allahumma jannibnasysyaithana, wajannibisysyaithana mimmaa razaqtanaa (dengan nama Allah, ya Allah jauhkan kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari rezeki/anak yang Engkau berikan kepada kami). (4) Memperbanyak doa, Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrota 'ayun waj'alnaa lilmuttaqiina imaamaa (Ya Allah Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami (suami/istri) dan keturunan kami yang membahagiakan mata hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa). (5) Pada saat istri mengandung, hendaknya melakukan beberapa amalan ibadah. Hal ini berlaku tidak hanya untuk pihak yang mengandung saja (perempuan), tetapi pihak laki-laki (suami) juga wajib mengamalkannya. 6) Menciptakan pola pergaulan yang ma'ruf (baik atau harmonis) antara suami-istri, atau orang tua-anak. Insya Allah, dengan mengamalkan nilai-nilai Islam dalam pola hubungan keluarga, akan tercipta generasi-generasi yang sehat secara mental dan bebas dari penyakit-penyakit kejiwaan.

KESEHATAN REPRODUKSI
Islam memberikan hak-hak reproduksi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan tradisi jahiliyah di kawasan Timur-Tengah yang seolah-olah menganggap reproduksi sebagai domain laki-laki, dengan kata lain segala yang berkaitan dengan hal tersebut ditentukan oleh mereka. Perempuan tidak mempunyai hak apapun, bahkan hanya menjadi objek pemuas nafsu laki-laki. Perempuan yang cantik dipaksa melacurkan diri. Ketika suami mereka meninggal dunia, tidak mendapatkan hak waris, malah dapat diwarisi oleh anaknya. Banyak model pernikahan yang menjadi budaya Arab jahiliyah yang menunjukkan betapa rendahnya martabat perempuan di mata bangsa Arab pada waktu itu. Mitologi perempuan di kawasan ini sebelum kedatangan Islam mempersepsikan perempuan tidak layak sejajar dengan laki-laki. Hak-hak reproduksi adalah hak-hak prerogatif laki-laki. Konsekuensinya, sudah sepatutnya menjadi kewajiban suci perempuan untuk melayani hak-hak laki-laki tersebut.
Selanjutnya, Al-Qur'an diturunkan dengan salah satu misi utama li raf'i darajat an-nisa' (untuk meninggikan derajat perempuan). Perempuan di dalam Al-Qur'an mendapat perhatian sangat istimewa, suatu perhatian yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain perempuan. Banyak sekali surat di dalam Al-Qur'an yang berbicara tentang hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan, antara lain al-Baqarah, an-Nisa', al-Maidah, an-Nur, ath-Thalaq, al-Ahzab, al-Mujadalah, al-Mumtahanah dan at-Tahrim. "Di antara kebudayaan dan peradaban dunia yang hidup pada masa turunnya Al-Qur'an, seperti Yunani, Romawi, Yahudi, Persia, Cina, India, Cina, Kristen dan Arab (pra-Islam), tidak ada satu pun yang menempatkan perempuan lebih terhormat dan bermartabat daripada nilai-nilai yang diperkenalkan di dalam Al-Qur'an", demikian ditegaskan Yvonne Yazbeck Haddad.
Ketika Islam datang dan Al-Qur'an diwahyukan, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan sejati. Urusan reproduksi berangsur-angsur menjadi hak bersama antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki tidak lagi dapat seenaknya memilih pasangan dan menentukan jodoh, karena dibatasi oleh konsep keserasian dan keselarasan (kafa'ah). Laki-laki juga tidak boleh seenaknya mengawini perempuan tanpa batas, tetapi dibatasi sampai empat orang, itupun setelah memenuhi kriteria yang amat ketat. Sebaliknya perempuan juga mempunyai hak untuk menerima atau menolak calon yang diajukan kepadanya. Selain itu perempuan juga dapat melamar calon yang dianggap cocok untuknya, seperti yang telah dicontohkan oleh Khadijah istri Rasulullah. Hak-hak seksual tidak lagi merupakan hak utama laki-laki, tetapi perempuan juga diberikan hak "meminta" atau "menolak" sesuai dengan kondisi obyektif fisik perempuan.
Setidaknya, keseimbangan hak-hak reproduksi laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam beberapa konsep hukun kekeluargaan (al-akhwal al-syakhsiyah) berikut ini:
1. Memilih Jodoh.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, memilih jodoh bukan lagi hak istimewa kaum laki-laki, terutama yang dikenal sebagai hak ijbari ayah. Anak perempuan berhak memberikan pandangan dan pendapat yang berbeda dengan pilihan ayahnya. Selanjutnya, dia dapat menerima ataupun menolak yang diajukan oleh ayahnya dan dapat menerima atau menolak pinangan laki-laki yang dianggap tidak cocok. Perempuan bahkan boleh mengajukan maupun melamar calon yang dianggap baik untuknya.
2. Menentukan perkawinan.
Menentukan perkawinan tidak hanya menjadi kewenangan laki-laki, termasuk wali mujbir, tetapi perempuan juga berhak menentukan perkawinannya sendiri. Misalnya dalam hal kapan dan dengan siapa dia akan menikah. Sebab hal ini akan sangat terkait dengan persiapan lahir dan batin, dan yang lebih mengetahui hal itu adalah dirinya sendiri. Meskipun dikenal hak ijbar, tetapi mendengar persetujuan anak gadis tetap dianjurkan oleh Rasulullah, "Perempuan janda lebih berhak atas dirinya dibanding ayahnya, sedangkan anak gadis harus didengar persetujuannya dan diamnya itulah persetujuannya".
3. Menikmati hubungan seksual
Kenikmatan seksual tidak hanya untuk kaum laki-laki dengan anggapan bahwa perempuan/istri hanya untuk melayani keinginan seksual laki-laki/suami. Seks bagi eorang perempuan tidak hanya sebuah kewajiban, tetapi perempuan berhak memperoleh kenikmatan di dalamnya atau menolak ketika dia tidak siap untuk berhubungan. Karena itu, Al-Qur'an menganjurkan untuk melakukan hubungan seks dengan cara yang ma'ruf. "Dan pergaulilah istrimu dengan cara yang ma'ruf (QS. An-Nisa: 19). Selanjutnya Al-Qur'an menerangkan fungsi suami-istri satu sama lain dalam ayat yang artinya, "Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka".
4. Menikmati standar kesehatan seksual dan reproduksi
Sebagai pengemban fungsi dan peran reproduksi, sepantasnya perempuan mendapatkan jaminan kesehatan seksual dan reproduksi mengingat resiko yang harus diterimanya, bahkan bisa menyebabkan terjadinya kematian. Kesehatan reproduksi yang dimaksud mencakup kesehatan fisik, mental dan sosial. Dengan kata lain mencakup seluruh fase kehidupan wanita. Al-Qur'an secara tegas melarang laki-laki menggauli istrinya dalam keadaan menstruasi, "Dan janganlah kamu mendekati mereka (melakukan hubungan suami-istri) sebelum mereka suci" (Al-Baqarah:222).
5. Memiliki keturunan
Anak adalah tanggung jawab bersama suami dan istri. Maka menentukan apakah sebuah pasangan akan mempunyai anak atau tidak (dengan melakukan rekayasa reproduksi) tidak bisa hanya diputuskan oleh satu pihak (biasanya kaum laki-laki), tetapi perempuan berhak meminta atau menolak untuk memiliki keturunan. Apalagi, untuk memiliki keturunan pasti melibatkan partisipasi kedua belah pihak.
6. Menentukan jarak dan waktu kehamilan
Kehamilan sampai melahirkan adalah rangkaian proses reproduksi yang sangat berat yang harus dipikul oleh perempuan. Karena itu, perempuan berhak menentukan jarak dan waktu kehamilannya demi alasan kesehatan fisik maupun mental ibu dan anak yang dikandungnya. Jarak kehamilan yang terlalu dekat bukan saja berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik seorang ibu, tetapi juga berpengaruh pada anak yang tidak mendapatkan pengasuhan yang memadai dari orang tuanya.
7. Menetukan tata cara mengatur reproduksi
Pengaturan reproduksi, khususnya penggunaan alat kontrasepsi, lebih banyak dibebankan kepada kaum perempuan/istri, bahkan terkadang mengabaikan apakah alat kontrasepsi tersebut cocok atau tidak bagi perempuan yang bersangkutan. Karena itu, perempuan juga berhak menentukan jenis dan alat kontrasepsi yang cocok bagi dirinya. Jika ternyata tidak ada yang cocok bagi dirinya ataupun membahayakan kesehatan dan keselamatannya, maka alat kontrasepsi itu sebaiknya diterapkan pada suaminya.
Masdar F. Mas'udi dalam Nasarudin Umar mengkategorikan hak-hak kaum perempuan sebagai pengemban fungsi reproduksi menjadi tiga hal, yaitu hak jaminan keselamatan dan kesehatan, hak jaminan kesejahteraan dan hak ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan, khususnya yang berkaitan dengan reproduksi. Hak jaminan keselamatan dan kesehatan ini mutlak diperlukan mengingat resiko sangat besar yang dapat terjadi pada perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi reproduksinya, mulai dari menstruasi, berhubungan suami-istri, mengandung, melahirkan sampai menyusui.
Hak jaminan kesejahteraan diperlukan bukan hanya selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan dan menyusui) berlangsung, tapi juga di luar masa-masa itu dalam statusnya sebagai istri dan ibu, seperti yang disebutkan Al-Quran, "Di atas pundak ayah terletak tanggung jawab memberikan nafkah dan perlindungan bagi ibu anak-anaknya secara ma'ruf" (Al-Baqarah:233). Sedangkan hak ketiga dapat dipahami dari "jatah" fungsi perempuan yang lebih besar dibandingkan kaum laki-laki. Selain itu juga dapat dipahami dari tuntunan Al-Qur'an tentang bagaimana suatu keputusan yang menyangkut pihak-pihak terkait dalam lingkup apapun harus diambil secara musyawarah, "Urusan mereka haruslah dimusyawarahkan (dibicarakan dan diambil keputusan) di antara mereka" (As-Syura': 38).
Kemaslahatan merupakan prinsip utama syari'at Islam. Begitu pula dalam pengelolaan hak-hak reproduksi antara laki-laki dan perempuan, khususnya yang menyangkut kesehatan reproduksi. Dalam hal ini kemaslahatan juga harus menjadi prinsip utama. Yaitu sebuah kondisi yang memastikan adanya jaminan kesehatan reproduksi dari semua segi, baik untuk suami maupun istri.

PENUTUP
Islam memandang semua manusia pada derajat yang sama, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada perbedaan, ditentukan oleh kualitas ketakwaannya. Batas-batas sosial seperti suku, bahasa, ataupun jenis kelamin tidak bisa dijadikan ukuran untuk menentukan seseorang menjadi lebih baik dan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang lain. Allah menegaskan hal tersebut dalam firmannya, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian" (Al-Hujurat:13). Dengan demikian, laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak dan kewajiban dalam bidang kesehatan, baik secara mental maupun fisik. Termasuk dalam kategori fisik adalah kesehatan reproduksi. Sangat tidak diharapkan terjadinya dominasi satu pihak atas pihak lain dalam menentukan segala keputusan yang terkait hak-hak tersebut. Sebaliknya, semoga dengan adanya kesetaraan hak-hak kesehatan antara laki-laki dan perempuan dapat membawa perbaikan kualitas kehidupan di Indonesia. Amin.



posted by KETUA PSW IIQ at 3:01 PM |

0 Comments:

Go Ahead, Share Your Thoughts! Post a Comment.

TAKE ME BACK TO THE MAIN PAGE...