Search in the Quran
Search in Quran:
in
Download Islamic Softwares (FREE)
Get Free Code
Powered by www.SearchTruth.com
Search Islamic Directory
Keyword:
Free Web Counter
hit Counter Credits

    Powered by Blogger

    My Daily Thoughts

Saturday, December 31, 2005


Kunjungan Parlemen Perempuan Iran Untuk Studi Banding Ke Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta


Fatemeh Rahbar, MP (member of the Committee for Cultural Affairs Islamic Consultative Assembly) dan Dr. Laleh Eftekhari, MP. (Member & First Secretary of the committee for Cultural Affairs Islamic Consultative Assembly), Bertemu dengan Purek II IIQ (Hj. Maria Ulfah, M.Ag), Direktur Pasca Sarjana IIQ (Prof. Dr. Hj. Huzaemah T Yanggo), Hj. Nadjmatul Faizah, SH, M.Hum (PSW/Pusat Studi Wanita), dan didampingi oleh Ibu Dada Halidah, MSi (Depag RI). Jum'at, 11 November 2005.









READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 12:41 AM | 0 comments

Friday, December 30, 2005

Whose Science? Whose Knowledge Thinking from women’s Lives

Penulis Sandra Harding
Cornell University Press: Ithaca, New York
1996, 319 hlm + xii + Index
Ditinjau oleh: Nadjematul Faizah


Buku dengan judul Whose Science? Whose Knowledge, ditulis oleh Sandra Harding Ph.D. Philosophy, New York University. Seorang educator dan Professor Phylosophy of Science, Director, UCLA Center for the Study of Women dan Professor di Universitas Delaware.
Buku ini terdiri dari 3 bab yang diawali dengan kata pengantar (Preface) dari penulis sendiri dan diikuti dengan (1) Introduction yang memuat After the Science Question in Feminism. Ketiga isi bab itu pembahasannya adalah : Bab I Science yang mencakup empat judul yaitu (2) Feminism Confronts the Sciences: Reform and transformation; (3) How the Women’s Movements Benefits Science: Two Views; (4) Why “Physics” Is a Bad Model for Physics. Bab II Epistemology yang mencakup (5) What is Feminist Epistemology?; (6) “Strong Objectivity” and Socially Situated Knowledge; (7) Feminist Epistemology in and after the Enlightenment. Bab III “Others” yang mencakup (8) “…and Race”? Toward the Science Question in Global Feminisms; (9) Common Histories, Common Destinies: Science in the First and Third Worlds; (10) Thinking from the Perspective of Lesbian Lives; (11) Reinventing Ourselves as Other: More New Agents of History and Knowledge; dan kesimpulan (12) Conclusion: What Is Feminist Science?
Buku ini membahas tentang serangkaian teori bagaimana science bekerjanya, Science dan kasus selanjutnya yang menjadi dasar untuk penemuan kembali persekutuan science dengan projek terhadap kemajuan demokrasi yang ditinjau dari perspective kehidupan perempuan. Mengapa? Karena, menurut Harding bahwa sementara ilmu pengetahuan bangsa Barat secara pasti dibantu masyarakat dari beberapa bagian untuk mengembangkannya, mereka secara simultan membantu bagi yang tidak berdaya lainnya seperti orang-orang dari turunan Dunia Ketiga, perempuan dan kemiskinan, keduanya ada disini dan di seluruh dunia. Oleh karena itu, menurut Harding, kita harus belajar untuk membuat hubungan (rantai) projek daripada science lebih kuat lagi terhadap kebutuhan semua penduduk dunia, bukan hanya keinginan siapa-siapa yang telah diuntungkan secara berlebihan.
Selain itu, perspektif feminist harus terpadu dari gerakan sosial pembebasan bahkan lebih dalam lagi masuk ke projek mereka sendiri, dan jadi juga dapat lebih mampu untuk membuat persekutuan yang efektif dengan mereka. Dari Projek feminist science yang dipinjam dan kontribusi yang dibuat adalah anti-militarisme, gerakan ekologi, anti rasis dan perjuangan pascakolonialisme, dan gerakan kesehatan buruh. Harding menambahkan untuk kelompok ini harus ada cara yang lebih baik untuk menambah pengetahuan secara empiris dalam rangka untuk menjadikan ungkapan Galileo “Ilmu pengetahuan ilmiah untuk manusia (“Science for the people).
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa buku ini dibagi dalam 3 bagian yaitu: Pertama, fokus buku ini pada Science isunya pada perhatian yang khusus mengenai natural scientist dan researchers yang bekerja di kajian sosial dalam natural sciences. Selain itu, ditambah beberapa isu-isu kritis tentang science yang didesain untuk membuat diskusi nantinya pada topik-topik yang lebih dapat diakses oleh pembaca, siapa feminis baru yang mengkritik science dan epistemology. Selain itu juga, menganalisis penyadaran sumber pendekatan feminis terhadap obyektivitas yang sama sebagai proyek-proyek demokratisasi untuk bidang-bidang ini. Bagian kedua dari buku ini, “Epistemology” dimana Harding meneruskan beberapa isu-isu yang menjadi “standpoint theories” dari knowledge yang menambah diskusi tentang tradisional dan teori dari pengetahuan terbaru satu jenis teori baru yang membantah bahwa semua orang harus memulai menanyakan pertanyaan scientific dari perspective aktifitas perempuan, dalam rangka untuk mendapatkan kritikan yang lebih terhadap asumsi perspektif cara lain yang tidak ditanyakan. Kemudian Harding menantang kajian postmodernist terhadap subjek yang demikian.
Point ketiga dari buku ini porsinya menerangkan “Others” dengan menggunakan logika dan standpoint epistemology sebagai arahan untuk kita mulai berpikir dari kelompok kehidupan yang tidak menjadi sentral bahan diskusi science dan epistemology dari feminist Barat. Dengan kata lain mendorong pembaca untuk mulai berpikir tentang diri mereka sendiri, nature dan hubungan social dari pada kehidupan kelompok yang dimarginalkan dalam pemikiran Barat. Kemudian untuk dipertimbangkan kembali hubungan antara pengalaman dan pengetahuan dan pertanyaan apakah gerakan pembebasan dapat melakukan untuk mempercepat “birthing” /timbulnya agen baru dari sejarah dan pengetahuan.
Buku ditutup dengan menyimpulkan perdebatan logika yang ditransformasikan feminism dan science yang telah menjadi subjek dari bab-bab terdahulu, hal ini membuat pengertian untuk berpikir bahwa feminis science sudah kelihatan tampil berbeda.
Dari judul buku ini whose science whose knowledge ada hubungannya dengan filsafat ilmu yang menjelaskan apa itu science dan apa itu knowledge. Akan tetapi bahwa science ditinjau dari sudut pandang atau perspektif kehidupan perempuan itu yang menantang untuk dianalisis. Hal ini menimbulkan pertanyaan siapa yang punya science dan siapa yang punya knowledge? Science dan knowledge itu milik siapa? Apakah milik jenis kelamin tertentu saja? Buku ini menjelaskan pandangan science dan knowledge dari pandangan perempuan dan ditutup dengan kesimpulan yang menjadi pertanyaan What is feminist science? Ini adalah bagian dari kesimpulan buku Harding yang akan dianalisis dengan mengkaji apa yang dimaksud dengan science, knowledge dan bagaimana gerakan perempuan memanfaatkan science?

Analisis Pembahahasan:

Buku ini ditulis oleh seorang filsuf perempuan Sandra Harding merujuk kepada judul buku ini adalah titik awal pembahasan dalam Filsafat Ilmu. Adakah persamaan Filsafat dan FIlsafat Ilmu? Sama-sama mempelajari tentang manusia, dunia dan akhirat. Dengan demikian terdapat kesamaan materi antara filsafat dan filsafat ilmu.
Perbedaan Knowledge dan Science:
Filsafat Ilmu dan Filsafat Ilmu Pengetahuan atau Knowledge dan Science adakah perbedaannya? Jawabnya ada, bagaimana melihat perbedaannya? Yaitu dengan cara mencari ciri khas dari filsafat yaitu mencari kebenaran atau kepastian, dengan kata lain adalah mencari sebab musababnya atau dengan ilmu kasualitas; Mengapa begitu, sebab begini atau bahasa Latinnya Cognitio per causa.
Pengetahuan /knowledge diperoleh secara spontan berdasarkan fakta-fakta yang ada, sedangkan science atau ilmu pengetahuan ilmiah berbeda karena diperolehnya melalui pemikiran yang dasar-dasar pembenarannya empiric (apriori), teruji secara sistematis menurut kaidah-kaidah ilmiah, dapat digeneralisir, sistemik, memiliki kebulatan dan hubungan antar komponen, baik horizontal maupun vertical, besifat komparatif dan bukan spontan. Selain itu, subjek penyelenggara ilmu tidak semata-mata intuisi, tetapi bersifat intersubjektivitas yang memperlihatkan objektivitas atau tidak boleh terlibat sifat pribadi dalam penyimpulan dan pengubahan bentuk serta melibatkan manusia lain.
Oleh karena itu, syarat subjek harus mempunyai derajad kecerdasan yang mampu berpikir kritis karena memiliki pengetahuan yang luas dalam menyusun suatu pengertian ilmu. Intersubjektif dapat disebut juga sebagai objektif tidak berpihak.
Menurut Harding dalam lima tahun terakhir ini telah membanjir kritikan mengenai Western Science, teknologi, dan epistemology perdamaian dan gerakan ekologi, kaum kiri, filsuf-filsuf, aliran sejarah ilmu pengetahuan sosial, dan kritik Dunia Ketiga begitu juga dari Western Feminist. Konsekuensinya, kritikan feminist bukan suara tangis dalam hutan belantara yang terisolir tetapi dihubungkan secara tematis dan historis untuk meningkatkan analisis kritik yang ketat terhadap kehidupan mental dan hubungan social modern, androcentric, imperial, bourgeois West, termasuk Science dan termasuk gagasan knowledge. Buku ini menjelaskan tentang kritik dari feminist terhadap science, technology dan epistemology (viii-ix).
Knowledge atau suatu pengetahuan (Conny Semiawan, Th.I. Setiawan dan Yufiarti, 2005, 107) termasuk ilmu atau pengetahuan ilmiah atau Science:

Apabila pengetahuan itu dan cara memperolehnya telah memenuhi syarat-syarat. Bila syarat-syarat itu belum dipenuhi, maka suatu pengetahuan dapat digolongkan ke dalam pengetahuan lain yang bukan ilmu, walaupun juga tidak usah termasuk filsafat. Bukan berarti yang bukan pengetahuan ilmiah sebagai lebih rendah,karena berbagai syarat untuk dapat masuk sebagai kategori pengetahuan ilmiah (Science) dengan kekuatan dan sekaligus keterbatasan pengetahuan ilmiah apapun. Pada umumnya syarat-syarat yang dimaksukd adalah dasar pembenaran, sifat sistematis, dan sifat intersubjektif. Selain itu ilmu juga mempunyai sifat penting lainnya yaitu: universal, dapat dikomunikasikan (communicable), dan progresif. Bahkan dalam banyak hal, satu atau lebih sifat-sifat itu sudah dengan sendirinya terkandung di dalam suatu pengetahuan bila pengetahuan itu sudah lengkap mengandung sifat-sifat dasar pembenaran, sistematik, dan intersubjektif.



Penjelasan di atas menunjukkan adanya persyaratan, bagaimana feminisme menyikapi hal ini? Mungkinkah sekaligus kekuatan dan keterbatasan itu yang menjadi titik tolak feminisme sehingga menuntut science menurut feminisme.
Dalam Harding (hal. 1) dijelaskan bahwa tujuan kritiknya agar pembaca memberi kontribusi pengertian yang lebih realistis terhadap hubungan antara feminism, science dan kehidupan sosial. Diskusi feminis tentang science, teknologi dan teori-teori dari pengetahuan terjadi pada saat meningkatnya keraguan (skepticism) tentang kemanfaatan yang diperoleh dari science dan teknologi yang dapat mereka bawa ke masyarakat. Panggilan untuk mereformasi dan mentransformasikan semakin meningkat dari berbagai kelompok yang berbeda. Akan tetapi, diskusi juga terjadi apabila kaum intelektual mendapatkan bidang ilmiah lebih dalam dan teknologi kekuasaan juga lebih dalam pendidikan yang lebih tinggi dan dalam pemerintahan.
Kritikan feminist dalam science ada tiga pemikiran yaitu, mereka mengkritik tidak saja ”bad science” tetapi juga problematik, etika, konsekuenses, dan status apa yang disebut sebagai ”Science-as-usual”. Kritik terhadap science-as-usual adalah dibuat dalam konteks untuk menyebut science lebih baik lagi: kecendrungan yang penting dalam feminisme mengusulkan untuk lebih mengadakan secara empiris cukup dan secara teori kurang parsial dan deskripsi distorsi dan penjelasan terhadap perempuan, laki-laki, hubungan gender dan sisanya adalah sosial dan dunia alamiah, termasuk bagaimana science melakukannya, bekerjanya dan berfungsinya.
Dari segi teori yang digambarkan oleh European philosophy, kritik yang datang mencoba menggagas rekonstruksi science, apakah atau dan bukan dengan cara-cara feminis. Hal ini menunjukkan perdebatan feminis dalam ungkapan bahwa apa yang sudah pernah baik tidak akan dibuang dan menggantikannya dengan yang jelek (that there is no baby to be found in the bath water we would thrown out/thrown the baby out with the bath water- proverb). Analisa jalur tambahannya bukan hanya satu tapi banyak feminis, masing-masing menambah pengembangan dalam kedua teoretikal dan persyaratan historikal. Secara konsekuen, feminis menganalisis science, teknologi dan tidak setuju epistemologi dengan satu sama lainnya melebihi dari aspek isu-isu penting ini.(hal. 1).
Dalam bukunya Harding memberi judul Feminism and Science: A confusing moment. Mengapa mereka skeptis tentang science (skepticm about the sciences). Dalam Conny Semiawan, Th. I. Setiawan dan Yufiarti (2005, 114):
Progresif dapat diartikan adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntutan modern untuk ilmu. Sifat ini sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu, skeptis, menyeluruh (holistic, comprehensive), mendasar (radical), kritis, dan analitis, yang menyatu (seharusnya) dalam semua imajinasi dan penalaran ilmiah. Adanya cirri-ciri ini, yang mula-mula didominasi oleh sikap skeptis terhadap segala sesuatu yang dianggap benar akanmendorong seseorang untuk terus menerus mempertanyakan semua pengetahuan, kemudian cirri-ciri yanglain akan membawanya ke imajinasi dan penalaran filosofis ilmiah, yang kemudian berlanjut ke pengembangan pengetahuan, dan berujung pada penemuan pengetahuan baru. Dengan demikian berlangsunglah progresivitas pengetahuan.



Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika feminis mengalami kebingungan dan timbul skeptis tentang science tidak menjadi masalah, karena itu merupakan salah satu ciri-ciri filosofis. Semua itu dilakukan dengan spirit of innovation, melihatnya dari ciri dan cara ilmu itu yang harus kita ketahui. Karena manusia memiliki sifat keingintauan (curiosity) sehingga akan muncul pertanyaan mengapa, apanya yang begitu dan bagaimana sampai begitu? Semua ini dibahas secara ilmiah dalam filsafat ilmu yang menggunakan analisis dengan skeptis (keraguan), radikal, holistik dan kritis.
Pertanyaannya science yang mana? Menurut Harding (hal. 2) Modern Western Science dan teknologi mereka selalu dipandang dengan kedua hal yaitu antusias dan ketakutan. Di lain pihak, kita cenderung untuk bijaksana, paling tidak beberapa dari mereka bertanggung jawab untuk standard kehidupan yang tinggi, dimana banyak orang di Barat menikmatinya, khususnya jika kita berkulit putih dan menengah atau kelas atas.
Hal ini tidak terbayangkan oleh kita bahwa kita akan putus asa terhadap makanan, pakaian, pengobatan, mobil dan pesawat, computer, televisi dan telepon yang telah disediakan melalui scientific dan technological development. Di lain pihak, hanya siapa saja atau yang bertanggung jawab untuk bom atom, Agent Orange, exploitasi industri, polusi udara dan penumpahan minyak yang sangat luas, kontrasepsi yang berbahaya seperti perlindungan Dalkon, penggunaan valium tidak pada tempatnya, pencatutan kesehatan, kematian bayi yang tinggi di Amerika, Kelaparan di Etopia, dan perkembangan orang kulit hitam kelas bawah di Amerika?
Kaum Conventionalist menegaskan bahwa science memperoleh kredit penuh terhadap aspek yang baik bagi cara hidup orang Barat (Western way of life). Tetapi, bahwa yang demikian itu adalah salah menggunakannya dan apakah kesalahan penyalahgunaan secara keseluruhan oleh kaum politikus atau industrialis yang diduga mengaplikasikan informasi yang murni secara sosial adalah cara yang tidak bertanggung jawab. Dalam Bronowsky (1973, hal. 259) dijelaskan apa yang dimaksud dengan social responsibility sebelum revolusi industri para ilmuwan harus menyatakan yang benar (to tell the truth) Sedangkan dalam revolusi industri social responsibility yang menunjukkan bahwa ada dampak pada kehidupan masyarakat yang membuat manusia menjadi materialisme.
Penegasan terhadap pemisahan antara permintaan pekerjaan yang murni scientific, dan pekerjaan teknologi, dan science yang diaplikasikan telah lama dikenal sebagai strategi yang penting dalam usaha elit Barat. Untuk menghindari pertanggungjawaban terhadap yang asli dan konsekuensi dari science dan teknologi atau untuk kepentingan, keinginan, dan nilai-nilai yang mereka promosikan. Dari perspektif sosial, hal ini sangat menarik sebenarnya untuk menghormati science masa kini sebagai dasar masalah sosial.
Dalam buku ini Harding menjelaskan bahwa feminis menganalisis apa yang disuarakan oleh gerakan ecology dan environment, kaum kiri, gerakan buruh, dan anti rasis, gerakan hak-hak binatang, gerakan anti imperialisme keduanya dalam dunia Barat dan Dunia Ketiga. Walaupun postmodernist
[1] yang mengkritik fondasi dari filosofis rasionalistas Barat seharusnya dianggap sebagai bagian dari pengetahuan counterculture. Maksudnya adalah pandangan ilmu dunia Barat atau cara berpikirnya. The indigeneous peoples dalam dunia modern Barat dimana mereka berada di rumah masyarakat Barat memiliki pola kepercayaan dan kultur yang berbeda dimana scientific rationality memainkan peran sentralnya. Orang-orang asli (natives) untuk mengakui seperti yang lainnya mendapatkan masalah bahwa mereka memamerkan pola dan kepercayaan yang secara kultur berbeda. Seperti menemukan bahwa orang berbeda bicara tentang perbedaan gender.
Dari sudut pandang Antropologi, keyakinan dalam scientific rationality paling tidak bagian dari tanggung jawab bagi banyak orang Barat. Kepercayaan dan perilaku yang menunjukkan kebanyakan tidak rasional terhadap pola kehidupan orang dan proyeknya tidak mudah cocok dengan yang hidup dalam dunia modern Barat. Dari perspective kehidupan perempuan, sering scientific rationality tampil tidak rasional seperti yang dikutip dalam Lubis (2004, hal. 13) dalam footnote postmodernitas.
Kenaikan status intelektual dalam science dan teknologi. Peserta dalam counterculture science bertambah, terjadinya hanya jika prestise dari intelektual science dan teknologi pendidikan dan pemerintahan meningkat lebih tinggi. Ilmuwan telah memegang kehormatan dalam hal ini sejak sputnik, tentu saja, bahkan sejak Newton tapi banjir industri dan dana federal yang disalurkan kedalam ilmu dan proyek teknologi universitas dalam hari-hari ini sesungguhnya mengherankan. Hal ini sudah lama sejak penelitian ilmiah yang dianggap kebermaknaannya yang disosialisasikan dalam kehidupan nyata sebagai tujuan negara dan industri jika itu pernah dilakukan. Penelitian ilmiah adalah bagian penting dari dasar ekonomi masyarakat modern Barat.
Ilmu dari counterculture paling tidak sebagai permulaaan dari kemungkinan penilaian realistis kedepan untuk Barat, penilaian terhadap kekurangan dalam fundamentalisme intelektual.
Kebutuhan terhadap ilmu baru (The need for New Sciences). Agenda Feminis yang dimiliki adalah termasuk menurunkan ilmu baru. Perempuan membutuhkan science dan teknologi yang buat perempuan, dan perempuan yang berada pada semua kelas atau golongan, race, dan kultur. Feminist termasuk male dan female ingin menutup kesenjangan gender dalam melek scientific dan teknologi untuk menciptakan cara berpikir dan belajar dari teknik yang ada dan kemampuan yang membolehkan perempuan untuk mendapatkan lebih pengawasan dari kondisi kehidupan mereka.
Ilmu-ilmu yang demikian harus dan dapat bermanfaat bagi laki-laki juga, khususnya yang dimarginalkan oleh rasis, imperialisme dan eksploitasi kelas. Ilmu baru bukan hanya untuk perempuan, tapi hal ini adalah waktu untuk bertanya seperti apa ilmu yang kelihatannya untuk perempuan laki-laki (‘female men”), mereka semua, dan yang diutamakan bukan orang kulit putih, bangsa Barat, dan secara ekonomi menguntungkan laki laki “male men” siapa yang mendapatkan manfaat dari ilmu-ilmu yang cenderung mengalir tidak bersifat sepadan. Lebih jauh lagi, ini adalah waktu untuk menguji secara kritis terhadap konflik kepentingan terhadap perempuan dalam ilmu. Dalam kelas oposisi dan rasis kepentingan perempuan yang tidak homogen yang mungkin dimiliki.
Feminist menegaskan agar pertanyaan diajukan secara sifat dasar dari hubungan sosial, dan berbeda-beda ilmu dari pada prefeminist pernah menayakan. Apakah itu conventional atau counterculture. Bagaimana perempuan dapat me-managed kehidupan mereka dalam konteks science dan teknologi yang didesain dan diarahkan oleh institusi yang berkuasa untuk menunjukkan bahwa mempunyai sedikit kepentingan dalam mengkreasikan manfaat hubungan terhadap siapa saja tetapi bagi mereka yang berada dalam kelompok yang kuat?

Bagaimana gerakan perempuan memanfaatkan ilmu? (How the Women’s movement benefit science?):
Metodologi dan epistemology dari modern science mengasumsikan bahwa manusia sebagai yang mengetahui (knower) adalah dapat dipertukarkan. Harding mengutip apa yang dikatakan Galileo: “Anyone can see through my telescope” kemudian dia menjadi anggota dari gerakan pembaharuan ilmu (New Science Movement) yang tumbuh dengan subur di Inggris dalam abad ke tujuhbelas, yang menginginkan mengambil alih monopoli dari kaum Aristokrasi, the humanists, dan hak kependetaan terhadap Negara, apakah dengan bukti peraturan yang baik dan dasar penyebab kecendrungan terhadap dunia alamiah. Ungkapan “Science for the people” dia (Galileo) proklamirkan, yang diambil lagi dalam tahun 1960an yang berimplikasi bahwa peserta demokrasi dapat mendahului science.
Dari perspektif kelompok masyarakat yang tidak termasuk dan kelompok yang dipinggirkan (marginalizes), saat ini tuntutan konvensional bahwa semua knowers harus dapat dipertukarkan dapat terlihat memiliki konsekuensi anti demokrasi tertentu. Jika semua yang mengetahui dapat dipertukarkan, lalu affirmative action dalam science hanya agenda moral dan politik. Hal ini tidak dapat menjadi konsekuensis positif untuk isi (content) atau logika dari natural science; pekerjaan ilmiah laki dan perempuan, kaum hitam dan putih, Nazi dan Ku Klux Klanners secara sama akan diawasi dan didisiplinkan oleh metode ilmiah. Apabila semua knowers dalam prinsip yang dapat dipertukarkan, lalu kaum putih, bangsa Barat, secara ekonomis diistimewakan, laki-laki heterosexual dapat menghasilkan knowledge sekurangnya dapat sebaik orang lain. Mereka bicara sebagai sifat dasarnya sendiri dan bukan sebagai kritik yang mencurigakan diluar asumsi dasar sejarah yang khusus, bagaimana manusia harus berinteraksi dengan alam, atau hubungan sosial manusia yang pengetahuan empiris sebagai sumbernya. Jadi, affirmative action
[2], dan hak-hak sipil dan gerakan perempuan yang telah diperjuangkan secara gagah berani untuk membangun dan menjaga agenda affirmative action dalam universitas dan tempat bekerja, kelihatannya tidak ada relevansi terhadap gambar yang diproduksi dunia oleh ilmu pengetahuan (science) atau terhadap teori-teori dari pengetahuan (theories of knowledge).
Orang-orang yang masuk ke dalam sciences bukan sebagai pikiran individu yang ingin tahu tetapi sebagai anggota kelompok dengan agenda politik (apakah atau bukan individu sebagai anggota kelompok seperti “women” dan “minorities” terhadap agenda ini adalah mereka sendiri yang telah memasukkannya) kelihatan lebih untuk membawa masuk kedalam pekerjaan distorsi nilai sosial atau logika yang berlawanan asas (paradoxical) giliran knowers yang dapat dipertukarkan
The “feminization of science” ditentang oleh ilmuwan abad ke sembilanbelas ketika perempuan pertama kali memasuki golongan ini. Pembahasan dalam bab ini menunjukkan hasil yang positif bahwa agenda affirmative action dan konsekuensis terhadap gerakan hak-hak sipil perempuan yang secara umum telah lebih dapat menerima science dan untuk pencarian knowledge.
The Critique of “Bad Science”:
Peneliti feminis dalam bidang biologi dan social science telah memperlihatkan secara detail dan meyakinkan hasil penelitian sexist androcentric
[3] yang tidak cukup secara hati-hati mengikuti prinsip yang dimengerti dari metode dan teori. Dasar generalisasi tentang manusia hanya pada data tentang metode peraturan yang jelas tentang pelanggaran laki-laki dan teori. Jatuh pada pertanyaan, mengapa jawaban perempuan terhadap dilema moral bukan desain kategori yang cocok untuk menerima jawaban laki-laki harus sejak jauh dipandang sebagai sesuatu yang tidak beralasan. Desain penelitian yang memiliki legitimasi hanya wawancara laki-laki tentang apakah salah satu laki-laki atau perempuan secara normal dalam fungsi sistem reproduksi yang belum matang atau prinsip dari biologi yang kekurangan dasar tentang cara hama penyakit, tidak disinggung secara pengertian.
Apabila kritik diakhiri argumen dengan serangan yang demikian pada bad science (kebanyakan tidak), mereka harus mencoba untuk menjaga prinsip dari penelitian yang baik dan penjelasan yang logis (pembenaran logis dalam persyaratan filsuf) secara luas dimengerti hari ini secara alamiah dan social science. Pengertian ini telah berkembang pada waktu pertama ketika natural science menjadi positivist
[4]. Akan tetapi science lebih tua dari era positivist. Hanya pada abad ketujuhbelas belakangan yang pertama dikatakan bahwa kebermanfaatan positive science dibatasi dalam hal metode, jadi membuat tidak penting bagi ilmuwan dan lembaga pengetahuan memperhatikan dengan lahirnya sosial, politik, ekonomi asal, konsekuen, atau merupakan nilai dari pengetahuan.
Pengertian kritik bad science dari feminisme dalam buku yang ditulis oleh Harding ini menunjukkan bahwa science yang memakai ukuran positivisme. Jadi bad science adalah yang mendukung tujuan dari objektivitas bebas nilai (netral) dan untuk semua penyelidikan ilmiah yang sifatnya tidak memihak. Mereka mengasumsikan bahwa ada tempat yang menguntungkan Archimedean (or median adj pertaining to Archimedes, a celebrated Greek mathematician, Chamber paperback dictionary) dari hubungan alamiah dunia sosial dapat dilihat dari perspective mereka.
Bronoswsky (1973 hal. 74) dalam The Harvest of the Seasons menyinggung masalah Archimedes yang menjelaskan teori tentang pengungkit tanah (theory of the lever to the Greek) . Hal ini diilhami oleh pernyataan orang dari Timur Tengah ribuan tahun sebelumnya yang mengatakan “berikan saya sebuah titik tumpu dan saya akan memberi makan pada tanah”. (“Give me a lever and I will feed the earth”). Dapat juga disimpulkan sebagai median adalah penengah atau berada ditengah-tengah.
Pendapat terbagi tentang apakah satu harus mendiskusikan sisa bekas positivisme dibawah nama tersebut. Beberapa ilmuwan hukum alam, banyak ilmuwan sosial, tapi kebanyakan tidak ada filsuf ilmu yang secara bahagia menjelaskan filosofi mereka terhadap ilmu pengetahuan ilmiah sebagai positivist. (hal. 57).
Dalam teori conventional, subjek pengetahuan, ilmuwan, yang mengetahui (the knower) selalu individual; yang mengetahui tidak bisa kelompok sebagai kelas sosial atau gender. Individual ini adalah abstrak “it” tidak dapat memiliki sejarah identitas sosial secara khusus. Pengarang (penulis) dari hasil penelitian ilmiah dianggap secara sosial tidak bernama (anonymous). Hal ini tidak menjadikannya berbeda terhadap “goodness” dari hasil penelitian apakah penelitinya orang Cina atau Inggris, Afrika Amerika, perempuan atau laki-laki.
Metode ilmiah dianggap menjadi cukup berkuasa untuk menghilangkan bias sosial apa saja yang mungkin menemukan jalan mereka dari situasi sosial untuk masuk ke hipotesis ilmuwan, konsep-konsep, desain penelitian, pengumpulan bukti, atau interpretasi dari hasil penelitian. Pembelaan yang demikian ini jarang sekali diakui, teori dari knowledge kenyataannya adalah bagian dari pandangan dunia yang termasuk sebagai unsur pusat politik liberal dan teori moral. Pengamatan dari kelompok Archimedian bahwa “good science” adalah penyelenggara (administrator) yang tidak berpihak terhadap teori politik liberal dan tidak berkepentingan pada moral filsuf the “good man” terhadap etika liberal. Harding menyebutnya “feminist empiricism” dari bentuk feminis terhadap teori ini sebagai yang diaplikasikan ke science dan prosedurnya untuk menghasilkan knowledge.

What Is Feminist Science:
Dalam suatu bentuk atau lainnya dan dengan berbagai pertimbangan di benak, pertanyaannya adalah akan adakah sains feminis (“can there be feminist science”?) sebenarnya telah ditingkatkan melalui setiap orang yang berpartisipasi atau renungan diskusi feminis dalam science. Pembahasan sebelumnya ada respon negatif, beralasan (reasonable)) atau hanya ada respon positif yang terbatas dalam pertimbangan dan perdebatan yang membuat beralasan untuk berpikir bahwa sudah ada (already are) sains feminis yang spesifik (specifically feminist sciences) yang bermanfaat bagi keduanya yaitu feminisme dan sains untuk terus mengembangkan diri mereka.
Untuk menjawab pertanyaan what is feminist science adalah beragam dan berbeda-beda. Interpretasi terhadap feminis, feminin atau female sains menjadi pembahasan yang kritis terhadap pengaruh male biologi. Para pemikir feminis yang cenderung dan telah mempertimbangkan dengan hati-hati kemungkinan penolakan feminis sains terhadap dominasi kultur untuk menurunkan nilai dan mengabaikan perbedaan pengetahuan dan kemampuan perempuan untuk membawa ke kehidupan sosial masyarakat termasuk sains. Jadi, harus dievaluasi kembali aktifitas yang dilakukan oleh perempuan, tentang kemampuan dan pengembangan talenta (talents) dalam kinerja aktifitas tersebut, apakah yang dapat dipelajari yang dimulai dari pemikiran aspek penting kehidupan perempuan dalam setiap bidang disiplin ilmu. Karena, sains dan feminity telah di bangun lagi dan lagi dalam posisi masing-masing, dalam bidang politik yang sangat sama. Hal ini menggoda di coba untuk mengacaukan pola ini dengan menolak, atau mencoba menjembatani kesenjangan antara kedua ini. Tetapi, banyak feminis yang mengkritik beberapa aspek dari feminitas dan maskulinitas, sebab keduanya adalah gender yang secara sosial dibangun dalam desain hubungan gender dan dipertahankan oleh institusi yang dominan. Perempuan secara sistematis tidak diikutsertakan dalam posisi kepemimpinan dalam institusi ini dan jadi mereka harus menanggung dari desain gender. Hasilnya, kebanyakan pemikir feminis sangat berkeberatan untuk mengindentifikasikan sains feminis dengan feminine science. Untuk kembali ke pertanyaan: satu cara yang berguna terhadap perbedaan konsep atas keberadaan respon feminis terhadap kemungkinan sains feminis yang dibedakan dalam tiga golongan pemikir ialah yang memberikan jawaban negatif atau hanya jawaban positif terbatas terhadap pertanyaan dan golongan keempat yang terdiri dari siapa yang menjawab secara positif tapi pertimbangannya hanya mungkin dengan sosial sains dan biologi
Harding menjelaskan bahwa perdebatan dan tuntutan yang mengatakan bahwa sains feminis telah hadir ditengah-tengah kita dan sains yang paralel terhadap gagasan yang timbul dari gerakan emansipasi sains dan dalam kajian sosial sains yang baru. Sebab, keutamaan dari feminis sains yang luas dalam pandangan saling berpotongan terhadap perubahan bentuk logika sains dan hal-hal yang telah dijelajahi feminisme dalam pembahasan bab-bab terdahulu.
Logika dan metode feminisme ini yang anti positivisme. Selain itu feminis mempersoalkan masalah praktik dan institusi atau lembaga termasuk Negara. Dikotominya antara bad science dan good science yang memarginalkan kesempatan pertama bagi perempuan yang memiliki kemampuan di dalam bidangnya. Dimarginalkan, sehingga ini merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan dalam bidang kesehatan dan perilaku. Realitas ini berbahaya bagi good science jika perempuan tidak memainkan perannya dalam perubahan politik lebih dulu terhadap pengetahuan.
Menurut saya mengapa feminis menuntut sains feminis karena pertama, social responsibility dari pengetahuan dan teknologi yang berdampak negatif pada kehidupan perempuan. Kedua, aliran positivis yang mengatakan bebas nilai dan obyektifitas. Feminis menuntut bahwa pengetahuan itu juga harus diperoleh dari pengalaman perempuan yang merupakan pertimbangan dalam menetapkan suatu teori pengetahuan. Apa yang dikatakan bebas nilai oleh kaum positivis itu menurut feminis adalah androsentris. Padahal seperti pengetahuan biologi adalah menyangkut masalah perempuan tidak berdiri sendiri. Jadi, apakah standpoint feminis dan epistemology feminis itu? Sehingga dapat mengatakan sains feminis.

Epistemology and Feminist Standpoint Theories:
Epistemologi:
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian serta secara umum hal dapat diandalkannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan (“Epistemology, or theory of knowledge is that branch of philosophy which is concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and in the general reliability of claims to knowledge”) (D.W. Hamlyn, “History of Epistemology” dalam Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, 1967. vol. 3, hal. 8-9) .

Epistemology (from Greek episteme, “knowledge”, and logos “explanation”) the study of the nature of knowledge and justification: specifically, the study of (a) defining features, (b) the substantive conditions and (c) the limits of knowledge and justification. The latter three categories are represented by traditional philosophical controversy over the analysis of knowledge and justification, the sources of knowledge and justification (e.g. rationalism versus empiricism), and the viability of skepticism about knowledge and justification. (The Cabridge Dictionary of Philosophy, 1996)

Dalam Filsafat Ilmu dijelaskan bahwa Filsafat Ilmu mempelajari ilmu pengetahuan dan posisi ilmu pengetahuan yang dapat kita lihat dari epistemology (hakikat objek yang dikaji), ontology (hakikat substansi) dan axiology (hasil, nilai manfaat). Filsafat Ilmu bicara tentang kenyataan atau realitas ilmu pengetahuan. Epistemologi bisa juga disebut standpoint kita dalam memandang suatu pengetahuan dimana standpoint kita termasuk kultur dan ideology yang kita miliki. Persoalan kultur dapat dilihat dari dimensi “Macro culture, Messo culture dan Micro culture”. Macro culture dilihat dari system global dimana nilai-nilai yang dianut sebagai warga dunia, Messo culture merupakan kultur yang dianut oleh suatu bangsa (mainstream culture) dan micro culture merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh kelompok masyarakat dalam suatu bangsa.
Dalam pendekatan epistemologis, secara spesifik mengkaji hakikat realitas ilmu pengetahuan dan hubungannya dengan keberadaan manusia. Webster mengungkapkan bahwa “Epistemology is the nature, method and limits of knowledge”. Cara manusia menangkap realitas tergantung sentuhan cultural yang diterimanya dan kodrat yang dibawa sejak lahir. Cara manusia belajar sampai mencapai kedewasaan dan memperoleh modal yang cukup untuk kehidupan, senantiasa diwarnai oleh kultur yang hidup di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kultur Barat dan Timur akan menghasilkan perbedaan, cara masyarakatnya menangkap realitas. Kultur Barat lebih mengedepankan akal budi (ratio), kemampuan abstraksi dan keilmuan, sementara kultur Timur lebih berorientasi holistik dari pada rasio dalam kehidupan sosial ekonomi.
Dengan epistemology, kompleksitas realitas dari ilmu pengetahuan akan semakin terungkap, karena spesialisasi yang dimiliki manusia kadang kala bersifat tidak sesuai (incompatible) dan tidak sepadan (incommersurrable) dengan kebutuhan kultural manusia. Untuk itu diperlukan pertimbangan epistemologi secara kultural dan hal ini merupakan tanggung jawab ilmu untuk mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan main (rambu-rambu), sehingga manusia menemukan jati dirinya, yang sesuai dengan aturan main/prinsip-prinsip kultural yang dianut, yang pada gilirannya akan mewarnai visi hidup manusia.
Konklusinya filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat ilmu pengetahuan, objek apa yang telah ditelaah dan hubungannya dengan kemampuan manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir, merasa dan mengindera lingkungannya, bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan untuk apa pengetahuan itu digunakan.
Feminist Epistemology:
Harding (hal. 106) menyatakan bahwa ada tiga kecenderungan yang telah memunculkan generasi baru terhadap teori pengetahuan yaitu feminist empiricism, feminist standpoint theory dan feminist postmodernism. Akan tetapi Harding dalam bukunya ini hanya fokus pada dua hal feminist empiricism dan feminist standpoint. Dalam halaman yang sama (106-107) Harding juga mengutip pengertian epistemology menurut Encyclopedia of Philosophy di atas (hal. 18).Bagi banyak pembaca gagasan dari Feminist epistemology dapat kelihatan kontradiksi dalam terminologi (Feminist versus Convetional Epistemology). Bisakah terminologi epistemology yang benar-benar sama diaplikasikan terhadap pemikiran feminis dan cara-cara berpikir epistemology yang sudah standar didominasi Filsuf Amerika dan Inggris dalam dekade terakhir ini? Kemudian, Harding mengutip ekspresi yang mewakili pandangan dari Anglo-American:
“Epistemology, or theory of knowledge is that branch of philosophy which is concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and in the general reliability of claims to knowledge” (D.W. Hamlyn, “History of Epistemology” dalam Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, 1967. vol. 3)

Epistemologi berbeda dari psikologi yang tidak mempertimbangkan mengapa orang mempunyai kepercayaan yang merkea lakukan atau dengan cara yang bagaimana membuat mereka berpegang pada kepercayaannya. Dalam prinsip psikologi dijelaskan mengapa manusia menganut dan menjalankan kepercayaannya, tetapi kompetensi mereka tidak begitu penting untuk mengatakan bahwa apakah kepercayan ini baik kedengarannya. Jawaban terhadap pertanyaan ini harus dicari melalui orang-orang yang akhli dicabang pengetahuan ini dimana mereka mengambil kepercayaan ini. Akhli matematika dapat memberikan keabsahan teori Pythagoras, ahli Fisika dapat memberikan teori yang dipercayainya, prinsip yang tak dapat ditetapkan dan orang yang biasa tapi mampu bersaksi dapat menyampaikan apa yang sebagai saksi dipercaya pada waktu kejadian kecelakaan. Secara normal jika apa yang diyakini betul dan cukup teori diijinkan untuk mengklaim bahwa itu knowledge dan apakah itu secara khusus benar dapat dikatakan pada yang mengenal yang ditentukan oleh referensi teori yang pantas terhadap bidang tersebut dari mana kebenaran itu diambil.
Epistemologi, bagaimanapun, pertimbangannya adalah bukan apakah atau bagaimana kita dapat mengatakan untuk mengetahui beberapa kebenaran khusus tapi dengan apakah kita dapat menuntut kebenaran knowledge dari beberapa seluruh kelas kebenaran, atau dalam hal ini apakah mungkin semua pengetahuan (knowledge). Jadi pertanyaan yang ditanyakan ini secara umum bahwa dalam pertanyaan yang ditanyakan bukan beberapa satu cabang pengetahuan (knowledge).
Dalam pembahasan epistemology ini ada tension jadi harus dapat memilah apa yang dituntut feminis epistemology dan apa yang tidak dituntutnya. Dapatkah dibedakan feminist epistemology mendapatkan tempat dalam definisi tradisional dalam bidang dan masalahnya? Masalahnya jika ditemukan suatu bukti tidak controversial ketika ditampilkan untuk mendukung tuntutan dari nonfeminis yang ditampilkan untuk mendukung tuntutan feminis, hasilnya yang bukan controversial menjadi controversial. Jadi dalam kritik dikatakan tapi apakah ini semua fakta? Akhirnya perempuan dikatakan inferior dan feminism is politics. Bagaimana dapat dikatakan perempuan dan poltik menghasilkan fakta yang siapa saja akan mendapat kehormatan untuk menentang yang telah dihasilkan terhadap bukan orang tertentu, objektif, tidak memihak, bebas nilai fakta terhadap alam dan sosial sains.
Menurut Gadis Arivia (2003, hal. 253): Sudah sejak lama epistemology feminis tidak dianggap serius dan cenderung dianggap mengada-ada. Tidak semua menerima definisi epistemologis feminis, yakni “cara perempuan berpengetahuan”, ”pengalaman perempuan” atau “pengetahuan perempuan”. Posisi para filsuf feminis adalah bahwa mereka skeptis tentang pengetahuan yang universal dan obyektif. Bagi mereka pendapat ini tidak menghiraukan adanya konteks sosial dalam pengetahuan dan intervensi status subjek dalam berpengetahuan.
Menurut Harding yang dikutip Ollenburger (1996, hal. 77) adalah menunjukkan pada teori pengetahuan. Epistemologi menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang bisa menjadi ‘yang mengetahui” (the knowers); tes-tes keyakinan apakah yang harus dilewati agar disahkan sebagai pengetahuan; hal-hal apakah yang harus dikenali…
Feminis Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan, yang menjawab pertanyaan tentang siapa yang bisa menjadi “yang tahu”. Haruskah pengalaman dan pengamatan kaum laki-laki saja yang bisa disahkan menjadi pengetahuan? Para feminis berpendapat bahwa epistemologi positivisme secara sistematis telah menghalangi kemungkinan bahwa wanita bisa menjadi ”yang tahu”. Para feminis telah mengajukan epistemologi alternatif yang mensahkan perempuan sebagai ’yang tahu’. Sehingga pengalaman dan pengamatan perempuan bisa disahkan sebagai pengetahuan.
Sandra Harding mengusulkan untuk membentuk suatu epistemologi feminis yang memiliki lima kecendrungan:
1. penelitian yang adil di dorong oleh politik reformis liberal yang menolak diskriminasi pada perempuan dalam ilmu pengetahuan
2. penelitian terhadap penggunaan dan penyalahgunaan ilmu-ilmu pengetahuan sosial kemudian biologi, teknologi untuk meneliti proyek-proyek yang berbau sexist, races dan classes.
3. studi terhadap konstruksi sosial untuk mengesahkan kemungkinan adanya ilmu pengetahuan murni (tidak berbau sexist, races dan classes)
4. studi dekonstruksi (poststructuralist) perlunya memahami ini untuk menganalisa ilmu pengetahuan sebagai teks yang tujuannya menemukan kebenaran yang berkaitan dengan bahasa, struktur retoris (retorika) bahasa ilmiah.
5. studi epistemologi untuk mengeksplorasi dasar-dasar pengetahuan dalam relasi sosial dan struktur kekuasaan (Achyar Yusuf Lubis, 2000 tidak diterbitkan)

Oleh karena itu, menurut Harding bahwa ilmu pengetahuan modern Barat itu bersifat bourgeois dan androcentric. Ia kemudian menegaskan bahwa keduanya itu tidak dapat dijadikan alat emansipatoris (suatu sikap yang bisa mengangkat persoalan yang marginal ke pusat). Solusinya adalah harus menciptakan epistemologi sendiri untuk bisa dijadikan emansipasi ketidakadilan terhadap perempuan.

Feminist Empiricism:
Feminis empirisme diturunkan melalui penelitian feminis dalam biologi dan sosial sains. Feminis empirisme adalah satu strategi epistemologi untuk pembenaran tantangan terhadap asumsi tradisional. Dalam laporan penelitian secara teratur ditemukan perdebatan bahwa sexist dan tuntutan androsentris yang mana objek penelitian hanya menghasilkan: ”bad science” hal ini disebabkan sosial bias mereka, oleh purbasangka. Purbasangka-pubasangka ini diciptakan melalui sikap permusuhan dan melalui keyakinan yang salah disebabkan oleh ketahayulan, ketidaktahuan, atau pendidikan yang salah tetapi sering telah menjadi berurat berakar dalam adat (dan kadang dalam hukum). Bias-bias yang demikian pada level secara khusus masuk ke dalam proses penelitian ketika masalah scientific diidentifikasikan dan didefinisikan, tetapi mereka dapat muncul dalam rencana penelitian dan dalam pengumpulan dan penafsiran data. Feminist empiricist berargumentasi bahwa bias-bias sexist dan androcentric dapat dihapuskan melalui kesetiaan yang lebih keras terhadap norma metodologi kebutuhan sains: hanya “bad science” atau “bad sociology” yang bertanggungjawab dalam menyimpan hasil penelitian.
Selanjutnya, feminist empiricist, bahwa sering menunjukkan gerakan perempuan menciptakan kesempatan lebih untuk perempuan dan feminist (male dan female) untuk menjadi peneliti-peneliti, dan mereka kelihatan lebih daripada sexist laki untuk memperhatikan bias-bias androsentris.
Isu empirisme dalam pembahasan ini adalah philosophy of science yang sekurang-kurangnya kembali ke Aristoteles tapi bergabung dengan Locke, Berkeley, Hume dan lainnya Filsuf Inggris dari abad ke tujuhbelas dan delapan belas. Dalam pengertian ini, pengalaman pembelaan empirisme lebih disukai sebagai gagasan sumber pengetahuan dan ini dibandingkan dengan rasionalisme.
Ilmuwan yang sejaman sedikit atau filsuf menginginkan untuk memberikan peranan yang kecil sebagai alasan definisi emprisme yang tidak langsung pada hari ini tidak ada empiricist yang sejenis itu banyak yang ilmuwan sosial dan alam menegaskan pada sisa atau bekas dari filsuf empiris sebagai keunggulan pengamatan dan data murni (“pure data”) dan bahwa untuk kepentingan mengetahui sebab satu metode telah disertifikatkan melalui garis silsilah langsung kembali ke Empiris Inggris. Jadi sementara setiap orang berpikir bahwa penelitian empiris adalah penting untuk mendapatkan bagaimana kehidupan sosial dan alam diorganisir, meskipun satu dapat mengkritik empirisme (and feminst empiricism) sebagai theory tentang bagaimana melakukan penelitian dan untuk pembenaran hasil penelitian tersebut.
Feminist Standpoint theories:
Pada awal resume di atas telah disinggung feminist standpoint dan epistemology. Untuk menjawab bagaimana pembenaran hasil penelitian feminist yang dilengkapi oleh feminist standpoint theories. Mereka memperdebatkan bahwa tidak hanya sekedar pendapat tapi juga kepercayaan budaya terbaik – apa yang disebut knowledge yang disituasikan secara sosial. Perbedaan ciri-ciri dari situasi perempuan dalam jenjang gender (gender-stratified) masyarakat yang digunakan sebagai sumber dalam penelitian baru feminis. Dalam perbedaan sumber-sumber yang tidak digunakan oleh peneliti conventional, yang memungkinkan feminisme menggambarkan hasil empiris secara lebih tepat dan secara teori lebih kaya penjelasan dari pada penelitian conventional. Jadi standpoint theories menawarkan penjelasan dari perbedaan terhadap feminis empiris bagaimana penelitian diarahkan melalui nilai sosial dan agenda politik meskipun dapat menghasilkan secara empiris dan secara teori menghasilkan hasil yang lebih disukai.
Who are these “standpoint theories”? Secara khusus kontribusi dibuat oleh tiga feminist yaitu: Dorothy Smith, Nancy Hartsock dan Hilary Rose. Dalam tambahan pengembangan tema standpoint ada nama-nama Jane Flax’s; Alison Jaggar yang menggunakan standpoint dalam Feminist Politics and Human Nature. Dan Harding sendiri secara ringkas mengembangkan satu versi teori yang kemudian didiskusikan dalam jumlah kemunculan mereka dalam The Science Question in Feminism. Perdebatan standpoint juga secara implisit dan secara eksplisit meningkat dalam kerja dan pemikir feminis lainnya. Feminis standpoint theories fokus pada perbedaan gender (gender differences), pada perbedaan antara situasi perempuan dan laki-laki yang memberikan keuntungan sains terhadap siapa-siapa yang menggunakan perbedaan tersebut.
Filsuf feminis Nancy Hartsock seperti yang dikutip Gadis Arivia (2003, 258) dalam judul tulisan The Feminist Standpoint: Developing the Ground for a Specifically Feminist Historical Materialism (1983):

“mengambil pola Marxis yang memasukkan unsur analisis sosio-ekonomi dalam pengetahuan dengan gender. Hartstock menggarisbawahi adanya difference (perbedaan) dalam persoalan relasi laki-laki dan perempuan. Perempuan mempunyai kondisi khusus seperti dapat hamil dan melahirkan anak sehingga selalu terlibat dalam memelihara anak dan mengalami penindasan-penindasan domestik. Jadi, ilmu pengetahuan yang mengambil sudut pandang laki-laki tidak cukup.Pengetahuan yang sungguh sungguh adil harus mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu perempuan”.


Standpoint, menunjukkan bahwa feminis memiliki standpoint sendiri yang mengikuti kondisi lokal menjadi mini narasi dan tidak berlaku universal karena adanya ilmu dan kepentingan yang tidak bebas nilai. Sedangkan, menurut Nancy Hartsock (1998, hal. 236) A feminist standpoint is a practical technology rooted in yearning, not an abstract philosophical foundation..
Buku Harding yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1991 dan cetakan ke empat pada tahun 1996, untuk dianalisis pada tahun 2005 ini tentunya sudah banyak perubahan yang terjadi terhadap perempuan. Misalnya, seperti dalam Women, Science, and the Women’s Movement yang ditulis Donna M. Hughes dalam Sisterhood Is Forever: The Women’s Anthology for a New Millenium yang diedit oleh Robin Morgan pada tahun 2003 yang mengatakan bahwa selama keberadaan science dan teknologi, perempuan telah menjadi ilmuwan, insinyur dan pencipta. Kebangkitan gerakan perempuan di Amerika selama akhir ketiga abad 20 menginspirasikan banyak akhli sejarah untuk melakukan penelitian dan melaporkan tentang ibu-ibu yang berada di garis depan dari Science, matematika dan teknologi
[5].
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses perempuan pada bidang yang didominasi laki-laki bergantung pada keinginan laki-laki untuk memasukan atau tidak memasukkan perempuan. Dalam laporannya ini, pada permulaaan abad 21, secara luas dan legal diskriminasi dihapuskan dalam pendidikan dan pekerjaan, tetapi laki-laki masih merupakan pengontrol budaya bidang pendidikan dan iklim pembelajaran dan ruang kerja. Perempuan memiliki akses yang besar terhadap bidang dominasi laki-laki apabila kita mendapatkan kekuasaan untuk mendorong terbukanya pintu, menantang perilaku permusuhan dan praktek diskriminasi, dan mengumpulkan penghargaan dan penghormatan yang sama. Progres yang demikian bagi perempuan sebagai kelompok yang selalu dihasilkan dari aktifis feminist yang diorganisir.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa perempuan mempunyai kemampuan intelektual yang sama dengan laki-laki malah kadang melebihi laki-laki. Misalnya dalam Bronowsky dijelaskan bahwa penemu struktur DNA yang berbentuk double helix adalah Francis Crick dan James Watson. Padahal, Rosalind Franklin yang merupakan orang pertama yang mendapatkan hasil empiris dari foto-foto struktur DNA yang dimungkinkan oleh teknik X-ray crystallography yang dia kembangkan selama bertahun-tahun. Watson dan Crick merupakan dua saintis ambisius yang dengan ”licik” memanfaatkan data empiris Franklin secara diam-diam ketika mereka berusaha merekonstruksi struktur DNA. Ketika dua nama tersebut menjadi selebriti dalam dunia sains, nama Franklin tersimpan dalam sejarah yang paling bawah dan nyaris tak tersentuh. Franklin merupakan simbol diskriminasi perempuan dalam institusi sains modern, suatu institusi yang dibangun atas nama rasionalitas dan bebas nilai.(Sulfikar Amir, 2003)
Ada hal-hal yang dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang universal sifatnya tetapi ada yang bersifat lokal. Dengan kata lain ada grand narrative dan ada mini narrative. Kita juga tidak dapat mengklaim diri sebagai yang mewakili kelompok tertentu karena belum tentu keterwakilan kita dapat diterima oleh kelompok tersebut. Misalnya, Sandra Harding seorang bangsa Barat berkulit putih belum tentu perempuan berkulit hitam setuju dengan apa yang disampaikan oleh Harding. Demikian juga terhadap kelompok yang hidup dalam Dunia Ketiga. Karena ada perbedaan cara pandang dan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat yang biasa disebut kultur. Sedangkan Harding menggabungkan dua kultur menjadi counterculture, mungkin ini yang mendasarinya untuk melanjutkan menulis buku: Is Science Multicultural Postcolonialism, Feminism & Epistemologies: Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies (Race, Gender, Science) pada tahun 1998.
Saya lebih cenderung pada cross culture mengapa? Budaya dalam konsep kajian perempuan adalah konsep gender yaitu hasil dari konstruksi sosial terhadap maskulinitas dan feminitas. Gender, yang meliputi semua kewajiban (duties), hak-hak, dan sikap budaya yang dipertimbangkan secara tepat untuk laki-laki dan perempuan, adalah hasil ciptaan sosial (Wade & Tavris, 1994, hal. 122). Sedangkan definisi budaya (Matsumuto, 1994, hal. 4) adalah seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap bersama oleh sekelompok, diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui bahasa atau alat komunikasi yang berarti lainnya. Budaya adalah konstruksi sociopsychological, bersama-sama melintasi gejala dari psychological seperti nilai-nilai, perilaku, kepercayaan dan sikap sesama anggota terhadap gejala psychological. Budaya tidak berakar pada biologi, ras dan kewarganegaraan. Syaratnya ada fenomena yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Sedangkan untuk menjawab what is culture? (Bond and Smith, 1998, hal. 38-39) dan menurut Hershovit (hal. 48): budaya sebagai bagian dari lingkungan buatan manusia, bukan saja alat-alat bangunan tetapi institusi, pendidikan dan sebagainya. Kemudian menurut Rohner (1984) apa yang bermakna (what things mean) bagi suatu kelompok sehingga dalam hal ini mempengaruhi kehidupan.
Setiap manusia dalam hal-hal tertentu adalah sama dengan manusia lain, ada kesamaan manusia lain akan tetapi tidak satupun seperti manusia lain. Culture atau budaya berperan dalam pembentukan tingkah laku. (Every man is certain respects a) like all other men, b) like some other men, c) like no other man (Kluckhohn and Murray (1948)
Kompilasi semua sikap-sikap praktek gender dalam suatu budaya tidak bisa dilepaskan dari sejarah, lingkungan, ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan mempertahankan diri. Apabila dirangkum definisi budaya: , relatively organized system of shared meanings adalah suatu sistem yang terorganisir secara relative sebagai makna yang dimiliki bersama, meanings terkandung arti bisa berubah atau diubah (Bond, 1998, hal. 39) Meskipun kita dilahirkan dalam konteks tertentu bukan berarti budaya itu permanen, masih bisa diubah, bagaimana kita bisa mengubah? Dimana, dari mana dan bagaimana? Aturan masyarakat dikembangkan oleh laki-laki, sedangkan perempuan adalah sarana pengembangan dan perubahan budaya.

Kesimpulan:
Dalam akhir kalimat halaman kesimpulan, jawaban dari pertanyaan Whose sciences? Whose Knowledge? Harding memberikan jawaban terserah kepada para pembaca. Apabila pengembangan ilmu hanya menjelaskan sequence-nya atau bagaimananya, maka filsafat ilmu menjelaskan “mengapa” semua ini terjadi? Yang hingga sekarang belum ada jawabannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa manakala ilmuwan sudah mengalami kebuntuan dalam perkembangan pikirannya, hanya satu yang dapat dilakukan yaitu ‘percaya” dan disitulah ilmuwan dan agama bertemu. Oleh karena itu kebuntuan kemengapaan hanya dapat dijawab dalam agama. Jadi dalam filsafat ilmu terjadi pertemuan antara ilmu, agama dan seni.
Sesuai dengan ajaran agama Islam sebagai rahmatan lil’alamin ketika Allah SWT menciptakan mahluk dan isi dunia ini adalah untuk semua bukan untuk jenis kelamin tertentu. Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama menjadi khalifah di bumi ini. Seperti yang diungkapkan dalam Tafsir Al-Quran dan ilmu Pengetahuan dimana ayat yang pertama yang mula-mula turun yang berhubungan dnegan ilmu pengetahuan:”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu-lah yang Maha Pemurah, yang telah mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” Surat 96 Al’Alaq ayat 1 sampai 5). Selanjutnya pada ayat-ayat lain:”.......Katakanlah:”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (Surat 39 Az Zumar ayat 9) dan ayat lainnya: ”........Allah meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat .......” Surat 58 Al Mujaadalah ayat 11. Allah SWT menurunkan Al-Quran pada manusia. Orang yang beriman yang dimaksud dalam ayat ini bukan hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Oleh karena itu, tidak perlu pengkategorisasian atau segregasi, jika ada feminis sains maka akan ada maskulin sains. Menurut saya apa yang diungkapkan oleh Galileo bahwa ”Science for the people” sudah sejalan dengan Al-Quran, berarti termasuk relasi gender atau gender mainstreaming di dalamnya yang mencakup social responsibility dengan pertimbangan positif dan negatif terhadap kehidupan orang banyak.
DNA ditemukan untuk hal yang positif tetapi juga untuk penindasan perempuan dan crime. Pihak Barat menciptakan alat untuk mengetahui bayi yang dikandung perempuan atau laki-laki bagi negara-negara tertentu dengan kultur yang mengiginkan anak laki-laki ini adalah positif. Akan tetapi, begitu diketahui bahwa bayi yang dikandung bukanlah anak yang diinginkan sebut saja perempuan maka anak tersebut digugurkan. Maka muncullah tuntutan terhadap hak-hak alat reproduksi perempuan. Jadi di satu sisi teknologi membantu dan pada saat yang bersamaan menjadi bencana bagi perempuan. Penemuan dan pengembangan atom, berlaku positif tetapi juga negatif sebagai alat pembunuh massal. Nuklir untuk kedokteran disamping itu juga sebagai senjata pembunuh. Bagaimana menyeimbangkan antara negatif dan positif inilah yang harus dilakukan.
Bagaimana mengaplikasikan kebenaran ilmu? apakah ilmu yang didapatkan itu jika terbukti dapat bermanfaat atau dapat digunakan dalam segala hal? Apakah ini yang dimaksud dengan knowledge or certainty menjelaskan bahwa science ada ambang kesalahan atau paradoks ilmu bahwa ilmuwan tidak dapat melihat satu sisi saja terhadap kebenaran (imperfect) yang diperoleh berdasarkan pembuktian padahal ilmu pengetahuan dan pikiran manusia berkembang terus sehingga ilmuwan harus bersikap rendah hati (humble) tidak merasa benar sendiri. Karena ternyata temuannya berdampak negatif terhadap kehidupan perempuan khususnya dan manusia lain yang dipinggirkan.

Daftar Kepustakaan

Audi, Robert. (Gen. Ed.). (1996). The Cambridge Dictionary of Philophy. Cambridge: University Press.
Amir, Sulfikar, 2003. Diskriminasi Sains terhadap Perempuan. Jawa Pos, 25 Januari 2003.
Bond, H. Michael & Peter, B. Smith. (1998) Social Psychology Across Culture. London: Prentice Hall.
Bern, Lipsitz, Sandra, 1993, The Lenses of Gender: Transforming The Debate On Sexual Inequality. New Haven & London: Yale University Press.
Bronowsky, J. (1973). The Ascent of Man.Boston/Toronto: Little, Brown and Company.
Gadis Arivia. (2003). Filsafat Berpespektif Feminis.Jakarta: yayasan Jurnal Perempuan.
Harding, Sandra, 1991. Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women’s Lives. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Hartsock, Nancy C.M. 1998. The Feminist Standpoint Revisited & Other Essays. Colorado: Westview Press.
Hughes, M. Donna. (2003) Sisterhood Is Forever: The Women’s Anthology for a New Millenium. Robin Morgan (Ed.) dalam Women, Science, and the Women’s Movement, diakses pada tanggal 14 Juni 2005.
Lubis, Akhyar Yusuf. (2004). Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor; Akademia.
Matsumuto, David. 1994. People Psychology From A Cultural Perspective. California: Brooks/Cole.
Ollenburger, Jane C. & Moore, Helen, A. (1996). Sosiologi Wanita (A Sociology of Women). Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana (penerj.) Jakarta: Rineka Cipta.
Semiawan, Conny; Setiawan, Th, I. dan Yufiarti (2005). Panorama Filsafat Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta: Teraju (PT Mizan Publika).
Tavris, Carol & Wade Carole. (1994). Psychology and Culture (Water, J. Lonner & Roy S. Malpass (Ed.). Boston: Allyn & Bacon.


[1] Istilah “postmodernitas” dapat pula mengacu pada satu era dimana kepercayaan pada modernitas (the Enlightenment belief) mulai memudar. Misalnya mulai hilangnya kepercayaan masa modern bahwa ilmu pengetahuan dapat emnciptakan kemakmuran; bahwa modernitas dapat menghilangkan kemiskinan dan ketidakadilan; bahwa ilmu pengetahuan akan membawa kemajuan bagi kemanusiaan (emansipasi dan progress).Hilangnya kepercayaan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya dapat membantu manusia untuk memenuhhi keinginannya, akan tetapi juga di sisi lain menimbulkan banyak masalah dan penderitaan seperti: kerusakan lingkungan yang luar biasa, perang dan ancaman nuklir, dan pembunuhan masal yang dilakukan Nazi terhadap orang Yahudi dan Serbia terhadap penduduk Bosnia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan bukan saja tidak dapat menghilangkan kemiskinan dan ketidakadilan, akan tetapi sekaligus membuktikan bahwa modernitas memiliki dampak negative. Modernitas yang diidentikkan dengan manusia rasional dalam banyak hal, ternyata bertindak sangat tidak rasional. Berkurangnya kepercayaan pada rasionalitas dan doktrin ilmu pengetahuan modern serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi/informasi memeprcepat munculnya zaman postmodern. Toynbee dalam buku A Study of History (1974) menggunakan istilah postmodern untuk menjelaskan siklus sejarah dimaan mulai surutnya dominasi Barat, individualisme, kapitalisme dan kristianisme serta bangkitnya kebudayaan non-barat serta menonjolnya pluralisme dalam kebudayaan dunia sebagai awal dari kebudayaan postmodern (Toynbee, 1974) (Akhyar Yusuf Lubis, 2004, hal. 12-13)
[2] Affirmative actions (pasal 4 Konvensi Wanita) yaitu langkah-langkah khusus sementara yang dilakukan untuk mencapai persamaan kesempatan dan perlakuan antara wanita dan pria.maka peraturan-peraturan inidihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
[3] Androcentris adalah suatu kerangka berpikir, sudut pandang dan tolok ukur yang memusatkan perhatian atau mengutamakan keberpihakan pada kepentingan laki-laki (male bias) dalam membuat gejala, fakta dan data (pengalaman laki-laki dijadikan standar atau norma di masyarakat). Perempuan dilihat sebagai objek pasif, bukan pusat, bukan subjek, tidak merepresentasikan perempuan dan menampilkan pemikiran yang merugikan perempuan (Bern, 1993, hal. 41)
[4] Positivist: Aliran positivis merupakan suatu paham dalam filsafat sains. Positivisme menjadi agama digmatis karen aia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut positivisme adalah pandangan dunia objektivisitk. Positivisme melembagakan pandangan dunia objektivitisnya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin kesatuan ilmu mengatakan bahwa seluruh ilmu baik ilmu alam maupun manusia harus berada dibawah payung paradigma positivistik. Ciri-cirinya adalah bebas nilai, fenomenalisme, nominalisme, berlaku iniversal, reduksionisme, naturalisme (lubis, t.t. h. 44)
[5] A sampling: Phaenarete (midwife, mathematician, and incidentally, Socrates\d5mother), Hypatia of Alexandria (the most revered woman mathematician and scientist oft eh ancient world—385-415 C.E.), Trotula (medical doctor and lecturer at the University Salerno, considered to be mother of gynecology—circa 1050), astronomer Caroline Herschel, Ellen Swallow (who founded the scientific disicipline of ecology and was the first women admitted to the Massachusetts Institut of Technology), Emily Roebling (who took over design and construction of the Brooklyn Bridge when her husband was incapacitated), Marie Curie and her daughter Irene, Grace Murray Hopper (inventor of COBOL, an early major computer language), Rosalind Franklin, etc., etc. More comprehensive lists appear in Taking Hold of Technology (Washington, D.C.: American Association of University Women, 1983), and in Elise Boulding’s classic work, The Underside of History: A view of women Through Time (Boulder, Colorado: Westview Press, 1976). Dikutip dari RobinMorgan (Ed), 2003, hal. 1)
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 11:02 PM | 0 comments

Saturday, December 10, 2005

Dialog The middle Amerika and the Muslim Word, 13 Oktober 2004

Latar Belakang

Dalam dunia Ilmuwan atau Cendikiawan ada suatu wadah organisasi dunia yang disebut World Value Survey (WVS). Anggota-anggotanya adalah ilmuwan dunia yang beranggotakan 70 negara. DR. Muhammad Nadratuzzaman Hosen adalah salah satu anggota yang mewakili Indonesia; mengingat setiap anggota harus memiliki dasar lembaga yang menjadi pijakannya, maka DR. Muhammad Nadratuzzaman Hosen melandaskan lembaganya adalah Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ).
Lembaga WVS ini adalah lembaga yang bertanggungjawab terhadap peradaban dunia. Dari salah satu hasil survey menunjukkan bahwa Eropa tidak banyak melakukan perubahan peradaban dunia. Semestinya Peradaban Barat yang dipimpin oleh Amerika dan Eropa mampu melakukan perubahan tata nilai kehidupan manusia, bukan hanya maju dalam bidang teknologi saja. Namun, pada kenyataannya negara maju justru berjalan sendiri meninggalkan Negara Ketiga terpuruk dalam tatanan ekonomi. Dalam keluarga dan masyarakat negara maju sudah tidak ada keharmonisan seperti banyaknya perceraian yang mengakibatkan terlantarnya anak-anak, dan banyak dari mereka terjerumus memakai obat-obat terlarang, dan ada sebagian yang terkena HIV.
Masyarakat Islam juga merupakan subyek dari survey WVS. Hasil survey WVS pada masyarakat Islam, contohnya dari survei penerapan hukum syari’at Islam yang dilakukan terhadap 5 propinsi hanya 23% yang menyetujui diterapkannya hukum syariah Islam. Sedangkan dari pertemuan di Cairo Februari 2003, hasil survey mengenai sistem negara demokrasi menunjukkan, sebanyak 90 % negara-negara Islam ingin menerapkan demokrasi.
Dunia Barat tidak tahu bahwa ada konflik mengenai demokrasi ala barat yang bertentangan dengan Islam, karena Demokrasi dunia Barat adalah demokrasi yang menitik beratkan pada kebebasan berpendapat, tingkah laku, pornografi, perkawinan sejenis dan hal-hal lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dalam setiap pertemuan WVS, pihak Barat sangat berkeinginan mengetahui keadaan dunia Islam umumnya dan dunia Islam di Indonesia khususnya. Berpijak pada keingintahuan tersebut pihak American for Informed Democracy (AID) berinisiatif menghubungi IIQ melalui Dosen yang juga anggota dari WVS organization, untuk mengadakan pertemuan melalui Video Conference dengan kalangan akademisi yaitu mahasiswa.

Tujuan
Peristiwa penyerangan 11 September 2001 di WTC Amerika merupakan suatu titik balik bagi suatu negara adikuasa yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia, dimana tingkat keamanan merupakan suatu jaminan, tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya. Pihak keamanan telah gagal melindungi negaranya sendiri (Amerika). Peristiwa tersebut telah mempengaruhi cara pandang Amerika terhadap dunia Islam, tuduhan ke beberapa pihak antara lain organisasi dan perorangan menjadi target utama bagi penyerangan bagi keamanan dunia. Analisa studi tentang bagaimana cara mempertahankan negara terus dikembangkan di Amerika sehingga sampai pada suatu doktrin pre-emptive- serang dulu sebelum diserang, hal inilah yang terjadi dalam penyerangan Amerika terhadap Irak dengan alasan keamanan nasional Amerika. Hal ini menyebabkan pro dan kontra dunia internasional yang menimbulkan anti dan sentimen terhadap Amerika.
Indonesia adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam yang juga merupakan kiblat dunia bagi negara-negara Islam lainnya. Oleh karena itu, Amerika mengalami phobia terutama pada dunia Islam. (Contohnya nama-nama Islam dianggap teroris, visa masuk dipersulit, dsb).
Dialogue melalui video conference ini bagi America bertujuan dalam rangka membuat kebijakan luar negerinya sebagai “American Power and Global Security”. Oleh karena itu, membutuhkan pandangan Indonesia, khususnya kalangan akademisi dari dunia Islam, dalam kaitannya sebagai super power dan polisi bagi keamanan dunia. Sedangkan tujuan IIQ menerima dialoge ini adalah meluruskan pandangan-pandangan ataupun doktrin Amerika yang bertentangan dengan Agama Islam pada mahasiswa sebagai generasi muda penerus bangsa Amerika.

Permasalahan
Dari latar belakang dan tujuan di atas, menunjukkan Amerika selalu mengklaim diri sebagai negara yang paling berkuasa, demokratis dan selalu ingin ikut campur tangan pada negara-negara yang belum melaksanakan sistem Demokrasi. Hal tersebut menunjukkan adanya titik balik bahwa Amerika tidak bisa melihat dirinya sendiri dengan timbulnya permasalahan mengenai kekuasaan, demokrasi dan keamanan dunia.
Pemerintah Amerika berbeda dengan rakyat Amerika. Demokrasi dapat ditegakkan jika memenuhi persyaratan dalam tingkat kadar ekonomi stabil. Sementara itu, Indonesia saat ini mau berdemokrasi dalam keadaan ekonomi hancur. Demokrasi Barat bertentangan dengan Islam. Demokrasi Islam adalah demokrasi dengan budaya dan peradaban Islam. Oleh karena itu, dalam rangka Amerika membuat kebijakan luar negeri akan ada timbul pertanyaan permasalahan antara lain :
 Sejauh mana mahasiswa Amerika mengetahui dunia Islam?
 Sejauh mana mahasiswa Amerika memiliki pengetahuan tentang dunia Islam Indonesia?
 Sejauh mana peran Amerika dalam isu-isu demokrasi, masuk dalam wilayah ekonomi suatu negara yang memiliki sumber energi?
 Sejauh mana doktrin keamanan nasional Amerika dapat/tidak dapat diterima oleh dunia Islam, dunia Internasional secara global?
 Apakah secara global keamanan dunia itu ditentukan oleh kekuasaan Amerika sendiri.
 Kriteria apakah diterapkan Amerika dalam menggunakan doktrin preemptive “serang dulu sebelum diserang” dan hubungannya dengan ketahanan nasional Indonesia?
 Sejauh mana penerapan penegakan Hukum Internasional?
 Bagaimana fungsi dan peran Organisasi Dunia seperti PBB sebagai badan keamanan dunia?
 Sejauh mana Amerika melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM yang menjadi sasaran agresi militernya?
 Sejauh mana Amerika melabelkan masyarakat Islam identik dengan Terorisme?
 Sejauh mana pendapat dunia bahwa Amerika tidak berlaku adil kepada Negara Palestina?
 Sejauh mana Amerika selalu menjaga hubungan dan kepentingan dengan Negara Israil?
 Sejauh mana Amerika selalu memveto kepentingan dunia Islam?
 Sejauh mana mahasiswa mengenal dunia Islam dan dunia Barat khususnya peran perempuan di kedua dunia tersebut?

Manfaat
Pertemuan dialog melalui Video Conference ini diharapkan:
1. Memberikan penjelasan mengenai agama Islam, guna meluruskan pengetahuan Islam yang dianggap mereka negatif yang disampaikan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat tanpa saringan media Barat.
2. Harga diri Islam, bahwa demokrasi bisa ditegakkan sesuai dengan ajaran Islam yaitu yang benar adalah benar.
3. Islam Indonesia adalah bukan teroris tetapi Islam yang cinta damai.
4. Manfaat bagi IIQ adalah untuk memotivasi mahasiswi untuk lebih giat belajar, menguasai bahasa Inggris.
5. Mempromosikan mahasiswi dan lembaga IIQ dalam dunia International.
6. Mempersiapkan SDM IIQ dalam acara STQ dan MTQ, khususnya dalam tafsir Bahasa Inggris 30 Juz.
7. Diharapkan lembaga IIQ masuk dalam daftar Universitas-Universitas Amerika yang berpartisipasi atau terlibat langsung dalam acara dialoque ini sehingga menjadi referensi untuk memudahkan mahasiswi IIQ dalam melanjutkan dan mendapatkan beasiswa untuk program studi lanjutan S2 dan S3.

Waktu dan tempat pelaksanaan
Acara dialogue melalui Video Conference ini akan dilaksanakan pada tanggal 12/13 Oktober 2004 jam 08.00 WIB di Ruang Studio Gedung Indosat Jakarta dengan mengambil topik "American Power and Global Security". Demi suksesnya acara dialoge tersebut diperlukan persiapan Intensive Training Program selama 45 hari yang akan dimulai dari tanggal 9 Agustus 2004 sampai 11 Oktober 2004.

Kurikulum
Kurikulum terdiri dari materi-materi umum termasuk ketahanan nasional Indonesia dan materi-materi Islam. sesuai dengan lampiran mengenai kurikulum. Topik besarnya adalah American Power and Global Security dan sub-topics: promoting democracy overseas and the role of women in foreign policy. Semua topik ini dibahas dari sudut pandang perempuan dalam dunia Islam.

Anggaran
Untuk melaksanakan Acara Dialogue melalui video conference dan persiapan Intensive Training Program ini diperlukan dana sebesar Rp. 20.000.000,- diperoleh dari sumbangan Gubernur DKI.

Pelaksanaan:
Acara videoconference, Alhamdulillah telah dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober 2004 pagi di Gedung Indosat – Jakarta Pusat. Acara dihadiri oleh BEM – mahasiswi IIQ, staf pengajar, pimpinan IIQ, Yayasan, Staf Biro Adkesmas – DKI dan dihadiri oleh Ketua Dewan Penyantun IIQ.
Acara ini di Indonesia diliput oleh Metro TV yang bekerja sama dengan Voice of America. Bapak Wagub DKI selaku Ketua Dewan Penyantun telah diwawancarai oleh pihak Metro TV yang menanyakan tujuan acara dialogue tersebut yang dijawab sebagai pembelajaran mahasiswi IIQ berkomunikasi dengan mahasiswa luar negeri. Di Northwestern University acara tersebut diliput oleh Surat Kabar Tribune yang terbit di Chicago copy terlampir.
Pihak Northwestern University menyatakan kepuasannya akan hasil dialogue tersebut seperti e-mail terlampir, juga para mahasiswa di Amerika berkeinginan melanjutkan hubungan antar mahasiswa melalui elektronik mailing. Dari e-mail tersebut menunjukkan bahwa mahasiswi IIQ mampu berkomunikasi dan berpengetahuan baik dalam isu-isu internasionaldan perempuan.

Kendala:
Kendala yang dihadapi pertama adalah dana PSW yang terbatas dan masalah teknologi IIQ belum mempunyai kemampuan. Sebagai contoh ruang videoconference harus dilaksanakan di Indosat sementara pihak Northwestern berada dalam ruang perpustakaan yang dilengkapi dengan fasilitas videoconference. Demikian laporan ini disampaikan sesuai dengan SK No. 118.AK-B.11/VII/2004 Tentang Tim Pelaksana Videoconference Dialogue, Tim bertugas melaporkan hasil akhir pelaksanaan Videoconference.

Prospek:
Pusat Studi Wanita IIQ dan Mahasiswi IIQ mewakili dunia Islam bahwa perempuan dapat berperan di arena publik dan perempuan boleh melanjutkan pendidikan tinggi dan dapat berkomunikasi dengan laki-laki.
Pada waktu terjadi tsunami pihak American Informed for Democracy juga meminta untuk melakukan dialog dalam rangka menggalang dana kemanusiaan. Hal tersebut disambut baik oleh pihak IIQ, akan tetapi karena masalah tersebut sudah menjadi tanggung jawab dunia internasional maka kita memilih dialog pasca tsunami.
Topik yang dipilih dalam rangka peringatan sembilan bulan tsunami adalah poverty, hunger and health yang ‘insya Allah akan diselenggarakan pada tanggal 26 September waktu Amerika dan 27 September waktu Indonesia.

Penutup:
Kesimpulan dan Saran:
Pusat Studi Wanita IIQ tidak dapat berdiri sendiri saling melengkapi sinergi bersama lembaga penelitian dan lembaga pengabdian masyarakat yang ada di IIQ. Lembaga IIQ adalah suatu lembaga yang telah bertahun-tahun melaksanakan pemberdayaan perempuan dalam bidang pendidikan seutuhnya dan tidak bertentangan dengan sudut pandang agama dan hukum positif.
PSW IIQ ini berada dalam lembaga pendidikan, maka penelitian pustaka yang ilmiah merupakan fokus kajian PSW ini disamping mendapatkan masukan dari menghadiri acara di luar IIQ dan pengabdian masyarakat melalui kuliah kerja lapangan dan BEM IIQ.
Lembaga IIQ adalah suatu contoh yang baik bagi kedudukan perempuan dalam agama. Oleh karena itu, stop pembahasan perempuan, agama dan kekerasan. Harus dapat dipilah ajaran dan perilaku dari pribadi-pribadi yang menyimpang dari ajaran agamanya terhadap perempuan.
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 12:59 PM | 0 comments

Laporan Kegiatan PSW IIQ Periode Mei 2004 – Juni 2005

Pendahuluan
Dalam GBHN 1978, untuk pertama kalinya ada bab khusus tentang peranan wanita dalam pembangunan. Dampak dari GBHN 1978 ini diangkatnya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita dalam Kabinet Pembangunan III. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) memuat kebijakan, langkah-langkah dan Program Peningkatan Peranan Wanita (P2W). Pemerintah dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk merencanakan, melaksanakan, memantau, dan melakukan evaluasi atas hal-hal yang ditetapkan dalam Repelita. Untuk melaksanakannya disediakan anggaran bagi tiap-tiap departemen.
Esensi pokok dari GBHN 1978 bahwa wanita mepunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan serta secara penuh dalam segala kegiatan pembangungan. Peranan wanita dalam pembangunan tidak mengurangi perannya dalam pembinaan keluarga sejahtera dan pembinaan generasi muda. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan wanita sesuai dnegan kebutuhan.
Dalam tiap-tiap Repelita selalu ada bab penekanan utama pada peningkatan kesejahteraan dan peranan perempuan dalam pembangunan. Pada Repelita V memberikan penekanan utama pada Program Peningkatan Peranan Wanita (P2W) yang terdiri atas (a) program khusus, yaitu program yang diperuntukan khusus untuk wanita untuk mengejar ketinggalannya di berbagai bidang; (b) program umum yang ditujukan kepada masyarakat (pria dan wanita) yang mengintegrasikan aspirasi, kepentingan dan peranan wanita (sekarang disebut gender mainstreaming – pengarusutamaan gender) Empat bidang utama dalam Repelita V ditambah dengan mekanisme P2W di tingkat nasional dan daerah.
Repelita V ini secara khusus memuat dibentuknya Pusat Studi Wanita di lingkungan universitas. Sejak tahun 1990 hampir semua universitas negri dan IAIN dan beberapa universitas swasta mempunyai Pusat Studi Wanita (PSW).Pada tahun 2001 ada 78 PSW atau Kelompok Studi Wanita diseluruh Indonesia. PSW di daerah menjadi anggota dari Tim pengelola P2W, melakukan penelitian dan kajian mengenai keadaan wanita, hambatan dan masalah yang dihadapi, dan memberikan rekomendasi kepada Tim Pengelola P2W.
Dalam GBHN 1999, penekanan pada kedudukan dan peranan perempuan yaitu meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Pada era reformasi Repelita berubah menjadi Program Perencanaan Nasional (PROPENAS) penekanan pada pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi, social dan budaya, hukum, dan akses pada sumber daya pembangunan. Juga penekanan pada pengarusutamaan gender (gender mainstreaming yang diterbitkan dalam Inpres No. 9 tahun 2000). Selain itu, pelaksanaan zero-tolerance policies untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan (Achie Sudiarti Luhulima, 1995 dan 2001)
Dasar-dasar hukum pembentukan Pusat Studi Wanita dapat dilihat pada buku panduan pembentukan dan pembinaan Pusat Studi Wanita/Pusat Studi Gender yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Antara lain:

  1. Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentnag Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang merupakan ratifikasi dari Convention on the Elimination of all forms of Dsicrimination Against Women (CEDAW).
  3. Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentnag Program Pembangunan Nasional;
  4. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  5. Ketetapan MPR Nomor 4 Tahun 1999 tentang GBHN tahun 1999-2004;
  6. Keputusan Presiden Nomor 163 Tahun 2000 tenang Kedudukan, Tugas, Fungsi,Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara diubah dengan Kepres No. 171 No. 9 Tahun 2000;
  7. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional;
  8. Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 03/KEPMENEG.PP/I/2001 tentang organisasi dan Tata Kerja Staf Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan;
  9. Naskah Kerja Sama Menteri Peranan Wanita, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama, tanggal 24 Nopember 1998 tentnag Pembinaan Pengembangan PSW/PSG.

Pusat Studi Wanita Institut Ilmu Al-Qur’an (PSW-IIQ)
Dari latar belakang di atas pada 11 Mei tahun 2004 Senat Institut Ilmu Al-Qur’an menetapkan pembentukan Lembaga Pusat Studi Wanita dilingkungan IIQ dan menetapkan Ketua PSW-IIQ dengan SK Rektor No. AK.01.343/VI/2004.
Apabila dilihat dari sejarah berdirinya IIQ pada tahun 1977 yang mendahului GBHN 1978 yang memuat bab khusus tentang peranan wanita dalam pembangunan, IIQ juga merupakan pionir pertama dalam arti Lembaga Pendidikan Wanita yang mengkhususkan menyelenggarakan pendidikan khusus bagi perempuan.
Pada awalnya IIQ bekerjasama dengan pemerintah daerah di masing-masing propinsi yang mengirimkan putri-putri terbaiknya untuk mendapatkan pendidikan di Institut Ilmu Al-Qur’an. Hal ini sebagai wujud nyata bahwa perempuan berpartisipatif dalam pembangunan nasional dan juga sudah mendahului Repelita V dalam pembentukan Pusat Studi wanita (PSW) di Universitas. Dalam hal ini IIQ sebagai PSW adalah tempat pendidikan dalam arti luas bagi perempuan.

Visi dan Misi:
Visi: Menjadikan Institut Ilmu Al-Qur’an sebagai pusat studi al-Qur’an dan Hadis yang mampu merespon perkembangan zaman.
Misi: Membentuk ulama/sarjana muslim terutama wanita yang hafal al-Qur’an, memiliki kemampuan akademik dan /atau professional dalam bidang ilmu agama Islam, khususnya ilmu-ilmu al-Qur’an serta mempunyai wawasan yang luas dan berakhlak mulia.

Lembaga PSW-IIQ ini dibentuk sesuai dengan visi dan misi IIQ dengan tujuan untuk meningkatkan peranan civitas academika dalam pengabdian masyarakat, dengan mengadakan penelitian-penelitian sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan masyarakat yang dinamis. Di samping itu, juga meneliti hambatan-hambatan yang dialami oleh perempuan untuk menjadi masukan dan mencari atau mengusulkan solusi pemecahannya serta rekomendasi bagi suatu kebijakan yang mencakup agama, yuridis, sosiologis dan filosofis.

Struktur Organisasi
Lembaga PSW-IIQ dipimpin oleh Ketua PSW yang dibantu dengan sekretaris dan bendahara. Dalam Lembaga PSW ini ada Pembidangan bagian sesuai dengan keakhlian seperti bidang Ulumul Qur’an, Syari’ah, Ushuluddin, Tarbiyah dan Ekonomi Islam. Disamping bidang agama juga bidang-bidang umum lainnya. Bidang Kajian dan Penelitian, Bidang Pendidikan dan Pelatihan, dan Bidang Penerbitan. Anggota PSW-IIQ adalah seluruh civitas academika dan alumni IIQ yang bersama-sama secara sinergi menjalankan dan mengembangkan PSW-IIQ.

Program Kerja
PSW-IIQ dalam program kerjanya membagi dua program yaitu program kedalam IIQ (internal) dan program keluar (external). Program internal adalah pelatihan dan sosialisasi peraturan perundang-undangan nasional dan internasional yang berperspektif gender kepada civitas academika IIQ.
Program external adalah pelatihan dan penelitian-penelitian social, ekonomi, politik, budaya dan hukum yang berperspektif gender dengan prinsip-prinsip agama Islam. Juga akan bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah yang terkait dalam penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan Indonesia.

Sumber daya dan sumber dana
Sumber daya manusia adalah seluruh anggota civitas academika IIQ. Sedangkan, sumber dana PSW-IIQ yang diperoleh dari anggaran IIQ tidak memadai hanya untuk ATK, foto kopi, transportasi, berlangganan jurnal dan kerja sama dengan LPPI. Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan program kerja internal dan eksternalnya PSW-IIQ meminta bantuan kepada Pemda DKI untuk acara videoconference 13 Oktober 2004 yang lalu. Sedangkan untuk penelitian pustaka yang telah dilakukan tanpa dana pembiayaan dilakukan sendiri oleh Ketua PSW dan diterbitkan oleh LPPI dalam Jurnal Nida’ Qur’an.

Sarana dan prasarana:
Ketua PSW IIQ memiliki ruangan bersama LHTQQ, dan ruang pojok studi perempuan ruangan bersama Perpustakaan. Sedangkan pesawat telepon dan fax bersama-sama dengan IIQ. Untuk e-mail dan PC masih menggunakan milik pribadi Ketua PSW IIQ.

Pengalaman (kegiatan)
Dalam usia yang relatif muda dan dengan keterbatasan dana tidak menghalangi PSW-IIQ untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

9-14 Juni 2004:Mengkaji bahan buku, tulisan dan artikel yang sudah diterbitkan yang berhubungan dengan agama Islam dan Gender (35 judul).
Buku-buku dan tulisan artikel yang sudah diterbitkan yang berhubungan dengan agama Islam dan gender antara lain:

  1. Tafsir teks-teks Al-Qur’an oleh KH Hussein Muhammad, Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid, Nazaruddin Umar. (Keterangan diperoleh dalam Jurnal Perempuan No. 33)
  2. Mengamandemen tafsir surat An-Nisa dalam judul buku “Perempuan dalam Pasungan” penulis Dr. Nurjannah Ismail. Terbit September 2003. (JP 33)
  3. Perempuan dalam perdebatan Tafsir-tafsir Islam dalam buku “Revisi Politik Perempuan bercermin pada Shahabiyat” penulis Najmah Sa’jidah, Husnul Khatimah. Diterbitkan Oktober 2003.
  4. Tafsir Ulang Seksualitas dalam Agama: Seks yang tidak pernah semata-mata biologis. Judul Buku: Telaah Ulang Wacana Seksualitas. Editor: Mochamad Sodik. Penerbit: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan CIDA. Diterbitkan pada 1 Januari 2004. (JP 34)
  5. Fundamentalisme; Memenjarakan Perempuan oleh Zuhairi Misrawi (JP 32. th. 2003)
  6. Fundamentalisme Islam dan Persoalan Perempuan. Oleh Indah Nataprawira dan Airlangga Pribadi (JP 32, hl. 77-90, th. 2003)
  7. Fundamentalisme Dan Diskriminasi Terhadap Perempuan; Antara Penafsiran Normatif dan Humanis. Judul Buku: Dari Syariat menuju nakasit syariat. Fundamentalisme, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi. Penerbit: KIKJ & Ford Foundation. Agustus 2003. Tim Penulis: Zuhairi Misrawi,Lily Z. Munir, Nur Rofi’ah, AD Kusumaningtyas, Irwan Mh. Editor: Zuhairi Misrawi. (JP 32. hal. 131-138)
  8. Kritik terhadap sejarah Perempuan Arab. Judul buku: Wajah Telanjang Perempuan. Pengarang Nawal El Saadawi.Penerj. Hj. Azhariah. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. (JP 32. hal 141-143 th. 2003)
  9. Menuju Fiqih Perempuan Indonesia yang Humanis. Penulis Nazaruddin Umar. Bandung: Pustaka Hidayah. Th. 2001. (JP 31)
  10. Wawasan A-Qur’an oleh Quraish Shihab. Bandung: Mizan. Th. 1996.
  11. Ahmad Al-Jarjawi: “Hikmah al Tasri’ Wa Falsafatuhu”. Hal. 18-20 sebagaimana ditulis Nazaruddin Umar “Agama dan Kekerasan terhadap Perempuan” dalam Jurnal Dinamika HAM Vol. 2 No. 1 April 2001. hal. 29. (JP. 31)
  12. Forum Kajian Kitab Kuning (FK3): Sinta NAW, Hussein M, Lies Marcoes, “Wajah Baru Relasi Suami-Istri” Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn” Penerbit LKIS Yogyakarta.
    Fayumi, Badriyah (2002)
  13. Islam dan Masalah Kekerasan terhadap Perempuan dalam Arani, Amirudin dan Abdul Kadir, Faqihuddin (Ed) Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Jakarta: Rahima, The Ford Foundation dan LKIS. (JP 31)
  14. Judul Buku: Matinya Perempuan: Menyingkap Mega Skandal Doktrin dan laki-laki (Transformasi Al-Qur’an, Perempuan dan Masyarakat Modern). Judul Asli: The Qur’an, Women, and Modern Society. Pengarang: Asghar Ali Engineer. Penterjemah; Ahmad Affandi dan Muh. Ihsan. (JP 31)
  15. Membuka Jalan Buntu Bagi keadilan Gender dalam Islam. Judul Buku: Gender dan Islam Teks dan Konteks. Penerbit: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Th. 2002 (hl. 159. JP 28)
  16. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam. Penulis: Dra. Siti Ruhaini Dzhuhayatin, MA. Dra. Ema Marhumah, MPd., Drs. Lethiful Khuluq. Penerbit: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, McGill ICIHEP dan Pustaka Belajar. hal. 174 (JP 24)
  17. Perempuan dalam Islam, penulis Maria Ulfah Anshor. Hal. 23-34 dalam JP 20. th. 2001.
  18. Mengembalikan hak-hak Politik Perempuan, Sebuah Perspektif Islam. Penulis Dr. M. Anas Qasim Ja’far. Juli 2001. (JP 20)
  19. Perempuan Berkalung Surban. Penulis Abidah el Khailegy. Maret 2001 hal. 62 (JP 19)
  20. Ontologi Membedah Pemikiran Tokoh Perempuan di Garis Depan. November 2000, hal. 150 (JP 18)
  21. Gerakan Perempuan Islam oleh Mr & NI hal. 79. (JP 14. th. 2000). Tulisan dihimpun dari : Afshar, Haleh, “Fundamentalism and Women in Iran; Hasyim Syafiq, “Gerakan Perempuan Dalam Islam: Perspektif Kesejarahan Kontemporer” Jurnal Afkar, edisi No. 5, Th. 99.
  22. Tahodi, Nareyeh, “Gender and Islamic Fundamentalism: Feminist Politics in Iran”; Yamani, Mai (ed) Feminism dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra, terj. Bandung: Nuanasa, IKAPI dan Ford Foundation, 2000. (JP 14)
  23. Teras Terlarang, Kisah Masa Kecil Seorang Feminis Muslim Oleh Fatimah Mernissi. (Mizan Nov. 1999, JP. 14).
  24. Memposisikan Kodrat: Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam. Editor Lily Zakiyah Munir.Penerbit: Mizan Mei. 1999. (JP 12. 1999) (hl. 77)
  25. Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim. Penulis Fatima Mernissi. Penerbit: Mizan. Mei 1999. (JP 12 th. 1999, hal. 78)
  26. Pembebasan Perempuan di Dunia Islam Pemikiran Qasim Amin oleh M. Arskal Salim GP. (hal. 44, JP 10 th. 1999)
  27. Merumuskan kembali agenda perjuangan perempuan dalam konteks perubahan social budaya Islam di Indonesia (Dra. Hj. Sinta Nuriyah AW dalam Jurnal Pemikiran Islam)
  28. Keadilan Jender dalam Al-Qur’an (Dr. Nasaruddin Umar dalam Jurnal Pemikiran Islam)
  29. Relevansi Gerakan Feminisme dengan Konsep Pendidikan Islam (Dra. Ariyana Wahidah Fuad dalam Jurnal Pemikiran Islam)
  30. Wanita dan Gender dalam Islam oleh Leila Ahmad (terjemahan)
  31. Fiqih Wanita oleh Syaikh Kawil Muhamad ‘Uwaidah (terjemahan)
  32. Fiqh Perempuan oleh KH. Husein Muhamad
  33. Pornografi dan Pornoaksi ditinjau dari Hukum Islam oleh Neng Djubaedah
  34. Fiqh Lintas Agama oleh Paramadina
  35. Swara Rahima 1- 10

Mengkaji tulisan Agama dan gender yang ditulis oleh Ibrahim Hosen (53 judul)Daftar Buku, tulisan yang ditulis oleh Ibrahim Hosen yang topiknya Agama dan Gender antara lain:

  1. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan (jilid I)
  2. Apakah Ada Wanita yang Bebas dari Jilbab? Hl. 75 dalam Filsafat Hukum Islam. Oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen LML th. 1997.
  3. Benarkah dalam ajaran Islam Fungsi Wanita Sejajar denga Pria? Hl. 102 dalam Filsafat Hukum Islam oleh Prof. KH Ibrahim Hosen LML. Th. 1997.
  4. Benarkah Pemakaian Spiral (IUD) Haram Hukumnya?
  5. Sex Education
  6. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
  7. Keluarga Berencana Menurut Islam
  8. Hakim Wanita Menurut Pandangan Syari’at Islam
  9. Kasus Janda Syifa
  10. Perlukah Hukum Perkawinan Umat Islam Indonesia dituangkan dalam Bentuk Perundang-undangan
  11. Status Istri Mafqud
  12. Islam dan Masyarakat
  13. Perceraian suami istri menurut petunjuk Al-Qur’an
  14. Peranan Wanita dalam Majlis Ulama
  15. Anak Angkat Menurut Hukum Islam
  16. Kesehatan Menurut Pandangan Islam
  17. Keluarga Berencana Sebagai Ikhtisar Manusia Menuju terbentuknya Keluarga Bahagia
  18. Peranan Ulama dan Wanita dalam Pembangunan
  19. Fungsi Wanita Menurut Al-Qur’an
  20. Jadikan Islam Agama Masyarakat
  21. Pendidikan dalam Islam
  22. Konsep Pembentukan Keluarga Bahagia dalam Islam
  23. Perkawinan Muslim dengan Non Muslim
  24. Pembangunan Keluarga dalam Islam (12 Des. 1990)
  25. Tanggapan terhadap KH Ali Yafie dalam hubungan “Pembentukan Keluarga dan Kependudukan”.
  26. Al-Qur’an dan Peranan Wanita.Oleh Prof. KH. IbrahimHosen LML. Pidato Dies Natalis ke VIII IIQ dan Peresmian Asrama Mahasiswi. Jakarta 3 April 1985.
  27. Syari’at Islam tentang Pernikahan (7/3/1986)
  28. Perkawinan Usia Muda Menurut Ajaran Islam
  29. Sekitar Pengertian Islam dan Aurat Waita – Catatan Buat Dr. Nurcholish Majid (1992)
  30. Tentang Hukum Nikah Mut’ah
  31. Upaya Pelayanan Kesehatan Dipandang dari Segi Hukum Islam
  32. Membangun Rumah Tangga Bahagia (1988)
  33. Tuntunan Islam dalam Masalah Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1988)
  34. Asas-asas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
  35. Peranan Ulama dalam Memasyarakatkan Keluarga Berencana di Indonesia. (1990)
  36. Konsep Keluarga Sejahtera Menurut Pandangan Islam
  37. Talaq tiga yang dijatuhkan sekaligus
  38. Pembinaan Keluarga Sakinah dan realisasinya dalam Pembangunan Nasional (28/8/1987)
  39. Membangun Rumah Tangga Bahagia
  40. Masalah Akad Nikah dalam Keadaan Hamil karena Zina
  41. Benarkah Wanita itu milik Suami?
  42. Inseminasi buatan Bayi Tabung menurut Islam
  43. Hukum menikahi wanita hamil dari zina
  44. Family Planning according to the Islamic View
  45. Masalah-masalah yang berhubungan dengan thalaq secara perbandingan
  46. Meningkatkan peranan wanita dan pemuda Islam dalam pembangunan (1983)
  47. Peranan zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan: Peningkatan wawasan dan pemahaman terhadap pensyari’atan zakat
  48. Penggunaan obat untuk menunda menstruasi dalam kaitannya dengan kewajiban puasa
  49. Perkawinan campur antar agama ditinjau dari sudut pandang Hukum Islam
  50. Penelitian psikososial-religius dalam usaha pencegahan penularan AIDS
  51. Pemeliharaan dan Perawatan Jenazah Penderita HIV/AIDS dalam Pandangan Hukum Islam
  52. Ectasy dalam pandangan Islam
  53. Aspek hukum Islam dan Etika dari transplantasi organ dengan donor jenazah ditinjau dari agama Islam.

Buku dan tulisan yang ditulis oleh Pihak Institut Ilmu Al-Qur’an:

  1. Reinterpretasi dan Rasionalisasi Hadis-hadis Perempuan oleh Ahmad Munif Suratmaputra (dimuat dalam Jurnal Pemikiran Islam terbitan PP Muslimat NU dan Nida’Al-Qur’an – Jurnal Kajian Al-Qur’an dan Wanita Vol. 1 No. 1 2003)
  2. Hadis Tentang Wanita Bersolek. Oleh Ali Mustafa Yaqub(dimuat dalam Nida’ Al-Qur’an juga diterbitkan dalam Jurnal Pemikiran Islam
  3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Konsep Nusyuz (Dra. Hj. Mursyidah Thahir, MA dalam Jurnal Pemikiran Islam)
  4. Poligami dalam Perspektif Islam. Oleh Dra. Hj. Mursyidah Thahir)

    17 Juni 2004: POKJA RUU Anti pornografi dan Pornoaksi yang dipimpin oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan.

    19 Juni 2004 Menjadi pembicara dalam BEM-IIQ dengan topic Gender dan Pembangunan;

    28 Juni 2004 Mengkaji bahan diskusi POKJA untuk tanggapan atas RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi LBH-APIK

    Juni 2004 Mengkaji Teori Hukum feminis (Feminist legal theory) dipublikasikan dalam Nida’Al-Qur’an Jurnal kajian Al-Qur’an dan Wanita.

    9 Juli 2004 kajian pemberdayaan perempuan dalam rangka memberikan masukan kepada Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

    12 Juli – 16 Juli menghadiri STQ di Bengkulu, berkunjung ke MUI, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu.

    18 Agustus 2004 Berpartisipasi aktif sebagai peserta dalam diskusi masyarakat melek media dalam rangka mengurangi dampak negative tayangan media elektronik bagi masyarakat yang dipimpin oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan;

    Agustus 14 – Oktober 13, 2004 Memberikan training pada mahasiswi dalam rangka dialog antara mahasiswa Amerika dengan mahasiswa dari dunia Islam. Northwestern University – Institut Ilmu Al-Qur’an.

    21 Agustus 2004 Mengkaji skenario film “Perempuan berkalung Surban” memberikan masukan dan saran bagi skenario film tersebut agar media film berperspektif gender, permintaan ini dari Star Vision.

    28 September 2004 Seminar “Muslim women, between Hope and Reality” dalam rangka International Muslim Women Union (IMWU) Board of Trustee meeting dan IMWU East and South East Asia Regional Meeting (NGO in consultative status with the economic and Social Council of the UN)

    Seminar The International Council of muslim woman Scholars yang diselenggarakan oleh Al-Majlis Al-‘Alami lil ‘Alimat Al-Muslimat (MAAM)
    7-8 Oktober 2004 Seminar Lokakarya “Menumbuhkan Sikap Kritis Konsumen Media” Penyelenggara Kementerian pemberdayaan Perempuan, ATVSI, KOMTEVE, dan AMAPP di Jakarta

    1-3 Desember 2004 Temu Nasional Gerakan Percepatan pemberantasan Buta Aksara (Penyelenggara Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas)

    15 Desember 2004 Seminar Peringatan Hari Ibu ke 76 tahun 2004 dengan tema Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam perspektif Budaya, hukum dan agama: Persepsi dan Implementasi.diadakah oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan

    21 Desember 2005 Saresahan Pengembangan Karakter bangsa Berbudaya, kerjasama Balitbang Depdiknas RI dengan FORMOPI di Depdiknas RI- Jakarta

    21 Desember 2005 Sosialisasi UU No. 23/2004 tentang PKDRT dan Peluncuran Buku “Telaah Kritis Potret perempuan di Media Massa”. Penyelenggara Kementrian Pemberdayaan perempuan.

    24 Desember 2004 seminar ”Pornografi dalam perspektif Hukum Islam“ – diadakan oleh BEM IIQ.

    28 Desember 2004 – sekarang 2005 persiapan acara videoconference dengan pihak American Informed for Democracy dan Northwestern University dalam rangka membantu korban tsunami dan gempa di Aceh dan daerah Indonesia lainnya.

    3 Januari 2005 Do’a bersama untuk korban Aceh di Asrama IIQ

    10 Januari 2005 Mengkaji dan mendukung Motto Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan: Para Ibulah yang mencetak ketangguhan bangsa di masa depan. Sejalan dengan Visi dan misi IIQ: Ibu sebagai pendidik utama, ibu rumah tangga dan ibu masyarakat yang baik.

    12 Januari 2005 Peluncuran buku Menggalang perubahan: Perlunya Perspektif Gender dalam Otonomi Daerah dan diskusi dengan tema gender dan otonomi daerah. Penyelenggara Yayasan Jurnal Perempuan dengan world Bank Jakarta.

    Januari 2005 Mengkaji kebijakan sistem pendidikan nasional berperspektif gender (sudah diserahkan pada redaktur Jurnal Nida’Al-Qur’an)

    8 Maret 2005 hadir pada acara Hari Perempuan Sedunia yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH-APIK dll.

    8 Maret 2005 peserta seminar Pekerja Rumah Tangga – LBH-APIK dan Jurnal Perempuan

    17 Maret 2005 memberikan masukan pada Lembaga DPD dalam rangka perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

    30 Maret 2005 peserta diskusi publik ”Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh berbasis perempuan: Analisis dalam Berbagai Perspektif. Diselenggarakan oleh Kesatuan Perempuan Golkar.

    6 – 9 April 2005 Peserta Kegiatan Pelatihan untuk Peningkatan Kualitas Profesional SDM Pengurus PSW/PSG. Bertempat di Gedung Puslitbang Gizi Bogor. Diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI.

    23 April 2005 Kerjasama dengan LPPI Ketua PSW sebagai Moderator dalam acara Bedah Buku dengan judul Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali-Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam. Penulis Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra. Pembahas Prof. Dr. Hj. Huzaemah Y. Dan Neng Jubaedah, SH, MA.

    10 May 2005, Untuk Memperingati Hari Kartini 2005 - Peluncuran Jurnal Perempuan No. 40 dan diskusi dengan topik: Perempuan dalam Bencana. Diselenggarakan oleh Kementrian pemberdayaan Perempuan, Jurnal Perempuan, Exxon Mobil, UNFPA.

    Dalam rangka People Speak 2005 PSW IIQ akan berpartisipasi mengadakan dialog dengan Universitas di Amerika melalui Videoconference yang disponsori oleh American Informed for Democracy (AID). Direncanakan pada tanggal 27 September 2005 waktu Jakarta dan 26 September 2005 waktu Amerika bertepatan dengan peringatan sembilan bulan Tsunami dengan tema Poverty, hunger and health.
    Saat ini menyiapkan proposal pengkajian hukum bisnis syariah bekerja sama dengan Pusat Komunikasi ekonomi Syariah (PKES). Selain itu melakukan penelitian dalam rangka pelurusan beberapa buku yang tidak berperspektif gender. Mengkaji kemungkinan kerja sama pertukaran mahasiswa dengan Murdoch University Australia untuk jurusan Indonesia. Mengkaji kerjasama antar universitas misalnya pertukaran tenaga pengajar dengan universitas Amerika.
    Menjajaki untuk dapat berpartisipasi dalam World Value Survey 2005. Mengkaji Peraturan perundang-undangan Sisdiknas dan Rancangan Peraturan Pemerintah.Mengkaji buku untuk Jurnal Nida’ Qur’an Whose Science whose knowledge dari perspektif kehidupan perempuan. Karya Sandra Harding.

READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 11:05 AM | 0 comments