Search in the Quran
Search in Quran:
in
Download Islamic Softwares (FREE)
Get Free Code
Powered by www.SearchTruth.com
Search Islamic Directory
Keyword:
Free Web Counter
hit Counter Credits

    Powered by Blogger

    My Daily Thoughts

Sunday, July 22, 2007

Proposal penelitian Pimpinan PTAI Berperspektif Gender

Oleh: Nadjematul Faizah, Ketua PSW IIQ dan Sekretaris Jaringan PSW-PSG PTAI se-Indonesia

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketimpangan gender dalam masyarakat merupakan salah satu indikasi rendahnya kesadaran dan moral masyarakat untuk menghargai sesama atas dasar nilai kesetaraan. Islam sebagai agama universal telah meletakkan nilai kesetaraan tersebut sebagai dasar normatif relasi laki-laki dan perempuan, antara lain seperti yang diisyaratkan Q.S. Al-Hujurat: 11 dan 13. Ayat tersebut mengandung larangan saling mengejek dan mencela antara satu kaum terhadap kaum lainnya serta larangan memberi julukan yang buruk. Ayat selanjutnya menggambarkan bahwa diciptakannya manusia laki-laki dan perempuan yang bersuku-suku dan berbangsa itu tiada lain untuk menjalin relasi; dan pada dasarnya mereka setara, karena kemuliaan di antara mereka semata diukur dari ketakwaan kepada-Nya. Mewujudkan nilai kesetaraan dalam kehidupan, termasuk kesetaraan gender, merupakan keniscayaan demi tegaknya keadilan sebagai nilai universal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dunia.
Perhatian dunia internasional dalam menegakkan nilai kesetaraan mulai muncul setelah ditetapkan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB (1948); ditandai dengan semakin gencarnya gerakan perjuangan dan kesadaran perempuan untuk majukan kaumnya dan memperbaiki kedudukannya dari berbagai segi. Untuk mengejar ketertinggalan perempuan maka dikembangkan konsep emansipasi antara laki-laki dengan perempuan (1950-1960-an). Gerakan global perempuan pun (12 Juli 1963) berhasil mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOC) Nomor 861 F (XXVI), dan diakomodasi oleh pemerintah Indonesia dengan membentuk Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia dengan SK Menteri Negara Kesra No. 34/KPTS/Kesra/1968.
Dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Republik Indonesia 1978, untuk pertama kalinya ada bab khusus tentang peranan wanita dalam pembangunan. Dampak dari GBHN 1978 ini adalah diangkatnya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita dalam Kabinet Pembangunan III. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dimuat kebijakan, langkah-langkah dan Program Peningkatan Peranan Wanita (P2W). Pemerintah dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk merencanakan, melaksanakan, memantau, dan melakukan evaluasi atas hal-hal yang ditetapkan dalam Repelita. Untuk melaksanakannya disediakan anggaran bagi tiap-tiap departemen. Esensi pokok dari GBHN 1978 yakni wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan serta secara penuh dalam segala kegiatan pembangunan. Peranan wanita dalam pembangunan tidak mengurangi perannya dalam pembinaan keluarga sejahtera dan pembinaan generasi muda. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan wanita sesuai dengan kebutuhan.
Selanjutnya pada Konferensi perempuan dunia di Kopenhagen (1980) diusahakan Convension on the Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW ) yang meniadakan segala macam bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan. Pendekatan pemberdayaan perempuan tanpa keterlibatan laki-laki (WID) yang selama ini diterapkan menimbulkan sinistis dari laki-laki. Setelah dilakukan analisis terhadap pendekatan tersebut pada the 3th Commission on the Status of Women (1990) di Vienna, ternyata pemberdayaan perempuan tanpa peranserta laki-laki tidak membawa hasil yang signifikan. Oleh karena itu digunakan pendekatan Gender and Development (GAD). Setelah melalui proses diskusi dalam the International Conference on Populational Development di Cairo (1994) dan di the 4th conference on Women (1995) di Beijing, akhirnya dari konferensi tersebut disepakari komitmen operasional tentang perbaikan terhadap status dan peranan perempuan dalam pembangunan mulai dari tahap perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan menikmati hasil pembangunan. Dengan demikian terjadilah perubahan konsep yang sangat mendasar, yaitu dari pembahasan masalah fisik biologis (biological sphare) ke masalah sosial budaya (socio-cultural sphare).
Dalam setiap Repelita selalu ada bab yang memiliki penekanan utama pada peningkatan kesejahteraan dan peranan perempuan dalam pembangunan. Repelita V memberikan penekanan utama pada Program Peningkatan Peranan Wanita (P2W) yang terdiri atas (a) program khusus, yaitu program yang diperuntukkan khusus wanita untuk mengejar ketinggalannya di berbagai bidang; (b) program umum yang ditujukan kepada masyarakat (pria dan wanita) yang mengintegrasikan aspirasi, kepentingan dan peranan wanita (sekarang disebut gender mainstreaming – pengarusutamaan gender). Dalam Repelita V ada empat bidang utama ditambah dengan mekanisme P2W di tingkat nasional dan daerah. Repelita V ini secara khusus memuat dibentuknya Pusat Studi Wanita di lingkungan universitas. Sejak tahun 1990 hampir semua universitas negeri, IAIN dan beberapa universitas swasta mempunyai Pusat Studi Wanita (PSW). Pada tahun 2001 ada 78 PSW atau Kelompok Studi Wanita diseluruh Indonesia. PSW di daerah menjadi anggota dari Tim pengelola P2W, melakukan penelitian dan pengkajian mengenai keadaan wanita, hambatan dan masalah yang dihadapi, kemudian memberikan rekomendasi kepada Tim Pengelola P2W.
Dalam GBHN 1999, terdapat penekanan pada kedudukan dan peranan perempuan. Yaitu meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Selain itu, ditekankan pula untuk meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai histories perjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Pada era reformasi, Repelita diubah menjadi Program Perencanaan Nasional (PROPENAS) dengan penekanan pada pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan akses pada sumber daya pembangunan. Juga penekanan pada pengarusutamaan gender (gender mainstreaming yang diterbitkan dalam Inpres No. 9 tahun 2000). Selain itu, pelaksanaan zero-tolerance policies untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan (Achie Sudiarti Luhulima, 1995 dan 2001).

Signifikansi
Konferensi Perempuan Sedunia keempat di Beijing merupakan momentum digunakannya pendekatan Gender and Development (GAD) dan istilah Gender mainstreaming tercantum dalam Beijing Platform of Action, yang berarti: “Gender mainstreaming is a strategy for integrating gender concerns in the analysis formulation and monitoring policies, programs and projects”. Secara eksplisit seluruh negara peserta, termasuk Indonesia, dan organisasi yang hadir mendapatkan mandat untuk mengimplementasikan gender mainstreaming di negara dan tempat masing-masing.
Untuk implementasi gender mainstreaming sebagai strategi pembangunan pemerintah Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional; bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam seluruh bidang pembangunan; mulai dari tahap kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Dengan demikian diharapkan dapat tercapai kedudukan dan peran, akses dan kontrol, serta manfaat pembangunan secara setara dan adil gender. Implementasi PUG dalam pembangunan ini dilaksanakan di bawah koordinasi Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP). Sebagai konsekuensi dari Inpres ini KPP meningkatkan upaya mewujudkan KKG dengan mengefektifkan koordinasi dengan departemen dan institusi terkait, termasuk Departemen Agama. Dan untuk pengembangan program-programnya, KPP membentuk POKJA yang melibatkan instansi terkait untuk merancang program strategis dan mempersiapkan konsep kegiatannya; termasuk di dalamnya adalah POKJA PSW. Oleh karena PSW berada di dalam lingkungan kampus Perguruan Tinggi Agama Islam, maka perannya sangat signifikan untuk mengimplementasikan PUG di lingkungan kampus masing-masing di seluruh daerah Indonesia.
Dalam rangka implementasi PUG di perguruan tinggi Kementrian Pemberdayaan Perempuan memberdayakan POKJA PSW dan mengefektifkan peran PSW, yang pada kesempatan sebelumnya telah berperan sebagai pusat kajian dan penelitian isu-isu gender. Di lingkungan kampus, PSW menjadi motor penggerak dan pengendali implementasi PUG dalam kebijakan, perencanaan, kegiatan, monitoring dan evaluasi program dan kegiatan di perguruan tinggi, termasuk PSW di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, di bawah Departemen Agama RI. Untuk menjalankan peran tersebut lembaga PSW Perguruan Tinggi Agama Islam, harus berdaya dan didukung oleh pimpinan setempat.
Pemberdayaan perempuan di Perguruan Tinggi Agama Islam, ini merupakan langkah yang harus dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan, karena upaya ini bukanlah semata-mata tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Upaya ini membutuhkan peran serta seluruh kementerian dalam Kabinet untuk mengintegrasikan strategi PUG tersebut dalam program-programnya. Bahkan secara khusus program afirmatif pemberdayaan perempuan pun dapat dilakukan.
Dasar-dasar hukum pembentukan Pusat Studi Wanita dapat dilihat pada buku panduan pembentukan dan pembinaan Pusat Studi Wanita/Pusat Studi Gender yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang merupakan ratifikasi dari Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
3. Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional;
4. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5. Ketetapan MPR Nomor 4 Tahun 1999 tentang GBHN tahun 1999-2004;
6. Keputusan Presiden Nomor 163 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara yang diubah dengan Kepres No. 171 No. 9 Tahun 2000;
7. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional;
8. Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 03/KEPMENEG.PP/I/2001 tentang organisasi dan Tata Kerja Staf Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan;
9. Naskah Kerja Sama Menteri Peranan Wanita, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama, tanggal 24 Nopember 1998 tentang Pembinaan Pengembangan PSW/PSG.
Dari kutipan peraturan di atas menunjukkan bahwa keberadaan PSW/PSG di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, Masalahnya apakah Perguruan Tinggi Agama Islam, sudah melaksanakan PUG dilingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya lembaga PSW/PSG yang akan dirumuskan dalam perumusan masalah di bawah ini.

TELAAH PUSTAKA
Penelitian tentang kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam, terhadap implementasi gender mainstreaming oleh PSW belum ditemukan datanya.

FOKUS PENELITIAN (PERUMUSAN MASALAH)
Masalah penelitian ini difokuskan: pertama, pada kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam mengintegrasikan PUG, khususnya dalam perhatian pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam mengembangkan PSW sebagai lembaga, sehingga lembaga ini dapat memperoleh akses, kontrol, dan manfaat pemberdayaan; kedua, pada eksistensi PSW dalam pelaksanaan program dan kegiatan di Perguruan Tinggi Agama Islam, baik karena diperankan oleh pimpinan maupun atas usaha dan kemampuan PSW sendiri untuk memerankan diri.
Untuk mengarahkan kajian atas masalah ini maka permasalahan utama penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: "Apakah kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam sudah mencerminkan implementasi pengarusutamaan gender (PUG)/gender mainstreaming di kampus melalui pemberdayaan PSW? Dalam hal ini, apakah PSW pada Perguruan Tinggi Agama Islam tersebut memiliki peranan yang signifikan?".
Untuk memperoleh data dan informasi yang memadai, berikut ini dikemukakan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai penjabaran atas perumusan masalah tersebut.
(1) Apakah kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam berpihak pada keberadaan lembaga PSW?
(2) Apakah PSW dilibatkan dalam penyusunan perencanaan program Perguruan Tinggi Agama Islam?
(3) Apakah PSW dilibatkan dalam pelaksanaan program dan kegiatan di Perguruan Tinggi Agama Islam?
(4) Program dan kegiatan apa sajakah yang telah dan akan dilakukan PSW sebagai wujud implementasi gender mainstreaming, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam?

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian Ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesediaan Perguruan Tinggi Agama Islam dalam mengintegrasikan PUG/gender mainstreaming dalam pelaksanaan program dan kegiatan, khususnya dalam bentuk pemberian perhatian dan pemberian kesempatan partisipasi kepada lembaga PSW. Selanjutnya, penelitian ini akan menjelaskan peranan PSW dalam mengimplementasikan PUG di kampus dari sisi kegiatan yang telah dan akan dilakukan.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
(1) Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi awal bagi peneliti untuk mengadakan kajian lebih lanjut.
(2) Demikian juga bagi para funding dan instansi terkait, bahwa gambaran tentang kondisi PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia ini dapat menjadi dasar dan sumber inspirasi untuk pengembangan dan untuk membangun kerjasama dengan PSW
(3) Informasi penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam setempat untuk penentuan kebijakan pada masa yang akan datang yang berperspektif gender.
(4) Informasi ini dapat dijadikan bahan pertimbangan Dirjen Pendidikan Islam dan atau Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI dalam penentuan kebijakan tentang keberadaan PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam.

KERANGKA TEORITIK
Gender Mainstreaming (Pengarusutamaan Gender) merupakan sebuah strategi pemberdayaan perempuan yang digunakan Pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan ini ditetapkan dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.
Gender Mainstreaming (Pengarusutamaan Gender) adalah “strategi yang dibangun pemerintah untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas berbagai kebijakan dan program pembangunan nasional”.
Dengan demikian tujuan akhir yang akan dicapai adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.
Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi yang di dalamnya tidak ada lagi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki sehingga keduanya memiliki akses, kesempatan/peran, kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari semua hasil pembangunan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk semua sektor pada semua tingkatan, termasuk sektor pendidikan, agar mandiri melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Keberadaan PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1988 dengan diselenggarakannya kursus Women and Development oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan kedutaan Belanda, yang diikuti oleh wakil dosen perempuan dari 14 IAIN se Indonesia. Kegiatan tersebut merupakan momentum sejarah berdirinya lembaga kajian wanita di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Pada saat itu para peserta sepakat untuk mendirikan lembaga kajian perempuan di masing-masing perguruannya; dan nama yang mereka berikan untuk lembaga ini cukup beragam, antara lain Kelompok Studi Wanita (KSW), Forum Studi Wanita (FSW), dan Kelompok Diskusi Studi Wanita (KDSW). Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1995 pertemuan Menteri Pemberdayaan Perempuan (pada waktu itu Menteri Negara Urusan Perempuan) dengan para rektor perguruan tinggi se Indonesia menghasilkan kebijakan tentang pemberian nama lembaga ini menjadi Pusat Studi wanita (PSW).
Berdirinya STAIN di berbagai daerah sejak tahun 1997, meningkatkan jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAI-N) dan jumlah PSW pun semakin banyak, ketika lembaga ini secara berangsur berdiri di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang baru. Setelah tahun 2000-an PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam semakin bertambah jumlahnya, dan pada tahun 2002/2003 terdata 39 Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri telah berdiri PSW dari 46 Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang ada saat itu. Dari 39 PSW , sekitar 12 PSW yang belum aktif mengembangkan kegiatannya sendiri, dan masih terbatas pada kegiatan partisipatif untuk menghadiri undangan kegiatan. Ini menunjukkan bahwa kondisi PSW yang ada di Perguruan Tinggi Agama Islam beragam kondisinya, sebagian sudah mandiri dan sebagian lainnya masih membutuhkan dukungan dan pendampingan untuk pengembangan lembaganya.
Berdasarkan data jaringan PSW Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia tahun 2005, sebagian pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (39%) belum memberi perhatian sepenuhnya terhadap keberadaan PSW di perguruannya, termasuk untuk mendirikan lembaga tersebut, pemberian kantor dan fasilitas kesekretariatan, serta dukungan dana dan kegiatan. Padahal dana oprasional pendidikan di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri sepenuhnya diserahkan pengelolaannya ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri masing-masing. Oleh karena itu sudah semestinya pemberdayaan PSW di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam menjadi tanggungjawab pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam setempat. Karena lembaga ini merupakan salah satu komponen perguruan tinggi yang membantu Perguruan Tinggi Agama Islam mampu menampilkan reputasi akademik yang sensitif gender sebagai prasyarat bagi terwujudnya perguruan tinggi yang modern dan humanis. Tanggung jawab ini merupakan salah satu bentuk konsekuensi dari komitmen bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dengan Departemen Agama dan dengan para rektor, khususnya ditegaskan dalam pertemuan tahun 1995 tentang keberadaan pusat-pusat kajian perempuan di perguruan tinggi dan pemberian nama lembaga ini dengan nama Pusat Studi Wanita (PSW).
Kemudian dilanjutkan dengan Naskah Kerja Sama Menteri Peranan Wanita, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama, tanggal 24 Nopember 1998 tentang Pembinaan Pengembangan PSW/PSG dan Rumusan Hasil Pertemuan Koordinasi Kebijakan Pimpinan Perguruan Tinggi/Rektor Se-Indonesia, 14 Juni 2002. Tim perumus terdiri dari Prof. Dr. Ir. Bambang Guritno (Rektor Universitas Brawijaya, Malang), Prof. Dr. H. Abdul Muin Salim (Rektor IAIN Alauddin, Makassar) dan Drs. Andarus Darahi, MPA (Deputi Bid. Pengembangan & Informasi Kementrian Pemberdayaan Perempuan).Rumusan hasil pertemuan tersebut mencakup:
Menindaklanjuti naskah keja sama antara Menteri Negara Peranan Wanita, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama yang dilaksanakan di Cibogo pada tanggal 24 Nopember 1998 maka dilakukan Pertemuan Koordinasi Rektor/Pimpinan Perguruan Tinggi dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 11-14 Juni 2002, dengan hasil sebagai berikut:
1. Perguruan Tinggi, melalui Tri Dharmanya akan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kondisi (kualitas dan kemampuan) dan posisi (kedudukan dan peran) perempuan dalam pembangunan daerah.
2. Pusat Studi Wanita atau Pusat Studi Gender (PSW/PSG) di perguruan tinggi yang pembentukannya diprakarsai oleh Menteri Negara Peranan Wanita (Seakrang bernama Kementrian Pemberdayaan Perempuan) bersama-sama dengan sejumlah rektor perguruan tinggi negerim swasta dan IAIN pada Rapat Nasional Peningkatan Peranan Wanita dalam pembangunan bulan Januari 1990, dipandang perlu kebradaannya dalam upaya menyukseskan program pemerintahan dibidang pemberdayaan perempuan.
3. Keberadaan PSW/PSG di perguruan tinggi ditetapkan berdasarkan keputusan rektor/pimpinan perguruan tinggi. Pembinaan PSW/PSG dilakukan bersama-sama antara Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama dengan rektor/pimpinan perguruan tinggi agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, baik dalam aspek manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia, maupun penyediaan fasilitas dan program kegiatannya.
4. Dalam menjalankan tugasnya PSW/PSG dapat melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga donor guna meningkatkan kemampuan dan mendukung pelaksanaan program kegiatan, baik berskala nasional maupun daerah.
5. Rektor/pimpinan perguruan tinggi akan memberikan dukungan dan penyediaan sumber daya manusia, fasilitasi, dan sarana, sesuai kemampuan yang dimiliki.
6. Kementrian Pemberdayaan Perempuan akan melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada pemerintah daerah, agar PSW/PSG yang ada diwilayahnya diikutsertakan dan difasilitasi dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
7. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan rektor/pimpinan perguruan tinggi menyarankan untuk menyelenggarakan rapat kooridnasi dan konsultasi minimal setiap tahun.
Bagaimanapun juga pengimplementasian PUG oleh PSW tidak terlepas dari kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam terkait. Siapa saja yang ditugasi sebagai pimpinan puncak dari sebuah organisasi, maka mempunyai hak untuk mempengaruhi perilaku dari anggota organisasi. Setiap pemimpin mempunyai gaya khusus, karakteristik pola perilaku yang dimunculkan oleh pimpinan dalam pengambilan keputusan.
Kepemimpinan sangat sulit didefinisikan secara tepat. Oleh sebab itu, banyak orang mencoba memperkenalkan definisinya sesuai fungsinya masing-masing. Kepimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan peran, dan tempatnya pada satu posisi administrasi (Yukl G 1994). Robert Schuller (Hatten dan Hatten 1988), mengatakan bahwa kepemimpinan sebagai kekuatan yang menyeleksi mimpi seseorang dan menyeleksi tujuan-tujuannya. Sedangkan menurut Rauch dan Behling (1984) dalam Indrianawati Usman (2003), kepemimpinan mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan. Selanjutnya menurut Afsaneh Nahavandi (2000) dalam Indrianawati Usman (2003), kepemimpinan adalah seseorang yang mempengaruhi individu-individu dan kelompok yang ada pada organisasi, membantu dalam menentukan tujuan-tujuan dan memandu pencapaian tujuan-tujuan mereka.
Dalam teori organisasi dapat dipahami bagaimana organisasi dapat berproses, para anggotanya saling berinteraksi, dan tetap hidup dan berkembang. Proses organisasi tidak lepas dari peranan dan perilaku setiap anggotanya dalam berinteraksi. Dalam proses tersebut ada kemungkinan terjadinya kemenduaan peranan dan konflik, yang mau tidak mau akan melibatkan kelompok untuk dapat menyelesaikan konflik tersebut. Demikian juga, kita dapat memahami perilaku organisasi dari sudut pandang mikro dan makro, serta organisasi sebagai sistem dan sistem sosial.
Suatu organiasi dalam era global mau tidak mau harus beradaptasi dengan era global tersebut yang tentunya penuh dengan perubahan yang cepat dan persaingan yang semakin tajam. Beberapa strategi yang harus dimainkan oleh organisasi agar tetap survive dan berkembang, bergantung kepada beberapa hal, antara lain perubahan yang harus dilakukan dalam lingkup internal dan eksternal, disain organisasi yang adaptif dan luwes menghadapi perubahan, termasuk bagaimana organisasi dapat beroperasi secara efektif dan efisien. Bagaimana cara memotivasi orang-orangnya, peningkatan mutu dan pelayanan kepada pemakai jasa. Perlu juga memperhatikan perkembangan teknologi dan komunikasi karena berkaitan dengan ketersediaan, keakuratan dan kecepatan memperoleh informasi. Selain itu juga memperhatikan sikap dan perilaku anggota organisasi dan keterkaitannya dengan kinerja. Kepuasan para anggota organisasi akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan.
Dalam organisasi dan manajemen, ada beberapa faktor yang dapat menghantar keberhasilan seseorang mengarahkan kegiatan orang-orang yang dipimpinnya ke arah pencapaian tujuan organisasi secara efektif. Faktor tersebut terkait dengan gaya kepemimpinan seseorang, termasuk karakteristiknya dan karakteristik bawahan, serta terkait dengan bagaimana ia membawa organisasi yang dipimpinnya di dalam lingkup perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian. Menjalankan fungsi-fungsi tersebut merupakan pekerjaan manajer. Khusus berkenaan dengan fungsi actuating, kemampuan menggerakkan orang untuk mencapai tujuan organisasi, adalah kemampuan yang harus dimiliki pemimpin.
Menurut Paul Hersey & Ken Blanchard (1988:3) – 3.4 UT, manajemen adalah ”proses kerja sama dengan dan melalui orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasi”. Harold Koontz dan Heinz Weihrich (1990:4) menyebutkan bahwa manajemen adalah ”.. the process of designing and maintaining an environtment in which individuals working together in groups, efficiently acoomplish selected aims…” orang yang bertugas mengelola proses organisasi dan tetap menjaga agar organisasi tempat orang-orang bekerja sama dalam kelompok dapat terselenggara secara efisien menuju pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dan oleh karena itu ia menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang disebut manajer. Upaya agar tugas-tugas tersebut berhasil, maka seorang manajer harus mampu menggerakkan orang lain. Kemampuan menggerakkan orang lain harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Melalui fungsi kepemimpinannya atau fungsi menggerakkan, maka seorang manajer mampu memanfaatkan potensi seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Disisi lain kepemimpinan adalah konsekuensi logis melaksanakan fungsi-fungsi manajemen. Kepemimpinan juga seni dalam proses mempengaruhi orang lain sedemikian rupa, sehingga orang lain tersebut akan dengan rela dan penuh semangat menuju ke arah pencapaian tujuan kelompoknya. (Koontz & Weihrich, 1990:344)
Menurut Chester I Barnard fungsi utama pemimpin (eksekutif) adalah menciptakan komunikasi dan menekankan serta menggunakan komunikasi sebagai proses untuk memperoleh kerja sama dari seluruh anggota organisasi; membuat rumusan tentang tujuan organisasi dan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai organisasi sesuai dengan tujuannya, yang memberikan arti bahwa organsiasi adalah suatu sistem kegiatan yang kooperatif dan berorientasi pada tujuan organisasi dan tujuan bersama.
Semenjak abad ke dua puluh satu keorganisasian di Perguruan Tinggi berkembang budaya organisasi yang digunakan untuk mengurangi suatu kegiatan yang tidak perlu. Kunci pokoknya adalah penjelasan antara budaya dengan gaya manajemen. Keberhasilan atau kegagalan dalam manajemen Perguruan Tinggi terletak pada kemampuan dari komite dalam meletakkan manajemen yang tepat.
Pengertian Budaya Organisasi, mencakup budaya kekuatan, budaya peraturan, budaya tugas dan budaya masyarakat. Perubahan budaya di Perguruan Tinggi didasari oleh budaya yang mempunyai empat substansi yaitu kolektif, birokrasi, kerja sama lembaga (institusi). Perubahan budaya di Perguruan Tinggi tergantung dari apa yang mereka kerjakan. Konsep Budaya Organisasi sangat berguna untuk menemukan tujuan.
Budaya pendidikan tinggi atau academy culture adalah berperan sebagai produser pengetahuan dan mengembangkan pengetahuan masyarakat apakah hasilnya dalam bentuk ilmiah atau melatih masyarakat secara ilmiah dengan kata lain university is a key knowledge-producing institution. Selain itu, budaya organisasi di universitas, keputusan diambil berdasarkan kolektif dan collegial dan didominasi oleh guru besar senior dan kelompoknya. Pada Pendidikan tinggi atau higher education (HE) ada dua jenis manajer yang berbeda pertama, ada yang menjalankan bagian akademik atau bagian utama mengajar, penelitian atau kombinasi keduanya. Kedua, yang menjalankan bagian pelayanan atau bagian esensial akademik misal, pendaftaran, perpustakaan, dukungan fisik seperti akomodasi gedung dan buruh dimana manajer bagian ini disebut administrator.
Istilah Rektor sebagai pemimpin di universitas banyak digunakan di semua wilayah Eropa seperti di Italy, Jerman, Scandinavia, Belanda, Spanyol dan Skotlandia termasuk Indonesia adalah rektor atau dalam bahasa Inggris “the rector is the highest academic official of many universities” . Menurut hasil penelitian Catherine Bargh, Jean Bocock, Peter Scott dan David Smith yang dibukukan dengan judul University Leadership – The Role of the Chief Executive . Kultur organisasi pendidikan tinggi itu dibentuk oleh dialektika antara kelestarian, konservasi, tradisional yang dibentuk secara ilmiah dan otoritas intelektual (social).
Dalam pandangan tradisional, tujuan didirikannya perguruan tinggi memiliki pandangan dasar yang menekankan pada dua aspek. Pertama, sebagai peran yang memprodusir pengetahuan (its role as a producer of knowledge). kedua, perguruan tinggi memainkan peran kepemimpinan dalam menstimulasi kemampuan pengetahuan (knowledgeability) melalui formasi elit, sosial dan teknikal. Dalam praktek selalu ada tekanan antara tujuan perguruan tinggi dan anti scientific (anti positivist). Hal ini menunjukkan bentuk dari perang kultur (culture wars) yang menyebabkan terjadinya perselisihan mengenai bagaimana perguruan tinggi harus ditata. Pendidik menekankan pada perguruan tinggi sedangkan peneliti pada jurusan (bagian).
Peranan Rektor (Catharine Bargh, Jean Bocock, Peter Scott dan David Smith) adalah antara lain: penyusun renstra, memprakarsai proses dan bertanggung jawab akan kemajuan dan pelaksana setiap perubahan yang terjadi dilembaganya. Pemimpin di perguruan tinggi yang memiliki wawasan renstra sebagai bagian dari budaya managerial yang baru. Pendorong yang kuat terhadap kebutuhan dewan penyantun dan pertumbuhan dari budaya pasar di perguruan tinggi.
Tugas rektor mengembangkan strategi kepemimpinannya, memiliki visi arah dan tujuan universitas, merencanakan pendidikan jangka menengah dan jangka panjang di universitas; membukakan kesempatan sebagian anggota dewan/struktur pemerintah masuk ke dalam dunia industri atau bisnis yang relevan dengan menata universitas. Seorang rektor hendaknya meyakini adanya pemisahan antara kepemimpinan akademik dan kepemimpinan pendidikan. Sebagai pemimpin, rektor juga menjadi penghubung antara kepala daerah dan para kolega akademik yang lebih senior. Seorang rektor sebagai pengambil keputusan yang penting, namun mampu berbeda suara pada setiap arahan strategi yang telah disusun dan/atau tetap memberikan pencerahan pada perkembangan-perkembangan baru. Dalam institusi kepemimpinan akademik merupakan mitra antara dekan fakultas dan rektor. Bahkan menjadikan kepemimpinan yang berbadan hukum.
Gaya manajemen dan budaya, gaya masa kini dan budaya adalah suatu keanekaragaman dan bagaimana universitas menghubungkan antara misi akademik, penataan misi dan arah misi yang akan disebarkan. Gaya manajemen lebih mengarah pada kreatifitas individual dan tidak bergantung pada sistem kontrol atau sistem hirarki. Dalam hal ini rektor secara personal dapat menjadi simbol dari universitas namun tidak berjalan lama sehingga kebijakan misi dan tujuan akademik tidak berubah.
Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah para pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam terkait membuat kebijakan yang mengarah pada tujuan PUG. Akselerasi perubahan yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam yang disebabkan oleh PUG harus diperhatikan oleh pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam. Pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam dituntut untuk selalu merujuk kepada PUG dalam setiap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas berbagai kebijakan dan program secara umum di Perguruan Tinggi Agama Islam dan secara khusus di PSW.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian adalah suatu proses mencari sesuatu secara sistematis dalam waktu yang relatif lama dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan yang berlaku. Desain penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif ini merupakan single cross-sectional study, yaitu penelitian dilakukan hanya dengan mengukur contoh dari populasi pada satu waktu tertentu.
Pendekatan metodologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian survei. Survei digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang populasi yang besar dengan menggunakan sampel yang relatif kecil. Populasi tersebut bisa berkenaan dengan orang, instansi, lembaga, organisasi, unit-unit kemasyarakatan dan lain-lain. Banyak orang percaya bahwa penelitian survei memiliki sifat paling ketat dan secara ilmiah paling bisa dipercaya. Seperti yang dikatakan oleh Diana Russel yang dikutip dalam “Feminist Methods in Social Research”, hal. 76.
Peneliti melakukan eksplorasi data terkait dengan masalah yang diteliti. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang dikirim via e-mail, fax dan pos.
1. Variabel penelitian
(1) Fasilitas kesekretariatan
(2) Kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pemberdayaan PSW
(3) Kegiatan yang dilakukan PSW Perguruan Tinggi Agama Islam dalam implementasi gender mainstreaming.
2. Sumber Data
Penelitian menganalisis data primer yang bersumber dari dokumen PSW Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia dan persepsi pengurus PSW terkait.
Berhubung besarnya populasi PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia (550 buah), sementara ada beberapa keterbatasan peneliti terutama dalam hal waktu, tenaga dan dana, maka dalam penelitian ini digunakan sampel sebanyak 40 PSW Perguruan Tinggi Agama Islam.
Teknik penarikan sampel secara purposive sampling mencakup wilayah:
• Jawa Timur dan sekitarnya
• Jawa Tengah dan sekitarnya
• Jawa Barat dan sekitarnya
• Sumatera Barat & Selatan
• Sumatera Utara dan sekitarnya
• Kalimatan Selatan dan sekitarnya
• Sulawesi dan sekitarnya
3. Instrumen
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Dalam penelitian ini, instrumen utama penelitian yaitu kuesioner (Lampiran 1). Instrumen yang digunakan berjenis non-test, yaitu instrumen sikap. Jenis instrumen ini tidak ada jawaban ”salah atau benar”, tetapi bersifat ”positif dan negatif” (Sugiyono 2005).
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari kuesioner dimasukkan ke dalam komputer. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel, untuk melakukan analisis terhadap fasilitas kesekretariatan, kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pemberdayaan PSW, dan kegiatan yang dilakukan PSW Perguruan Tinggi Agama Islam dalam implementasi gender mainstreaming.
Analisa data mengikuti urutan sebagai berikut:
1. Persiapan.
2. Tabulasi.
3. Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian.

DURASI DAN DANA
Penelitian akan dilaksanakan selama 3 bulan. Adapun rincian dana yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
No Komponen Biaya (Rp) Keterangan
1. Gaji ( 50 %) 5 juta Pembuatan kuesioner, pengolahan data dan analisis data
2. Bahan (10 %) 1 Juta ATK dan penggandaan bahan
3. Seminar hasil proposal (10 %) 1 Juta Logistik dan konsumsi
4. Perjalanan ( 20 %) 2 Juta Penyebaran dan sosialisasi penelitian
5. Lain-lain (10 %) 1 Juta -
BIAYA TOTAL 10 Juta -


DAFTAR RUJUKAN

Bargh, Catharine, Bocock, Jean, Scott, Peter & Smith, David. University Leadership- The Role of the Chief Executive. Buckingham: The Society for Research into Higher education & Open University Press. 2000.
Creswell, John W. Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Terjemahan dari: Research Design, Quantitative and Qualitative Approaches. Jakarta: KIK Press. 2003.
Depson, Sue & McNay, Ian. Organizational Culture. Dalam David Warner and David Palfreyman (Ed.) Higher Education Management – The Key elements. The Society for Research into Higher Education & Open Univetsity. 1996.
Hatten, Kenneth J, dan Hatten, Mary Louise. Effective Strategic Management. Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1988.
http://www.library.gunadarma.ac.id/files/disk1/2/jbptgunadarma-gdl-s1-2003-hendrakurn-72-bab3.pdf -. Diakses pada 14 Juni 2007.
http://www.library.gunadarma.ac.id/files/disk1/3/jbptgunadarma-gdl-s2-2004-arivianipe-127-bab3.pdf -. Diakses pada 14 Juni 2007
http://www.wikipedia.org, di akses pada 14 Juni 2007
Reinharz, Shulamit. Feminist Methods in Social Research. New York: Oxford University. 1992.
Sukamadinata, Nana S. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: remaja Rosdakarya. 2005.
Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. 2005.
Usman, Indrianawati. Materi Pokok Manajemen Strategik. Jakarta: Universitas Terbuka. 2003.
Warner, David & Palfreyman, David (Ed). Higher education management – The Key Elements. Buckingham: The Society for Research into Higher Education & Open University.1996.
Yukl, Gary A. Leadership in Organization. Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: Prenhalindo. 1994.




posted by KETUA PSW IIQ at 9:59 AM |

0 Comments:

Go Ahead, Share Your Thoughts! Post a Comment.

TAKE ME BACK TO THE MAIN PAGE...