Search in the Quran
Search in Quran:
in
Download Islamic Softwares (FREE)
Get Free Code
Powered by www.SearchTruth.com
Search Islamic Directory
Keyword:
Free Web Counter
hit Counter Credits

    Powered by Blogger

    My Daily Thoughts

Wednesday, January 04, 2006

Profil Pendiri Yayasan Affan

Hj. Kustini Usman Affan

Hj. Kustini Usman Affan, yang biasa dipanggil Tien Usman dilahirkan di Garut, 17 Juni 1940. Pada 15 Oktober 1960 ia menikah dengan H. Usman Affan. Perempuan yang menggeluti bidang bisnis ini tinggal di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Rumah mewahnya, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga berfungsi sebagai pre-elementary school dengan nama Pondok Indah Montessori. Bagi Ibu dari tujuh putera puteri - dua diantaranya sudah lebih dulu dipanggil menghadap Sang Khaliq pada usia 6 dan 4 tahun - ini, kesuksesannya membuka TK adalah kepuasan tersendiri karena ia bisa mewarnai kehidupan anak bangsa sejak usia dini. Memang sebuah kenyataan pahit saat harus merelakan kepergian kedua anaknya di usia dini. Namun demikian, semua bisa terobati dengan kembali kepada agama, sebagaimana motto hidupnya, ”Agamaku Obatku.”

Ibu yang mempunyai hobi mengaji ini pada tahun 1977 bersama dengan suami tercinta dan saudara-saudaranya membidani lahirnya Institut Ilmu Alqur’an (IIQ) Jakarta, yang saat itu dikelola oleh Yayasan Affan dan sekaligus berstatus sebagai donatur. Setelah pengelolaan IIQ dipercayakan kepada Yayasan IIQ yang diketuai oleh HJ. Harwini Joesoef, Ibu Tien Usman masih aktif terlibat di yayasan. Bahkan sampai periode sekarang ini, ia dipercaya untuk menempati posisi Ketua I yang membawahi bidang sarana, prasarana, dan pendidikan bidang yang cukup urgen bagi sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.

Sebagai salah seorang pendiri dan pengelola IIQ yang bertanggungjawab, ia memiliki cita-cita agar IIQ menjadi lembaga pendidikan yang disegani dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa. ”Saya selalu berdoa agar IIQ terus berkembang dan mandiri, tidak tergantung pada siapapun,” ujarnya. Mengembangkan IIQ merupakan tantangan besar saat masyarakat mulai berpikir materialis dan pragmatis.
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 6:27 PM | 0 comments

Sciences whose Knowledge is Wajib Kifa’i

Here we do not intend to enter into `a discussion about sciences whose learning is obligatory (wajib `ayni) for every responsible Muslim individual (mukallaf). Rather, we propose to discuss those sciences whose knowledge is a wajib kifa'i for all the Muslim Ummah. To begin with, we consider some of the opinions of Imam Al‑Ghazzali and Muhaqqiq Kashani in this regard as disputable and shall proceed to examine them. However, before we start, we think it will be beneficial to revert to certain important points mentioned by Mulla Sadra in his commentary on Usul al‑Kafi under the tradition:


"Tholabul 'ilmi fariidhotun 'ala kulli muslimin"
(Acquisition of knowledge is an obligation of every Muslim)

1. The word `ilm (knowledge or science), like the word "existence" (wujud) has a broad range of meanings which vary from the viewpoints of strength or weakness, perfection or deficiency. [10] The word's generic sense covers this whole spectrum of meaning in which it has been used in the prophetic tradition. This broad sense of the word `ilm is common to all its varied meanings. Accordingly, the tradition intends to state that whatever stage of knowledge one may be in, he should strive to make further advance. The Prophet means that acquisition of know­ledge is obligatory for all Muslims, scholars as well as ignorant men, beginners as well as learned scholars. Whatever stage of knowledge man may attain, he is still like a child entering into adulthood as far as this tradition is concerned; i.e. he should learn things which were not obliga­tory for him before.

2. The tradition implies that a Muslim can never be relieved of his responsibility of acquiring knowledge'. [11]

3. No field of knowledge or science is undesirable or detestable in itself; for knowledge is like light and so it is always desirable. The reason that some of the sciences have been regarded as "undesirable" is because of their occasional misuse. [12]

We do not accept the division of knowledge into "religious" and "non‑religious" sciences; for, as the Martyr Murtada Mutahhari has rightly pointed out, this classification may bring about the misunder­standing that the "non‑religious" sciences are alien to Islam. And this is not compatible with the comprehensive unity held up by Islam in all affairs of life. A religion which claims the ability to bring about condi­tions for perfect felicity of mankind and considers itself to be self­-sufficing cannot estrange itself from things which play a vital role in the provision of welfare and independence for an Islamic society. Accord­ing to the late Mutahhari, "Islam's all‑inclusiveness and finality as a religion demands that every field of knowledge that is beneficial for an Islamic society be regarded as a part and parcel of the "religious sciences. [13]

Notes:
[10]. Ibid, p. 120.

[11]. Ibid, p. 121.

[12]. Ibid, p. 129.

[13]. Murtada Mutahhari, Guftar‑e Mah, vol. I, p. 137.

al-islam.org/al-tawhid/science…2.htm - More from al-islam.org - Similar pages
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 5:55 PM | 0 comments

Aborsi

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
NOMOR : 4 TAHUN 2005
Tentang A B O R S I

Bismillahirrahmaanirrahiim
Majelis Ulama Indonesia, setelah
Menimbang :
bahwa akhir-akhir ini semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama;
bahwa aborsi tersebut banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi sehingga menimbulkan bahaya bagi ibu yang mengandungnya dan bagi masyarakat umumnya;
bahwa aborsi sebagaimana yang tersebut dalam point a dan b telah menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang hukum melakukan aborsi, apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu;
bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan pedoman. Mengingat :
Firman Allah SWT :Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). (QS. al-An`am[6]:151).”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa besar.” (QS. al-Isra`[17]:31).”Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: ”Ya, Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alas an) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. al-Furqan[25]:63-71).“Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. al-Hajj[22]:5)“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS: al-Mu`minun[23]:12-14)
”Seseorang dari kamu ditempatkan penciptaannya di dalam perut ibunya dalam selama empat puluh hari, kemudian menjadi `alaqah selama itu pula (40 hari), kemudian menjadi mudhghah selama itu pula (40 hari); kemudian Allah mengutus seorang malaikat lalu diperintahkan empat kalimat (hal), dan dikatakan kepadanya: Tulislah amal, rizki dan ajalnya, serta celaka atau bahagia-(nya); kemudian ditiupkan ruh padanya.” (Hadits riwayat Imam al-Bukhari dari `Abdullah).”Dua orang perempuan suku huzail berkelahi. Lalu satu dari keduanya melemparkan batu kepada yang lain hingga membunuhnya dan (membunuh pula) kandungannya. Kemudian mereka melaporkan kepada Rasulullah. Maka, beliau memutuskan bahwa diat untuk (membunuh) janinnya adalah (memberikan) seorang budak laki-laki atau perempuan.” (Hadist muttafaq `alaih –riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim- dari Abu Hurairah; lihat `Abdullah bin`Abdur Rahman al-Bassam, Tawdhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, [Lubnan: Mu`assasah al-Khidamat al-Thiba`iyyah, 1994], juz V, h.185):”Tidak boleh membahakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadist riwayat Ibnu Majah dari `Ubadah bin al-Shamit, Ahmad dari Ibn `Abbas, dan Malik dari Yahya).
Qaidah Fiqih :”Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan.””Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan).””Hajat terkadang dapat menduduki keadaan darurat.” Memperhatikan :
Pendapat para ulama :
Imam al-Ghazali dari kalangan mazhab Syafi`I dalah Ihya` `Ulum al-Din, tahqiq Sayyid `Imrab (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2004), juz II, hal.67 : jika nutfah (sperma) telah bercampur (ikhtilah) dengan ovum di dalam rahim dan siap menerima kehidupan (isti`dad li-qabul al-hayah), maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinayah).
Ulama Al-Azhar dalam Bayan li-an-Nas min al-Azhar asy-Syarif (t.t.: Mathba`ah al-Mushhaf al-Syarif, t.th.), juz II, h. 256 :Jika aborsi dilakukan sebelum nafkhi ar-ruh, maka tentang hukumnya terdapat empat pendapat fuqaha`.Pertama, boleh (mubah) secara mutlak, tanpa harus ada alasan medis (`uzur); ini menurut ulama Zaidiyah, sekelompok ulama Hanafi –walaupun sebagian mereka membatasi dengan keharusan adanya alasan medis, sebagian ulama Syafi`i, serta sejumlah ulama Maliki dan Hanbali.Kedua, mubah karena adala alasan medis (`uzur) dan makruh jika tanpa `uzur; ini menurut ulama Hanafi dan sekelompok ulama Syafi`i. Ketiga, makruh secara mutlak; dan ini menurut sebagian ulama Maliki. Keempat,haram; ini menurut pendapat mu`tamad (yang dipedomani) oleh ulama Maliki dan sejalan dengan mazhab Zahiri yang mengharamkan `azl (coitus interruptus); hal itu disebabkan telah adanya kehidupan pada janin yang memungkinkannya tumbuh berkembang.Jika aborsi dilakukan setelah nafkhi ar-ruh pada janin, maka semua pendapat fuqaha` menunjukkan bahwa aborsi hukumnya dilarang (haram) jika tidak terdapat `uzur; perbuatan itu diancam dengan sanksi pidana manakala janin keluar dalam keadaan mati; dan sanksi tersebut oleh fuqaha` disebut dengan ghurrah.
Syaikh `Athiyyah Shaqr (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar) dalam Ahsan al-Kalam fi al-Taqwa, (al-Qahirah: Dar al-Ghad al-`Arabi, t.th.), juz IV, h. 483:Jika kehamilan (kandungan) itu akibat zina, dan ulama mazhab Syafi`i membolehkan untuk menggugurkannya, maka menurutku, kebolehan itu berlaku pada (kehamilan akibat) perzinaan yang terpaksa (perkosaan) di mana (si wanita) merasakan penyesalan dan kepedihan hati. Sedangkan dalam kondisi di mana (si wanita atau masyarakat) telah meremehkan harga diri dan tidak (lagi) malu melakukan hubungan seksual yang haram (zina), maka saya berpendapat bahwa aborsi (terhadap kandungan akibat zina) tersebut tidak boleh (haram), karena hal itu dapat mendorong terjadinya kerusakan (perzinaan).
Fatwa Munas MUI No.1/Munas VI/MUI/2000 tentang Aborsi.
Rapat Komis Fatwa MUI, 3 Februari 2005; 10 Rabi`ul Akhir 1426 H/19 Mei 2005 dan 12 Rabi`ul Akhir 1426 H/21 Mei 2005. Dengan memohon taufiq dan hidayah Allah SWT
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG ABORSI Pertama : Ketentuan Umum
Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati.
Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar. Kedua : Ketentuan Hukum
Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).
Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat.
Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilah yang membolehkan aborsi adalah:
Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.
Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:
Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang didalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.
Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.
Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina. Keputusan fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Agar setiap muslim yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Rabi`ul Akhir 1426 H21 Mei 2005
MAJELIS ULAMA INDONESIAKOMISI FATWA,
Ketua K.H. Ma`ruf Amin
Sekretaris Hasanudin
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 5:49 PM | 0 comments

PENDIDIKAN FORMAL PEREMPUAN DAN PEMBANGUNAN

(Sebuah tinjauan dalam perpektif gender)
Oleh: Dra. Hj. Luki Widiastuti, M.Hum.

PENDAHULUAN
Pada tanggal 1 Oktober kebijakan menaikkan harga BBM bisa dipastikan akan semakin menyengsarakan kehidupan sebagian besar rakyat yang sudah berada dalam kondisi miskin. Akibat dari kenaikan harga BBM nanti laju inflasi tinggi, kenaikan harga barang-barang di pasaran dan kenaikan biaya hidup masyarakat sehari-hari, yang pada gilirannya akan menimbulkan kesulitan ekonomi bagi kehidupan sebagian besar masyarakat serta terjadinya ledakan jumlah penduduk miskin secara berlipat ganda di negeri ini. Untuk mengatasi krisis BBM tersebut Pemerintah menganjurkan bahwa sebagai pengganti BBM hendaknya masyarakat mau memanfaatkan batubara yang persediaannya masih berlimpah di Bumi Indonesia.
Namun, sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan bahan bakar batu bara justru lebih memperparah kondisi kesehatan masyarakat. Terutama perempuan di pedesaan yang pada umumnya kondisi dan konstruksi rumah tinggal mereka pada umumnya tidak memiliki dapur dengan sanitasi yang minim dan sederhana. Lagi-lagi perempuan, perempuan, perempuan yang beresiko menanggung beban lebih berat
laporan UNDP 2004 menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human development Index (HDI) penduduk Indonesia menempati urutan ke 111 dari 175 negara, jauh dibawah Singapura (25), Brunei Darussalam (33), Thailand (76) atau Filipina (85). Demikian juga dengan Indeks daya saing Indonesia pada urutan ke 147 dari 158 negara Akibatnya tingkat kemiskinan pada tahun 1996 sampai dengan 2004 berjumlah 31,5 juta. Laporan ini semakin jelas setelah pemberitaan di media massa mengenai kasus gizi buruk yang menimpa anak-anak balita di pulau-pulau Sunda Kecil sekitar dua bulan lalu. Tidak lama setelah pemberitaan keadaan tersebut, segera ditemukan keadaan serupa di beberapa tempat, termasuk juga di Jakarta
Indikator pembangunan ekonomi dapat diketahui ketidak seimbangan distribusi pekerjaan antar jenis kelamin turut memicu posisi perempuan lebih banyak kehilangan kesempatan untuk bekerja, banyak pekerjaan yang mampu ditangani oleh perempuan didominasi oleh laki-laki. Kecenderungan itu dapat terlihat yaitu jumlah pekerja perempuan profesional dan tenaga teknis lebih kecil dibanding laki-laki. Pada gilirannya upah kerja perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki pada posisi yang sama. Pada gilirannya perempuan hampir tidak pernah mendapatkan promosi yang lebih baik dibandingkan laki-laki. Biaya pendidikan yang ada dalam keluarga lebih banyak diarahkan untuk membiayai pendidikan anak laki-laki daripada untuk anak perempuan. Pada gilirannya menurunkan tingkat kualitas hidup baik yang menyangkut kondidsi pisiknya dan psikologisnya. Melihat perbandingan yang tidak seimbang antara kuantitas sumber daya manusia dengan pekerjaan, sumberdaya yang ada menimbulkan semakin tingginya persaingan hidup antar laki-laki dan perempuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam pembangunan politik; Sekalipun sejak tahun 1998 banyak perempuan yang berminat masuk ke ranah politik tapi masih jauh sekali perempuan diberi kesempatan dibanding laki-laki. , hanya 8,8% (BPS, 2004) hampir dapat dipastikan ruang politik perempuan sangat sedikit.Pada gilirannya kebijakan-kebijakan politik masih bersifat maskulin dan sangat partiarkhis.
Permasalahan mendasar yang terjadi selama ini adalah masih adanya berbagai bentuk praktek diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konteks, sosial, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas.
Dalam era globaslisasi, budaya ”Swarga nunut, neraka katut dan konco wingking” bagi perempuan saat ini mulai memudar bahkan mulai di tinggalkan. Oleh karena itu tulisan ini mencoba mengkritisi pendidikan formal perempuan di Indonesia dan pembangunan dalam perspektif gender pemberdayaan perempuan dalam pembangunan

PEMBAHASAN
1. Landasan kebijakan pendidikan
Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Peran masyarakat khususnya perempuan dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukan komite sekolahpun belum keseluruhannya dilakukan dengan proses yang terbuka dan partisipatif.
Semenjak era reformasi 1998, persoalan gender merupakan isu penting setiap departement dalam pemerintahan termasuk departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS). Seharusnya hal ini sudah disadari oleh setiap pengambil kebijakan (pemerintah), karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 mengisyaratkan bahwa Setiap warganegara baik laki-laki maupun perempuan mendapat kesempatan setara untuk mengecap pendidikan. Selain itu basis legal lainnya ialah adanya inpres no 9 tahun 2000: keputusan untuk melakukan pengarus-utamaan gender (gender Mainstreeming)
Ditingkat Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam satu pernyataannya atau kesepakatannya menegaskan bahwa pendidikan perempuan merupakan instrumen yang paling penting jika suatu bangsa ingin mencapai tujuan meraih kualitas bangsa yang baik. Pernyataan tersebut tertuang dalam kesepakatan yang berbunyi sebagai berikut: The Beijing Declaration and The Platform for Action, 1996 (Gender Education and Development, International Centre of the ILO): “Pendidikan merupakan hak asasi manusia dan merupakan alat penting bagi pencapaian kesetaraan, perkembangan dan kedamaian--Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan memepermudah terjadinya kesetaraan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki dewasa”. Argumen lain yang dikemukakan adalah bahwa pendidikan akan mentransformasikan perempuan dari partisipan dan resipean pasif menjadi aktor sekaligus konsumen aktif dalam proses pembengunan.
Mengacu pandangan tersebut di atas dalam konteks Indonesia, menjadi sangat bermanfaat untuk menghubungkan pendidikan perempuan tidak hanya dengan pembangunan sosial-ekonomi tetapi juga dengan pembangunan politik mengingat saat ini Indonesia sedang berada pada transisi politik di mana demokrasi dan kebebasan terlihat lebih terbuka.

2. Pendidikan perempuan
Setiap negara menempatkan pendidikan sebagai sarana utama untuk memajukan kehidupan bangsa. Pendidikan diharapkan memberikan ketrampilan bagi individu agar menjadi ”sumber daya manusia yang produktif”. Secara kultural, pendidikan nasional bisa mengangkat derajat manusia masuk ke dunia modern dan melepaskan diri dari ketertinggalannya. Secara politis, pendidikan nasional menjadi dasar pembentukan kesadaran nasionalisme (berbangsa dan bernegara). Demikian pula dalam pertumbuhan ekonomi, pendidikan dapat meningkatan kesejahteraan bangsa.
Apabila dilihat dari sudut sosialisasi, pendidikan justru berfungsi lebih untuk mengajarkan peran-peran sosial untuk bernmsyarakat sebagai warga negara. Namun sayangnya peran-peran sosial tersebut diwarnai oleh ideologi tertentu yang berkaitan identitas gender. Pada gilirannya mendorong terciptanya lapangan kerja yang berdasarkan perbedaan jenis kelamin; Misalnya dalam buku-buku teks di sekolah dasar yang menggambarkan bahwa ”ibu” biasanya tingal di rumah, pergi kepasar, masak di dapur, menjahit dan lain sebagainya. Sedang ”bapak” di gambarkan bekeja di kantor, di sawah, membaca koran. Sehingga nampak adanya pembagian kerja secara seksual. Pekerjaan yang bersifat mengasuh, merawat dan melayani dianggap pekerjaan yang paling cocok untuk perempuan. Sedang pekerjaan laki-laki sebagai teknisi, buruh pabrik dll.

Beberapa perspektif perempuan tentang pendidikan
Berbicara gender mau tidak mau akan mebicarakan feminisme, oleh karena itu dalam tulisan masalah pendidikan perempuan ada empat teori besar feminisme yang berkaitan dengan pendidikan

a. Teori feminisme Liberal.
Teori ini memfokuskan diri pada pertanyaan-pertanyaan mengapa perempuan banyak mengalami kegagalan meraih pendidikan tinggi. Mengapa mereka memilih (diarahkan) ke jalur pendidikan praktis, adakah stereotip-stereotip dalam pendidikan?. Terlihat disini bahasa-feminisme lliberal berkisar pada persoalan akses ke pendidikan , peningkatan partisipasi sekolah pada anak perempuan, menyediakan program-program pelayanan bagi anak perempuan dari keluarga yang kurang atau tidak beruntung, dan menuntut kesetaraan pendidikan yang sifatnya tidak radikal maupun mengancam.

b. Teori feminisme Radikal.
Teori ini mencari persoalan ketidak adilan yang dialami perempuan, terutama penyebab ketidakadilan bagi perempuan di dalam dunia pendidikan. Kaum feminis radikal melihat penyebab ketidakadilan tersebut adalah karena sistem patriarkhal yang berlaku di dalam masyarakat setempat. Selain itu, juga melihat hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karena hal ini yang kemudian menentukan keterbelakangan perempuan di berbagai bidang.

c. Teori feminisme Marxis dan sosialis.
Bagi teori ini, ketidaksetaraan dalam pendidikan terjadi karena institusi-institusi pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih melayani kelas ekonomi atas. Pendidikan telah kehilangan makna bukan untuk mencerdaskan bangsa melainkan untuk menguntungkan kaum kapitalis yang terlibat dalam dunia pendidikan. Hubungan antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah terlihat jelas sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan berada dalam kebodohan secara terus menerus. Bahasa-bahas yang sering dipergunakan dalam teori ini yang berkaitan dengan kelas , produksi, kemiskinan dan lain-lain.

d. Teori poststrukturalis dan posmoderisme.
Teori ini pada dasarnya merupakan teori yang mengkritik dan medekonstruksi filsafat yang berpihak pada ”fundasionalisme dan absolutisme” di mana definisi pendidikan hendak membongkar semua anggapan-anggapan yang diterima begitu saja. Konstentrasi yang dilakukan oleh teori ini adalah melihat semua diskursus-diskursus yang ada pada (teks-teks) yang ada dalam pendidikan yang melakukan operasi bawah sadar sehingga terjadi penaturalan bahasa-bahasa yang bias gender. Oleh sebab itu, teori ini mengajak mereka yang berkepentingan dengan pendidikan untuk merubah kurikulum tetapi melihat bagaimana kurikulum bias gender terbentuk dan beroperasi secara luas.

3. Perempuan dan pembangunan
Dalam Charles P Kindleberger (1977.p1) menyatakan bahwa, pengembangan ekonomi secara umum dikenal meliputi peningkatan kesejahteraan material, secara khusus bagi orang dengan pendapatan yang paling rendah: pemberantasan kemiskinan, tingkat buta huruf di masyarakat, penyakit, awal kematian: perubahan komposisi produksi meliputi pergeseran mendasar pada struktur dari produk pertanian ke arah industri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah pembangunan yang dipakai dalam pengertian sehari-hari membawa konotasi: ”perubahan yang direncanakan yang dilaksanakan oleh suatu negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur”. Kesadaran akan perubahan ini pada dasarnya ditujukan untuk memberantas kemiskinan dan meningkatkan standar hidup penduduk negara-negara yang masih tertinggal. Kebijakan-kebijakan pembangunan mulai mengutamakan usaha peningkatan produksi dan modernisasi infra strutur politik dan sosial.
Untuk mencapai masyarakat yang makmur maka dapat diasumsikan bahwa strategi utama membangun suatu negara ialah dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Dalam pengetian ini pembanguanan berarti ”meningkatkan kemampuan produkrif suatu masyarakat, mengembangkan cara-cara produksi yang baru dan lebih baik yang memungkinkan terbentuknya kekayaan yang dapat di himpun dan lama-kelamaan kekayaan itu akan menetes ke bawah ”trickle down” sampai keakar padai dan seluruh masyarakat bisa menimati kekayaan tersebut. Namun kenyataannya di Indonesia saat ini justru masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Dan yang lebih banyak menanggung beban kemiskinan adalah perempuan (al masih tingginya tingkat buta aksara perempuan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kualitas hidup perempuan, ketidak-adilan yang dihadapi perempuan baik di bidang politik,ekonomi,sosial dan budaya dll).
Dalam ilmu ekonomi tokoh utama yang banyak mempengaruhi pengambil kebijakan ialah W.W. Rostow ahli sejarah yang ekonomi Amerika dalam Philip Kotler dkk. The Marketing of Nations (1997. hal 82) yang memperkenalkan istilah ”lepas Landas”. Inti teorinya ialah bahwa setiap masyarakat yang belum berkembang akan melalui 5 fase. Setiap fase ditandai beberapa ciri ekonomi dan sosial, sebagaimana dapat dilihat sebagai berikut:
Fase I Masyarakat tradisional: Ekonomi dikuasai oleh aktivitas penghidupan di mana hasil produk lebih banyak untuk konsumsi sendiri dari pada diperdagangkan. Perdagangan apapun dilaksanakan oleh barter di mana barang-barang ditukar secara langsung untuk barang-barang yang lain. Pertanian adalah produksi dan industri yang paling utama adalah penggunaan padat karya dengan modal yang terbatas. Alokasi sumber daya ditentukan dengan metoda tradisional
Fase II Langkah transisi ( prasyarat untuk tinggal landasan), pertumbuhan specialisasi yang ditingkatkan serta menghasilkan surplus untuk diperdagangkan. Timbulnya suatu infrastruktur pengangkutan untuk mendukung perdagangan. Oleh karenanya pendapatan, menjadi tabungan dan tumbuhnya usaha investasi. Perdagangan eksternal juga terjadi berkonsentrasi pada produk unggulan
Fase III Membuka peningkatan Industrialisasi, dengan merubah peran buruh dari sektor agrikultur menjadi buruh di sektor manufactur. Pertumbuhan dipusatkan dalam beberapa daerah dari negeri dan di satu atau dua industri pabrik. Tingkatan investasi menjangkau di atas 10% dari GNP. Transisi yang ekonomi diikuti oleh evolusi dari institusi sosial dan politis baru yang mendukung industrialisasi Pertumbuhan berkelanjutan memimpin investasi ke arah peningkatan pendapatan, pada gilirannya tabungan yang terus meningkat untuk membiayai investasi lebih lanjut.
Fase IV dorongan menuju kedewasaan pertumbuhan Ekonomi masuk ke dalam area yang baru. Inovasi teknologi menyediakan suatu peluang investasi. Industri semakin berkembang dan teknologi semakin canggih.
Fase 5 Konsumsi massa yang tinggi . Industri konsumen semakin meningkat. Sektor jasa/layanan] menjadi dominan, tersedianya jaminan sosial dan kesejahteraan yang cukup baik
Mengacu pada pemikiran Rostow dikritisi oleh para feminist dalam Ratna Saptari (1997, hal 118) terutama yang bekaitan dengan posisi perempuan berimplikasi antara lain:
- konsentrasi terlau besar diletakan pada GNP (gross National Product) yaitu produksi nasional kotor yang lebih mengarah pada nilai tambah produk barang dan jasa dala batas suatu negara> Dengan ukuran semacam itu tidak terlihat adanya ketimpangan-ketimpangan sosial yang ada khususnya perbandingan pendapatan antara sikaya dan simiskin. Selain itu persoalan kerja perempuan sering kali tidak menghasilkan nilai tukar, seperti kerja domestik, selain itu kerja di sektor informal terabaikan dan tidak diperhitungkan dalam program-program nasional.
- Kemajuan teknologi (pendekatan modernisasi) sering kali tidak membawa perbaikan kondisi hidup perempuan yang berada di skala bawah. Teknologi modern tidak jarang menyebabkan tergesernya perempuan dari pekerjaan-pekerjaan tradisional yang bisa dilakukan yang sebenarnya memberikan penghasilan bagi mereka. Artinya pekerjaan yang menggunakan teknologi modern di sektor industri kebanyakan menggunakan tenaga kerja laki-laki, sementara perempuan sebagai tenaga kerja/operator dianggap tenaga yang kurang trampil.

Beberapa pendekatan perempuan dan pembangunan
Studi Ramirez dkk dalam Gunardi Brata. A (2004), berangkat dari terdapatnya hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia (human development).Dengan cara lain, Hers (1998) juga menyebutkan adanya persoalan simultanitas dalam model empiris yang banyak digunakan dalam studi-studi yang mengkaji pengaruh modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi. Simultanitas ini merupakan salah satu hal yang mengemuka dalam kritik terhadap studi-studi yang mengestimasi pengaruh modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi. Adapun kedua rantai hubungan yang dimaksudkan oleh Ramirez dkk tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama adalah dari pertumbuhan ekonomi ke pembangunan manusia.
Kinerja ekonomi mempengaruhi pembangunan manusia, khususnya melalui aktivitas rumah tangga dan pemerintah, selain adanya peran civil society seperti melalui organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Alokasi antar dan dalam lembaga-lembaga tersebut dan perbedaan perilakunya dapat menjadi penyebab perbedaan kinerja pembangunan manusia sekalipun tingkat kinerja ekonominya setara.
Kecenderungan rumah tangga untuk membelanjakan pendapatan bersih mereka untuk barang-barang yang memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan manusia (seperti makanan, air, pendidikan dan kesehatan) tergantung dari sejumlah faktor seperti tingkat dan distribusi pendapatan antar rumah tangga dan juga pada siapa yang mengontrol alokasi pengeluaran dalam rumah tangga. Sudah umum diketahui bahwa penduduk miskin menghabiskan porsi pendapatannya lebih banyak ketimbang penduduk kaya untuk kebutuhan pembangunan manusia. Sementara itu, perempuan juga memiliki andil yang tidak kecil dalam mengatur pengeluaran rumah tangga. Makin tinggi pendidikan perempuan akan makin positif pula bagi pembangunan manusia.
kedua adalah dari pembangunan manusia ke pertumbuhan ekonomi.
Mengenai hubungan dari pembangunan manusia ke pertumbuhan ekonomi tersebut relatif sudah banyak diungkapkan. Tingkat pembangunan manusia yang tinggi akan mempengaruhi perekonomian melalui peningkatan kapabilitas penduduk dan konsekuensinya adalah juga pada produktifitas dan kreatifitas mereka. Pendidikan dan kesehatan penduduk sangat menentukan kemampuan untuk menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baik dalam kaitannya dengan teknologi sampai kelembagaan yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan pendidikan yang baik,
pemanfaatan teknologi ataupun inovasi teknologi menjadi mungkin untuk terjadi. Begitu pula, modal sosial akan meningkat seiring dengan tingginya pendidikan.
Saptari (1977) mengutip penyataan Moser yang menggunakan konsep Maxine Molyneux tentang perbedaan antara kebutuhan gender yang praktis dan strategis sebagai kriteria evaluasi untuk beberapa pendekatan pembangunan yang berbeda. Kebutuhan praktis gender merupakan kebutuhan yang segera meringankan beban kehidupan perempuan perempuan, tetapi tidak menyinggung ketidak setaraan (Inequality) pembagian kerja secara seksual. Sedangkan kebutuhan –kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan jangka panjang yang menghilangkan ketidak seimbangan gender di dalam dan di luar rumah tangga serta menjamin hak dan peluang perempuan untuk mengungkapkan kebutuhan mereka (seperti Undang-undang persamaan hak, persamaan upah untuk pekrjaan yang sama dan sebagainya.
pendekatan kesejahteraan (welfare approach)
Pendekatan ini didasarkan atas asumsi-asumsi yaitu (1) perempuan sebagai penerima pasif pembangunan. (2) peran ibu yang merupakan peranan yang paling penting bagi perempuan di dalam masyarakat, dan (3) mengasuh anak yang merupakan peranan perempuan yang palin efektif dalam semua aspek pembangunan ekonomi.
Proyek-proyek untuk kesejahteraan ini menitik beratkan pada pemenuhan kebutuhan fisik keluarga melalui penyediaan sandang, pangan dan papan masyarakat melaului protek pelatihan mengenai tatalaksana rumah tangga seperti PKK. Bagi para feminist proyekini lebih banya menempatkan perempuan sebagi ibu dan ibu rumah tangga (Housewife) yang cenderung menciptakan ketergantungan.
pendekatan kesamaan (Equity approach)
pendekatan ini mengakui bahwa perempuan merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan yang mempunyai sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi melaui kerja produktif dan reproduktifnya, walaupun sumbangan tersebut seringkali tidak diakui. Dengan mengakui sumbangan ekonomi perempuan , pendekatan ini melawan ketidak setaraan perempuan terhadap laki-laki. Oleh karenanya pendekatan ini langsung diarahakan pada hak-hak yuridis perempuan, termasuk hak untuk cerai, hak atas anak, hak waris, hak milik harta, hak untuk mendapatkan kredit dan hak bersuara maupun hak persamaan upah untuk pekerjaan yang sama. Merupakan hak ekonomi perempuan yang sangat penting.
Hak-hak tersebut memerlukan pembelaan politik yang tangguh, yang sering kali tidak diperoleh perempuan mengingat partai politk dan serikat buruh biasanya didominasi laki-laki sehingga hak-hak resmi perempuan sering kali diabaikan
Pendekatan anti kemiskinan (Anti-poverty approach)
Pendekatan anti kemiskinan merupakan bentuk lebih halus dari pendekatan kesamaan karena lembaga-lembaga pembangunan enggan untuk mencampuri ketimpangan hubgungan gender. Pendekatannya lebih menekankan pada upaya menurunkan ketimpangan pendapat anatar perempuan dan laki-laki. Kelompok sasaran pendekatan ini adalah para pekerja yang miskin. Sebagai jalan keluar maka pekerjaan sektor informal dianggap mampu memberikan kesempatan kerja secara mandiri. Pendekatan ini sejalan dengan strategi pembangunan ”pemerataan dengan pertumbuhan” (redistribution with growth) dan strategi ”kebutuhan dasar” (basic need).
Pendekatan anti kemiskinan untuk perempuan menitik beratkan pada peran produktif mererka, atas dasar bahwa penghapusan kemiskinan dan peningkatan keseimbangan pertumbuhan ekonomi membutuhkan peningkatan produktifitas perempuan pada rumah tangga yang berpendapatan rendah. Dan mendorong perempuan pada sektor yang berpenghasilan dalam usaha berskala kecil, sedang penghasilan berskala besar pada umumnya didominasi oleh laki-laki.
Pendekatan efisiensi (efficiency approach)
Keberadan perempuan dalam pembanguan dengan asumsi bahwa peningkatan partisipasi ekonomi perempuan di negara dunia ketiga secara otomatis berkaitan dengan peningkatan kesamaan. Perubahan ini khususnya terjadi manakala negara dalam kondisi resesi ekonomi dan mengutamakan efisiensi tenaga kerja. Pada gilirannya perempuan lah yang pertama-pertama kali mengalami pemutusan hubungan kerja, selanjutnya perempuan terdorong pada pasaran tenaga kerja yang yidak diupah atau berupah kecil dibanding laki-laki. Hal ini terjadi karena secara umum perempuan bukanl kepala keluarga. Secara bersamaan hal ini memperkuat ideologi tentang perempuan sebagai ibu dan ibu rumah tangga semakin kuat.
pendekatan pemberdayaan (Empowerment approach)
pendekatan ini berasumsi bahwa untuk memperbaiki posisi perempuan, beberapa investasi dari atas, tanpa disertai upaya untuk menigkatkan kekuasaan perempuan dalam melakukan negoisasi, tawar menawar dan untuk mengubah dirinya menjadi tidak berhasil. Pendekatan ini berpusat pada upaya penghapusan subordinasi perempuan. Pendekatan empowerment bukan berarti pendekatan untuk mengambil kekuasaan secara politis namun lebih ditekankan pada suatu uasaha untuk mengubah corak kekuasaan itu sendiri.
Mengacu pada pendekatan di atas maka Kesetaraan gender oleh Perserikatan Bangsa Bangsa disusun dalam kebijakan internasional yang ternuat dalam 8 tujuan besar Millenium Developments Goals (MDG’s) yang terdiri dari:
Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparanTarget untuk 2015: Mengurangi setengah dari penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 US$ sehari dan mengalami kelaparan.
Mencapai Pendidikan Dasar secara UniversalTarget 2015: Memastikan bahwa setiap anak laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar.
Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuanTarget 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015.
Mengurangi tingkat kematian anakTarget 2015: Mengurangi tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun hingga dua-pertiga
Meningkatkan Kesehatan IbuTarget 2015: Mengurangi rasio kematian ibu hingga 75% dalam proses melahirkan
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya
Menjamin pembangunan keberkelanjutan dan pelestarian lingkungan
Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
Tujuan Pembangunan Milenium (TPM) adalah serangkaian tujuan yang telah disepakati oleh para pemimpin dunia dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Milenium pada September 2000. Tujuan Pembangunan Milenium adalah komitmen dari komunitas internasional terhadap pengembangan visi mengenai pembangunan; yang secara kuat mempromosikan pembangunan manusia sebagai kunci untuk mencapai pengembangan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan dengan menciptakan dan mengembangkan kerjasama dan kemitraan global.
PENUTUP
Peran perempuan dalam pembangunan
Dalam pandangan Nadezh Dashedova (1994), Perempuan adalah kontributor utama pada ekonomi nasional baik melalui buruh upahan maupun tanpa upah. Pemberdayaan ekonomi perempuan, bersama-sama dengan pendidikan dan akses ke informasi akan membebaskan perempuan dari keterkungkungan rumah tangga ke pemenuhan partisipasi dalam politik oleh karenanya misi utama gerakan perempuan adalah untuk menanamkan tipe percaya diri dan keyakinan yang benar diantara perempuan serta memperkuat sikap tegas diantara mereka. Segala sesuatunya tidak ada yang datang begitu saja, ia harus diperjuangkan. Pekerjaan perempuan adalah membangun suatu masyarakat beradab sesuai dengan paradigma yang merefleksikan nilai-nilai, kekuatan-kekuatan serta aspirasi mereka, dengan demikian memperkuat kemampuan mereka untuk diperhitungkan dan berpartisipasi dalam proses politik.

Perempuan sebagai Agen Perubahan
Berdasarkan pengalaman empiris dan juga komitmen internasional yang diratifikasi Pemerintah Indonesia mulai dari Konferensi Perempuan di Beijing (1995), World Food Summit (2004), hingga Tujuan Pembangunan Milenium (2000-2015), menekankan pentingnya pengarusutamaan jender di dalam perencanaan pembangunan hingga di tingkat desa dan diharapkan dapat meningkatkan partisipasi sekaligus memberdayakan perempuan dalam pembangunan di lingkungannya, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan pula akses dan kontrol perempuan di dalam alokasi sumber daya keluarga. Meningkatkan kontrol perempuan di ruang publik maupun di dalam rumah tangganya dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan ekonomi perempuan itu. Program Perempuan Kepala Keluarga, misalnya, sudah membuktikan, pemberian kredit mikro kepada perempuan kepala keluarga meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anggota keluarga yang tinggal bersamanya (anak- anak dan orang tua) dan meningkatkan posisi sosial perempuan di komunitasnya
Pemberdayaan perempuan
Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pendidikan menurut F. Harbison dan C A Myers ada beberapa prinsip yang menjadi perhatiannya yaitu:
pengembangan sumber daya manusia meliputi banyak unsur yang saling berhubungan misalnya pendidikan formal pada semau tingkatan
investasi dalam pendidikan sangat berperan untuk pertumbuhan ekonomi, demikan juga pertumbuhan ekonomi membuat tejadi untuk bangsa untuk menanam modal dalam pengembangan bidang pendidikan
Sangat memungkinkan bagi negara-negara yang menginvestasikan secara tidak efisien dalam pengembangan sumber daya manusia. dengan begitu perubahan bidang pendidikan adalah sama halnya strategi meningkatkan investasi yang bidang pendidikan untuk mempromosikan ekonomi dan pembangunan sosial
kunci untuk membangun suatu strategi yang efektif tentang pengembangan sumber daya manusia adalah keberhasilan menyeimbangkan program pokok. Secara alami keseimbangan ini tentu saja tergantung pada tujuan dari negara yang tertentu dan tingkatan pertumbuhan ekonomi
kebanyakan anggaran belaja negara atas pendidikan teknis menjadi sia-sia kecuali jika disediakan perangsang yang cukup untuk setiap orang. Hal ini perlu masukan yang kritis pada penempatan tenaga trampil seperti misalnya spesialis pertanian, perawat . teknisi tidak tertarik
proporsi dari pendapatan nasional untuk pengembangan sumber daya manusia sangat disukai oleh semua negara-negara yang sedang bertumbuh.
alternatif kebijakan dari pengembangan sumber daya manusia merupakan bagian yang sangat diperlukan bagi rencana pembangunan ekonomi yang baik

a. Tujuan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan.

1) Meningkatkan Sumber Daya Manusia Perempuan yang mempunyai kemampuan dan kemauan guna kemandirian, dengan bakal kepribadian, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Terciptanya gerak langkah yang terpadu dan harmonis antara sektor dan sub sektor pemerintah, organisasi (kemasyarakatan dan politik), LSM, tokoh dan pemuka masyarakat dan agama dalam upaya proses pembangunan perempuan.
3) Mengoptimalkan koordinasi dan keterpaduan dalam pengelolaan pemberdayaan perempuan yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
4) Berkembangnya upaya lembaga pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat dalam pengarusutamaan gender disegala bidang kehidupan.
b. Sasaran Umum Pembangunan Pemberdayaan Perempuan.
1) Meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia Perempuan diberbagai kegiatan sektor dan sub sektor serta lembaga dan non lembaga yang mengutamakan peningkatan kemampuan dan profesionalisme / keahlian kaum perempuan.
2) Mewujudkan kepekaan, kepedulian gender dari seluruh masyarakat, penentu kebijakan, pengambil keputusan, perencana dan penegak hukum serta pembaharuan produk hukum yang bermuatan nilai sosial budaya serta keadilan yang berwawasan gender.
3) Mengarusutamakan gender melalui Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan perempuan dalam berbagai kehidupan yang merupakan salah satu upaya kongkrit dalam pencapaian penurunan angka kemiskinan.
c. Kebijakan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan
1) Mengarusutamakan gender dalam pembangunan daerah pada semua sektor melalui kelembagaan/wadah yang telah ada.
2) Memperluas kelembagaan penanganan pemberdayaan perempuan sebagai wadah jejaring (Network) untuk mendukung kemajuan dan kemandirian perempuan.
3) Meningkatkan komitmen antar lembaga pemerintah, swasta dan independen untuk pemberdayaan perempuan baik dalam hal pengembangan kelembagaan, proses perencanaan, pelaksanaan maupun pemantauan dan evaluasi.
Pemberdayaan perempuan hendaknya tidak sekadar memfasilitasi adanya peningkatan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang, namun Pemberdayaan harus pula mendorong proses yang membuat perempuan merasa bahwa hak-hak dan kepentingan-kepentingannya dijamin dan merasa mampu untuk menyuarakan tuntutan-tuntutannya, serta peningkatan akses bagi perempuan terhadap berbagai kesempatan pembuatan keputusan. Pemberdayaan juga harus menekankan langkah konkrit untuk mengubah hukum, akses pada sumber daya dan lembaga-lembaga publik dan swasta yang cenderung memperkuat subordinasi perempuan. (SELESAI)

Daftar pustaka:
Arivia Gadis. 2002. Perspektif Gender dalam Pendidikan, Mengapa Perempuan dipentingkan dalam Pendidikan?. Jurnal Perempuan no23. Jakarta. YJP
Gunadi Brata. A. 2004, Analisis Hubungan Imbal Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Daerah Tingkat II di Indonesia, Jogyakarta. Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya

Harbison. F dan Myers. Charles A. 1965 : Manpower and Education. The united States of America. Mcgraw-Hill
Kindleberger. Charles P dan Herrick Bruce. 1977. Economic Develpoment. The United States of America. Mcgraw-Hill Kogakusha Ltd
Saptari Ratna dan Holzner Brigitte, 1997. Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial. Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti
Shvedova, N. 1994. “A Woman’s Place: How the Media Works Against Women in Russia”.Surviving Together. Vol. 12, No. 2. ( di akses dari internet tgl 15 Desember 2005)
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 5:43 PM | 0 comments

Monday, January 02, 2006

U.S., Indonesian students exchange views

by Michele Steinbacher
The Pantagraph - Bloomington-Normal, Illinois
September 28, 2005

NORMAL -- Bridging the gap between Muslim and Western points of view was the goal of an international video conference that included a group of Illinois State University students.
In particular, the "America and the World Working Together" conference focused on global poverty, health and hunger issues.
Addressing several U.S. universities and one in Jakarta, Indonesia, ISU senior Dave Currier looked into the camera and shared thoughts on poverty:
"Many Americans don't really take into account what takes place in other parts of the world -- or even here -- until events like the tsunami (in December in the Indian Ocean) or here like Katrina," he said.
But conferences like Tuesday's allow for education between peoples, he said.
Currier said aid can't be the end when it comes to addressing poverty. Instead, he called for developing education and health-care systems that can sustain the aid.
The conference served to promote discussion between college students from differing world views, said Laurie Fraser, an ISU senior from Elgin who organized the event.
She is creating an ISU chapter of Americans for Informed Democracy, a group she came across while studying abroad last year in Freiburg, Germany.
Though it's not yet a registered ISU student group, she hopes to recruit others this fall.
Fraser had planned for a video conference between Iranian and U.S. students, but it was canceled Monday. The democracy group offered the health conference as an alternative, she said.
The international student group -- founded by two U.S. students studying in England on Sept. 11, 2001 -- aims to close the gap between Americans' points of view and how Americans are perceived abroad, she said.
Taking part were students from ISU, Northwestern University in Evanston, Mount Holyoke College in New York; St. Bonaventure in Indiana; Juniata College in Pennsylvania; and Old Dominion University in Virginia.
At the Jarkata campus' turn, the large video projection screen at ISU displayed a classroom on the other side of the globe. There, a dozen women in traditional white head scarves sat at rows of tables, taking turns to speak on the day's topic.
One woman shared the difficulties of obtaining adequate health care, especially in highly industrialized areas and in general following December's devastating tsunami in the region.
About five ISU students made the 8 a.m. meeting at ISU's instructional technology center.
"It's really very good for students to get to see how others in the world perceive U.S. policies," said Hassan Mohammadi, an ISU economics instructor.
Creating a venue for college students to speak directly removes some of the self interests that world media and governmental groups interject into such dialogues, he said.
"Kids talk from the bottom of their hearts," said Mohammadi.
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 6:19 PM | 0 comments

NU, Indonesian students exchange views on Muslim-U.S. relations via videophone

by Andrea Chang
Daily Northwestern
10/13/04

Students from Northwestern and the Institute of Quranic Studies in Jakarta, Indonesia, participated in a live videoconference dialogue Tuesday in an effort to promote global understanding between the United States and the Muslim world.
Sponsored by Americans for Informed Democracy --a new nonpartisan student organization dedicated to strengthening international relations and awareness -- the hour-long videoconference was part of a series of events designed to facilitate video dialogues among universities in the United States, Europe and predominantly Muslim countries throughout Asia and the Middle East.
About 25 NU students attended the dialogue, "American Power and Global Security," held in the Forum Room at the University Library at 8 p.m.
During the videoconference, American and Indonesian students often disagreed with each other, especially regarding ways to combat terrorism and unilateral actions taken by the United States.
Many Indonesian students attacked the U.S. for being an international aggressor and for imposing its own practices and principles on other countries.
"America as a world superpower acts as a police force," said one student from the Institute of Quranic Studies, an all-women's university. "They do anything they want."
When addressing the 35-member student audience in Jakarta, Weinberg senior Becky Brandman agreed that there is an imbalance of power in the world, but also noted that actions by the United States were reflective of the country trying to defend itself in response to being attacked on Sept. 11, 2001.
"George W. Bush is trying to fight a good war, which is certainly a manifestation of American power," Brandman said. "I hope in the future America can be powerful not only by itself, but with the rest of the world."
The Indonesian students also criticized the United States for allowing troops to remain in Iraq, for having no concrete evidence that there were weapons of mass destruction present in Iraq and for presenting a "distorting image of Muslims" that leads to the widespread assumption that all Muslims are terrorists.
The Indonesian students also made suggestions for how they thought the United States could improve.
"We strongly suggest to the U.S. government to not enforce democracy on other countries," one student from the Institute said. "Bringing democracy overseas will not (help) international relations. The U.S. should not interfere with other countries' affairs."
After the session Brandman said she thought the event was a success because NU students were able to speak face-to-face with women from a very different culture. But she added that students from both sides still disagreed on some points.
"I felt they didn't understand the need for American to defend itself in the face of violent threats," Brandman said.
The dialogue began with four short presentations by students from each university. One student from the Institute discussed America's poor international reputation and U.S. misconceptions about Islam.
"There is no reason for a Muslim to do harm," the student from the Institute said. "But we were attacked first. And we will defend our dignity. Let us make world peace by not making war."
Meegan Maczek, a Weinberg senior, agreed that awareness of other cultures is necessary to improve U.S. foreign relations.
"It's really important that Americans be educated about the Muslim culture," said Maczek, who discussed global security during the videoconference.
NU students communicated with students in Indonesia through cameras and microphones that allowed them to hear and see each other on video screens.
After the initial presentations, audience members from both sides asked questions about terrorism, democracy and the wars in Afghanistan and Iraq.
Technical difficulties delayed the start of the event and continued to hamper the exchange of views during the videoconference. But students said they were pleased with the experience of the dialogue as a whole.
"It's really nice to be able to do it directly despite the technical frustrations," said Sarah Bush, a Weinberg senior and campus coordinator of Americans for Informed Democracy. "We didn't always reach consensus, but I felt we reached some common ground."
Joseph Kanter, who attended the event after receiving an invitation through the history department's listserv, said during the question-and-answer portion of the dialogue that not all Americans are supportive of the U.S. government.
"Dialogue between the American and Islamic nations is one of the ways the situation is going to get better," said Kanter, a Weinberg senior. "And students and younger people are going to be the ones who are going to effect change in the future."
Reach Andrea Chang at andreachang@northwestern.edu.
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 6:14 PM | 0 comments