Search in the Quran
Search in Quran:
in
Download Islamic Softwares (FREE)
Get Free Code
Powered by www.SearchTruth.com
Search Islamic Directory
Keyword:
Free Web Counter
hit Counter Credits

    Powered by Blogger

    My Daily Thoughts

Friday, March 31, 2006

Ibrahim Hosen

Ibrahim Hosen

From World History

(1917–2001), Indonesian religious figure. Ibrahim, a son of Hosen bin Abdul Syukur, emerged as a colorful religious figure in Indonesia, with bold and unorthodox opinions. He was born in the South Sumatran town of Bengkulu to a Bugis father and a South Sumatran mother. During Ibrahim's early years, his father took the family first to Jakarta and Singapore, where he was in the retail business, and then to Lampung in South Sumatra, where he ran a religious school. Ibrahim's four-year stay in Singapore as a child and pupil at the As-Sagaf School left a strong imprint on his worldview, which tended to be tolerant, open-minded, modern, and pluralist. In 1934 he went to Java for further study of the Qur'an, Islamic law, Arabic literature, and rhetoric. According to his biographers, Ibrahim met and studied under a number of religious scholars and Hadrami (Yemeni Arab) teachers in Java.
After one year of study and travel in Java, Ibrahim returned to South Sumatra. In 1939, for the first time, he successfully represented an established school of Islamic law in a debate, defending its stance on many social and religious issues. During the rapid political disruption in the 1940s, precipitated by the Japanese occupation of Indonesia during the Pacific War and the return of the Dutch, Ibrahim, as a religious scholar-cum-official, energetically took part in socioreligious and political activities in the region of Bengkulu, his native town. He married twice, in 1946 and again in 1948 following the death of his first wife, and had eight surviving children.

In 1955 Ibrahim went to Cairo to study at al-Azhar University. Returning to Indonesia with a degree in Islamic law in 1960, he joined the Department of Religious Affairs in Jakarta. In 1964 he was appointed rector of the newly opened State Institute of Islamic Studies in Palembang.

Following the major political changes in Indonesia in the mid-1960s in the wake of the purge of the Indonesian Communist Party and the rise to power of Suharto, Ibrahim began a major career as a national figure. In 1966 he moved to Jakarta, assuming the post of bureau chief in the Department of Religious Affairs. He continued to occupy an important post in the department until his retirement in 1982. At the same time, capitalizing on his credibility as a religious figure and official, Ibrahim won financial support from many wealthy sponsors to institute and lead two centers of higher learning for Qur'anic studies in South Jakarta, one for men, in 1971, and another for women, in 1977.

Ibrahim was appointed to the chairmanship of the Indonesian Council of Religious Scholars in 1980. Here he found an official platform from which to launch his religious views, considered by many Indonesians to be innovative but also controversial, on account of his toleration of beer drinking, bank interest, the lottery, and contraceptive devices. Although Ibrahim did not write major works detailing his jurisprudential principles, religious philosophy, or reformist ideas, he responded to the religious controversies that occupied the minds of many Indonesian Muslims.

Ibrahim's religious interpretations arose in the context of the nature of Islam in Indonesia, with its often-declared openness, moderation, tolerance, and pluralism. He responded positively to the tolerance and open-mindedness of his countrypeople, and at the same time he saw the religious justification for many practices under scrutiny, such as those mentioned. This religious predilection, not surprisingly, annoyed or even angered many religious leaders who strictly adhered to scripture. At some point, he was even branded a religious scholar who could be hired to issue legal opinions or a religious scholar who always supported government policy.

Ibrahim himself claimed that his approach to any issue was based on the Islamic legal principle of permissibility; that is, that all matters are inherently permissible. Only when there are specific and unequivocal prohibitions in Islam does such permission end. Considering his religious and educational background, Ibrahim can be seen to belong to a scholarly tradition that tackles religious issues on the basis of Islamic jurisprudence, or a legalistic approach. All his references and quotations may be traced to earlier opinions of Muslim jurists or their equivalents. Not surprisingly, he claimed that his legal opinions were not novel, let alone un-Islamic, since his rulings were based on earlier, established scholarly opinion.

Further Reading

Federspiel, Howard M. (1992) Muslim Intellectuals and National Development in Indonesia. New York: Nova Science.

Gibson, Thomas. (2000) "Islam and the Spirit Cults in New Order Indonesia: Global Flows vs. Local Knowledge." Indonesia 69 (April): 41–70.

Ratno, Lukito. (1999) "Law and Politics in Post-Independence Indonesia: A Case Study of Religious and Adat Courts." Studia Islamika 6, 2: 63–86.

This is the complete article.

There are 762 words (approx. 3 pages at 300 words per page) in Hosen, Ibrahim.
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 8:22 AM | 0 comments

Wednesday, March 22, 2006

SAKSI

SAKSI SEBAGAI BUKTI DI DEPAN HAKIM
DI PENGADILAN TIDAK MEMBEDAKAN
JENIS KELAMIN
Oleh : Drs. Anshori, Lc, M.Ag. Ketua LPPI-IIQ
A. Pendahuluan
Dalam islam ada beberapa isu kontroversi berkaitan dengan relasi jender, antara lain, asal usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak hak reproduksi, hak thalaq perempuan serta peran publik perempuan.[1]
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi subtansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender.[2]
Penulis sepakat untuk meninjau kembali penafsiran ayat-ayat yang bernuansa jender dalam rangka pemberdayaan perempuan dan sekaligus untuk meluruskan pandangan negatif tentang perempuan yang selama ini telah mendominasi pandangan kebanyakan masyarakat manusia. Namun kita harus hati-hati dalam meluruskannya, jangan sampai membuat bias baru yang juga mengatasnamakan ajaran islam.
Arief Subhan mengutip pendapat Muhammad Quraish Shihab yang menyatakan:”Bahwa masalah korelasi antara ayat-ayat al-qur’an, ini layak mendapat perhatian khusus. Menurut Muhammad Quraish Shihab, setidak- tidaknya ini dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, salah satu isu tentang al-qur’an yang sering terdengar sumbang, kedua, terjadinya penafsiran al-qur’an yang bersifat parsial.”[3]
Masalah metodologi penafsiran al-qur’an menurut Muhammad Quraish Shihab merupakan lapangan yang paling mendesak untuk diadakan semacam pembaharuan, sebab sejauh ini para ulama masih bertengkar dalam soal ini. Di kalangan para pembaharu menurutnya membawa pemahaman baru, tetapi kebanyakan tanpa dibarengi oleh metodologi yang jelas, bahkan kesan dia, mereka memahami al-qur’an tidak utuh.[4]
Muhammad Mutawally Sya’rawi mengatakan:”Apabila suatu jenis makhluk yang bernama manusia dibagi dua jenis kelamin, maka harus kita yakini bahwa pembagian jenis itu semata-mata hanyalah merupakan pembagian tugas, dan setiap jenis mempunyai kekhususan, fungsi, kedudukan dan tugas masing masing. Apabila tugas dan kepentingan keduanya sama, tentunya cukup satu jenis saja. Sebagai contoh waktu dan zaman ada siang dan malam. Sebahagian orang mengira, bahwa siang dan malam adalah berlawanan, yang satu terang dan yang satu gelap. Padahal keduanya tidak berlawanan, siang bukan untuk melawan malam, begitu juga sebaliknya. Antara keduanya tidak bisa dicari perbandingannya. Masing-masing melaksanakan tugas yang tidak bisa dilakukan oleh yang lain. Sebagaimana (Q.S.Yunus/10 : 67).[5]
Menurut Muhammad Quraish Shihab:”Sangat sulit untuk menyatakan bahwa perempuan sama dengan laki-laki, baik atas nama ilmu pengetahuan maupun agama. Adanya perbedaan antara kedua jenis manusia itu harus diakui, suka atau tidak. Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan laki-laki dan bukan perempuan. Kaidah yang menyatakan” fungsi/peran utama yang diharapkan menciptakan alat, masih tetap relevan untuk dipertahankan. Tajamnya pisau dan halusnya bibir gelas, karena fungsi dan peran yang diharapkan darinya berbeda ! Kalau merujuk teks keagamaan baik al-Qur’an maupun hadis ditemukan tuntunan dan ketentuan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, fungsi dan tugas yang dibebankan mereka.[6]
Mengingat banyaknya permasalahan yang perlu dibahas dalam kaitan ayat-ayat yang bernuansa jender, maka dalam tulisan ini penulis membatasi hanya satu masalah yaitu tentang “Saksi sebagai alat bukti di depan hakim di Pengadilan tidak membedakan jenis kelamin.”
B. Pengertian Saksi
Saksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:”Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu pristiwa (kejadian), orang yang diminta hadir pada suatu pristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa pristiwa itu sungguh terjadi, orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa, orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan.[7]
Sedangkan menurut Muhammad Quraish Shihab:”Saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat suatu pristiwa –katakanlah tabrakan- maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu anda telah dapat dinamai saksi walaupun belum lagi melaksanakan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat berarti. Janganlah orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila mereka diminta. Memang banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu mereka perlu dihimbau. Printah ini adalah anjuran, apalagi jika sudah ada orang lain yang memberi keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya muthlak untuk menegakkan keadilan. [8]
C. Pendapat para pakar tentang saksi laki-laki dan perempuan
Ayat persaksian yang sering disoroti oleh para pakar jender adalah Q.S.al-Baqarah/2 :282 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (البقرة/2 : 282 )
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Menurut Amina Wadud bahwa maksud (Q.S.al-Baqarah/2 :282) adalah dua wanita tidak disebut saksi. Satu wanita ditunjuk untuk mengingatkan satunya lagi dia bertindak sebagai teman kerja sama (kolaborator). Meskipun wanita itu ada dua, masing masing berbeda fungsinya. Kemudian dia meruzuk Fazlur Rahman yang keberatan penerapan ayat ini secara harfiyah dalam semua transaksi di kemudian hari… Dengan demikian, ayat ini penting bagi keadaan tertentu yang bisa, dan sudah menjadi usang.[9]
Pembatasan mengenai transaksi finansial ini tidak berlaku pada persoalan lain. Permintaan akan dua wanita dan satu laki-laki untuk menjadi saksi perjanjian finansial bukanlah peraturan umum untuk partisipasi wanita, bahkan tidak untuk semua kesaksian. Permintaan lain untuk saksi hendaknya tidak untuk jender tertentu. Jadi siapa saja yang dianggap mampu menjadi saksi berhak menjadi saksi.[10]
Alasan Aminah Wadud dua orang perempuan dalam (Q.S.al-Baqarah/2:282) tersebut bukan sebagai saksi kurang jelas alasannya, karena dia berangkat bukan dari teks, tapi dari kondisi sosial masyarakat.
Nampaknya Aminah Wadud menggunakan metode bottom up yang sejalan dengan tafsir emansipatoris yang mengubah strategi top down ala tafsir teosentris menjadi bottom up yang mana tafsir tidak lagi berangkat dari teks, akan tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan.[11]
Sedangkan mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat menggunakan instrumen العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب yaitu berangkat dari teks, lalu mencari hikmah melalui ilmu-ilmu lainnya. Maka dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan dalam ayat itu tidak bisa diartikan lain kecuali apa adanya dalam teks.
Menurut Zaitunah Subhan:”Bahwa saksi merupakan salah satu alat bukti untuk dijadikan pertimbangan hukum dalam memutuskan suatu perkara. Maka al-qur’an berbicara mengenai persaksian ini secara gamblang. Namun dikalangan ulama masih ada saja perbedaan pendapat dalam masalah persaksian ini, sperti Zaitunah Subhan mengatakan:”Jika yang dimaksudkan al-Qur’an bahwa dua orang wanita diperlakukan sejajar dengan satu pria, di manapun masalah kesaksian ada (muncul), al-Qur’an akan memperlakukan wanita dengan cara yang sama. Namun, kenyataan yang ada tidak demikian. Dalam al-Qur’an terdapat tujuh ayat yang berkenaan dengan pencatatan kesaksian ini, yaitu Q.S.al-Baqarah/2 :282, al-Nisa/4 : 15, al-Maidah/5 :106, al-Nur/24 :4,6 dan 13 dan al-Thalaq/65:2, tetapi tidak satupun yang menetapkan bahwa dua orang saksi wanita sebagai pengganti satu saksi laki-laki.[12]
Namun penulis juga tidak melihat ayat-ayat yang disebutkan Zaitunah Subhan mempersamakan kesaksian laki-laki dan perempuan, justru yang terlihat adalah kesaksian laki-laki karena ayat-ayat tersebut menggunakan bilangan muannats (perempuan) yang menurut tata bahasa arab ma’dud (yang dibilang/dihitung) adalah mudzakar (laki-laki).
Kemudian selanjutnya Zaitunah mengatakan:”Karena pria dan wanita itu punya setatus yang sama, maka tentu menjadi saksi itu boleh pria atau wanita. Formula satu pria dan dua wanita merupakan suatu pengecualian khusus untuk transaksi bisnis, tidak dapat diperluas pada kesaksian kesaksian yang lain, disamping juga kini sudah banyak kaum wanita yang ahli di bidang bisnis. Masihkah ayat ini relevan ? Apakah masih diinterpretasikan dan diterapkan seperti zaman dahulu ? Kesaksian kesaksian yang disebutkan al-Qur’an tidak menentukan bahwa para saksi itu harus pria, misalnya dalam surat al-Maidah/5:106 (tentang kesaksian dalam wasiat). Kemudian surat al-Nisa/4 :15, al-Nur/24 :4, dan al-Thalaq/65 :2 tentang kesaksian dalam pembuktian perzinaan. [13]
Penulis sepakat dengan pernyataan Zaitunah Subhan yang menyatakan, bahwa tidak semua persaksian dua wanita dipersamakan dengan satu pria, tapi penulis tidak sepakat ketika Zaitunah mempertanyakan relevansi Q.S.al-Baqarah/2 :282 dengan konteks sekarang. Karena sama halnya menolak firman Allah, padahal Allah sudah jelas menegaskan dalam memberi kesaksian dalam utang piutang itu harus 2 orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Hal ini sejalan dengan pendapat M.Quraish Shihab yang menyatakan:” Kata saksi yang digunakan ayat ini شهيدين bukan شاهدين Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada-menurut Muhammad Quraish Shihab- yakni kalau bukan dua orang laki laki, maka boleh seorang laki laki dan dua orang perempuan dari saksi saksi yang kamu ridhoi, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.[14]
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab melontarkan pertanyaan, mengapa kesaksian dua orang laki laki, diseimbangkan dengan satu laki laki dan dua orang perempuan. Yakni seorang laki-laki diseimbangkan dengan dua orang perempuan ? Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa, maka seorang lagi, yakni menjadi saksi bersamanya mengingatkannya. Mengapa kemungkinan itu disebutkan dalam konteks kesaksian wanita. Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang, seperti diduga sementara ulama ? Atau karena emosinya sering tidak terkendali ? Menurut Muhammad Quraish Shihab tidak ini dan tidak itu. Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya.[15]
Muhammad Quraish Shihab selanjutnya menegaskan:”Al-Qu’an dan as-Sunah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria, suami dan isteri. Suami bertugas mencari nafkah dan di tuntut untuk memberi perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak-anak dan isterinya. Sedang tugas utama wanita atau isteri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Tidak jarang isteri para sahabat Nabi Muhamad saw. ikut bekerja mencari nafkah, karna suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang melakukan aktifitas dirumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut diatas, dan perhatian berbeda yang di tuntut terhadap masing-masing jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tanga, pastilah lebih kuat dari pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak tertuju kepada kerja, perniagaan termasuk hutang-piutang. Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan diatas ditetapkan. Dan karna Al-Qur’an menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tanga, atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini,wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang, baik karna suami tidak mengijinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria, karna itu demi menguatkan persaksian 2 orang wanita di seimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.[16]
Kemudian kata الفاحشة dalam Q.S.al-Nisa/4 : 15 bukan berarti berjina, atau orang yang melakukan homo seksual, tapi mereka yang mendatangi tempat tempat yang sangat buruk, wanita wanita yang mengunjungi tempat tempat tidak terhormat, hendaknya ditahan di rumah sampai mati, atau Allah memberi jalan keluar baginya berupa perkawinan.Wanita ditahan sedangkan pria tidak ditahan, tapi dicemoohkan, karena wanita tidak berkewajiban bertebaran di bumi mencari rizki, dan dengan demikian keberadaannya di rumah tidak membawa dambak negatip bagi diri atau keluarganya, berbeda dengan pria yang harus keluar mencari rizki.[17]
Kemudian pernyataan Zaitunah bahwa formula satu pria dan dua wanita hanya berlaku khusus pada transaksi bisnis, justru pada Q.S.al-Nisâ’/4 :15 tidak menyebut wanita sama sekali, tapi menyebut 4 saksi laki laki.
Hal ini kata Muhammad Quraish Shihab:”Terlihat dari kata اربعة dipahami, bahwa saksi itu laki laki, karena bila yang dimaksud saksi itu wanita, tentu menggunakan kata اربع tanpa ada huruf ta al-marbuthah , karena dalam kaidah bahasa arab, bila yang dihitung adalah wanita maka bilangan harus menggunakan bentuk mudzakar, dan sebaliknya jika yang dihitung adalah mudzakar, maka bilangan harus menggunakan bentuk muannats, sedangkan dalam ayat diatas menggunakan bilangan muannats, berarti yang dihitung adalah mudzakar (laki-laki).[18]
Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip perkataan al-Zuhri:” Telah berlalu masa Rasul saw. dan kedua Khalifah sesudah beliau, kebiasaan tidak menerima persaksian wanita dalam sanksi-sanksi yang bersifat hudud. Ini karena sejak semula al-Qur’an dan Sunnah bermaksud menghindarkan wanita dari tempat-tempat mesum, apalagi menyaksikan kedurhakaan yang sangat buruk.[19]
Begitu juga dalam Q.S.al-Nûr/24 : 13 mengenai para penyebar isu juga menggunakan kata اربعة yang tentunya saksi itu bukan perempuan, tapi laki laki, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Sedangkan Q.S.al-Maidah/5 :106 menurut sebab nuzul ayat ini adalah kasus Tamim al-Dari dan Adi Ibnu Badda keduanya adalah laki laki, mereka berdua sering mondar mandir ke Makkah. Suatu ketika mereka berdua ditemani oleh seorang pemuda dari Bani Sahm, bernama Budail Ibnu Abi Maryam menuju ke Syam. Dalam perjalanan pemuda itu jatuh sakit dan meninggal dunia, di suatu daerah yang tidak berpenduduk muslim. Sebelum wafatnya ia berwasiat kepada Tamim dan Adi agar menyerahkan harta peninggalannya kepada keluarganya, dengan menyertakan sepucuk surat yang menjelaskan barang barang yang ditinggalkannya. Salah satu diantaranya adalah wadah yang terbuat dari ukiran perak berwarna warni. Tamim dan Adi yang tidak mengetahui tentang surat itu menjual wadah tersebut dan menyerahkan sisa harta wasiat Budail kepada keluarganya. Ketika keluarga Budail menanyakan tentang wadah yang terbuat dari perak itu, Tamim dan Adi mengingkarinya, maka Nabi saw. menyumpah keduanya. Tidak lama kemudian yang hilang itu ditemukan pada seorang yang mengaku membelinya dari Tamim dan Adi. Keluarga Budail datang kepada Nabi saw. dan bersumpah bahwa kesaksian mereka lebih wajar diterima dari sumpah Tamim dan Adi. Maka Rasul saw. membenarkan dan memberi wadah tersebut kepada keluarga yang meninggal itu. Dalam riwayat lain diinformasikan bahwa Adi mengembalikan uang harga wadah yang dijualnya kepada ahli waris yang berhak menerimanya.[20]
Begitu juga Q.S.al-Nur/24 : 4, mengenai tuduhan berbuat zina menggunakan kata اربعة tidak dengan kata اربع yang berarti saksinya adalah laki laki.
Menurut hemat penulis semua ayat yang diungkapkan Zaitunah diatas tidak ada indikasi menyamakan saksi laki laki dan wanita, bahkan terkesan pada ayat- ayat tersebut semua saksi itu kaum lelaki.
Bahkan pernyataan Zaitunah diatas dia masih bimbang, dari satu sisi dia meralat pernyatan dia diatas, dari sisi lain dia meyakini adanya perbedaan laki laki dan perempuan dalam persaksian walaupun dia hanya memberlakukan dalam masalah transaksi bisnis, tapi dalam kesimpulan pernyataannya tetap dia mempertanyakan relevan dan tidaknya surat al-Baqarah/2: 282 untuk diterapkan seperti dahulu kala.
Penulis meragukan pernyataan Zaitunah yang masih bingung karena dia masih mempertanyakan relevansi ayat tersebut dengan kondisi sekarang, tapi tidak didukung dengan argumen yang kuat, penulis justru hawatir bila kebenaran muthlak itu diukur dengan hawa nafsu (keinginan seseorang) bukan mengacu kepada al-qur’an, sebagaimana ditegaskan Allah surat al-Mu’minun/23 :71 :
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ(.المؤمنون/23 : 71 )
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.
Memang dalam teks para ahli fiqih ada juga permasalahan yang cukup hanya disaksikan oleh seorang wanita, seperti masalah yang tidak boleh dilihat oleh kaum lelaki seperti melahirkan anak, keperawanan wanita dan aib-aib wanita yang lainnya yang tidak boleh dilihat oleh kaum pria.[21]
Memang ada ayat yang mempersamakan kesaksian antara laki laki dan perempuan seperti persaksian dalam masalah Li’an yang terdapat dalam (Q.S.al-Nur/24 :6-9) yaitu :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ(6)وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ(7)وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ(8)وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ(9 ( ( النور/24 : 6-9 )
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Kemudian Zaitunah Subhan mengatakan:”Jika kita melihat dari segi penggunaan bahasa, kata mudzakar tidak secara otomatis menunjuk pria, tanpa adanya penghususan, karena dalam bahasa arab kata mudzakar berlaku untuk pria dan wanita.[22]
Tapi sayangnya Zaitunah tidak mencontohkan kata mudzakar yang diartikan wanita, karena dalam tata bahasa arab semua kata mudzakar hanya dipergunakan untuk ma’na pria, begitu juga dalam al-qur’an setiap kata dzakar hanya diartikan pria, lain halnya dengan kata رجل memang bisa diartikan tokoh atau nenek moyang tentu tidak terbatas pada laki laki, melainkan bisa juga perempuan.
Anwar Jundi mengatakan:”Bahwa persaksian dua wanita sama dengan persaksian satu orang pria. Hal ini karena mempertimbangkan sifat kewanitaannya yang lemah lembut dan halus.”[23]
Menurut Muhammad Imarah:”Bahwa semua pendapat diatas mencampuradukkan antara الشهادة dan kata الاشهاد karena kata الشهادة adalah alat bukti yang dijadikan pegangan oleh Hakim dalam menyingkap keadilan yang didasarkan alat bukti kesaksian. Untuk melepaskan tuduhan tidak bisa alat bukti kesaksian itu ukuran diterima dan tidaknya diambil dari laki-laki atau perempuan, melainkan ukurannya adalah terpenuhinya keyakinan Hakim untuk membenarkan bukti kesaksian itu, tanpa melihat jenis orang yang menjadi saksi, apakah dia laki laki atau perempuan, tanpa melihat jumlah saksi. Sehingga apabila Hakim sudah yakin hatinya bahwa bukti itu sudah jelas, apakah dia berpegang pada kesaksian dua orang laki laki, atau dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan seorang perempuan, seorang laki-laki dan dua orang perempuan, seorang perempuan dan dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki atau seorang perempuan tidak terpengaruh laki-laki atau perempuan dalam kesaksian, yang digunakan Hakim adalah bukti yang nyata.[24]
Sedangkan Q.S.al-Baqarah/2 : 282 berbicara tentang masalah lain, bukan kesaksian dihadapan hakim, tapi berbicara tentang الاشهاد memberi kesaksian pada pemilik hutang untuk mengukuhkan ingatan atas hutangnya, bukan bukti kesaksian yang dipegang teguh oleh hakim dalam memutuskan antara persengketaan kedua belah pihak. Ayat tersebut hanya ditujukan kepada pemilik hutang, bukan kepada hakim, bahkan tidak ditujukan kepada semua pemilik hutang dan juga tidak dipersyaratkan harus sama jumlahnya dalam segala hal utang piutang, melainkan hanya ditujukan kepada pemilik hutang secara khusus.[25]
Dan kata الاشهاد memberi kesaksian dalam masalah hutang piutang harus dilakukan 2 orang laki-laki beriman, atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, persyaratan ini tidak diminta dalam perdagangan modern. Pemahaman yang demikian dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H./1263-1328 M), oleh muridnya Ibnu al-Qoyyim (691-751 H./1292-1350 M.), Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M.) dan Mahmud Syaltut (1310-1383 H./1893-1963).[26]
Muhammad Imarah mengutip perkataan Ibnu Taimiyah:”Bahwa al-qur’an tidak menyebut dua saksi lelaki atau satu laki-laki dan dua perempuan dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh hakim, melainkan al-qur’an menyebutkan dua macam pembuktian (Q.S.al-Baqarah/2 : 282). Dalam ayat ini Allah memerintahkan mereka dalam rangka menjaga hak mereka dengan dua cara pertama, ditulis dan kedua dengan cara kesaksian dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.[27]
Semua ini merupakan nasehat untuk mereka, dan mendidik serta petunjuk bagi mereka yang ingin menjaga hak haknya. Menjaga hak merupakan sesuatu dan hakim memutuskan hukum dengan sesuatu merupakan hal yang lain pula. Maka cara memutuskan hukum lebih luas dari kesaksian dua orang laki-laki atau dua orang perempuan.[28]
Seorang hakim dibolehkan memutuskan hukum dengan kesaksian seorang laki-laki, jika seorang laki-laki itu diyakini benar dalam masalah selain pidana. Allah mewajibkan hakim agar memutuskan hukum hanya dengan dua saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Ini bukan berarti hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan cara lebih sedikit dari yang ditetapkan. Karena Rasulullah- sebagai hakim- memutuskan hukum dengan seorang saksi laki-laki dan sumpah, bahkan dengan seorang saksi laki-laki saja, hal itu tidak dianggap menyalahi kitab Allah bagi yang mengerti, karena tidak ada penjelasan hukum Allah dan hukum Rasulullah itu bertentangan. Seperti Nabi saw menerima kesaksian seorang Baduwi melihat bulan di dalam bulan Ramadhan (Ru’yatu al-Hilal), begitu juga Nabi saw.menerima seorang saksi laki-laki dalam masalah perhiasan orang yang terbunuh, kesaksian seorang dokter yang adil dalam masalah orang yang kena luka dapat diterima.[29]
Nabi saw. menerima kesaksian seorang perempuan dalam masalah menyusui, dia bersaksi atas perbuatannya sendiri tentang kasus Uqbah Ibnu al-Haris, bahwa dia mengawini Ummu Yahya Binti Abi Ihab, lalu datang seorang budak hitam, lalu dia mengatakan:”Saya telah menyusui anda berdua, lalu hal itu diadukan kepada Nabi saw., Nabi meminta memaparkan kepadanya, lalu dia memaparkannya kepada Nabi saw., Nabi bersabda :”Bagaimana dia sudah mengakui, bahwa dia telah menyusui kamu berdua.[30]
Nabi Muhammad juga menerima kesaksian seorang wanita dalam masalah hudud (pidana) seperti kasus seorang wanita diperkosa oleh seorang laki-laki, sebagaimana ditegaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud yang berbunyi :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا الْفِّرْيَابِيُّ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ امْرَأَةً خَرَجَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُرِيدُ الصَّلَاةَ فَتَلَقَّاهَا رَجُلٌ فَتَجَلَّلَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا فَصَاحَتْ وَانْطَلَقَ فَمَرَّ عَلَيْهَا رَجُلٌ فَقَالَتْ إِنَّ ذَاكَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا وَمَرَّتْ عِصَابَةٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ فَقَالَتْ إِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا فَانْطَلَقُوا فَأَخَذُوا الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَّتْ أَنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا فَأَتَوْهَا بِهِ فَقَالَتْ نَعَمْ هُوَ هَذَا فَأَتَوْا بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَمَرَ بِهِ قَامَ صَاحِبُهَا الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا صَاحِبُهَا فَقَالَ لَهَا اذْهَبِي فَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكِ وَقَالَ لِلرَّجُلِ قَوْلًا حَسَنًا قَالَ أَبُو دَاوُد يَعْنِي الرَّجُلَ الْمَأْخُوذَ وَقَالَ لِلرَّجُلِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا ارْجُمُوهُ فَقَالَ لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ لَقُبِلَ مِنْهُمْ قَالَ أَبُو دَاوُد رَوَاهُ أَسْبَاطُ بْنُ نَصْرٍ أَيْضًا عَنْ سِمَاكٍ [31]
Artinya:”Muhammad Bin Yahya Bin Faris menceritakan kepada kami, al-Faryabi menceritakan kepada kami, Israil menceritakan kepada kami, Simak Bin Harb menceritakan kepada kami dari Alqamah Bin Wail dari Ayahnya:”Bahwa seorang wanita pada masa Nabi saw. keluar rumah untuk menunaikan sholat, lalu seorang laki-laki bertemu dengan perempuan tersebut, lalu seorang laki-laki itu memperdayakannya dan menodai wanita tersebut, lalu wanita itu bertreak kemudian laki-laki itu lari, ketika laki-laki itu melewati wanita tersebut, wanita itu berkata:”Bahwa itu orang yang menodai saya begini begitu, lalu sekelompok kaum Muhajirin lewat, maka perempuan itu mengadu kepada kaum Muhajirin tersebut, bahwa laki laki itu yang menodai saya begini begitu, lalu kaum Muhajirin itu mengejar dan menagkap laki-laki yang diduga bahwa dia pelaku pemerkosaan, lalu mereka membawanya kepada wanita tersebut, dan wanita itu mengatakan:”Benar bahwa dia ini pelakunya, kemudian mereka membawanya kepada Rasulullah saw., ketika Rasulullah memerintahkan untuk dirajam, pelaku pemerkosaan yang sebenarnya berdiri sambil mengatakan:”Wahai Rasulullah, (bukan dia) pelakunya, sayalah pelakunya, lalu Rasulullah bersabda:”Pergilah wahai wanita, mudah mudahan Allah mengampuni kamu, dan Rasulullah saw. bersabda kepada laki-laki itu, kamu telah mengatakan dengan baik, Abu Dawud mengatakan:”Yang dimaksud adalah laki-laki yang dibawa, dan Rasulullah saw. mengatakan kepada laki-laki yang melakukan pemerkosaan, rajamlah dia, lalu bersabda:”Sungguh dia bertaubat, seandainya penduduk Madinah menerima taubatnya, maka dia akan diterima oleh mereka.” Abu Dawud mengatakan:”Asbath Bin Nashr juga meriwayatkannya dari Simak.”
Muhammad Imarah mengutip perkataan Muhammad Abduh:”Bahwa kesaksian dua orang wanita, dengan alasan bahwa wanita itu lupa, kurang tepat, yang benar karena wanita dalam bidang bisnis pada umumnya ingatannya lemah, lain halnya dalam bidang rumah tangga tentu wanita bidangnya, maka wanita lebih kuat ingatannya dalam bidang rumah tangga dibanding kaum laki laki. Artinya bahwa tabiat manusia baik laki laki maupun perempuan, dia akan kuat ingatannya terhadap masalah yang memang bidangnya.[32]
Perbedaan kesaksian antara laki laki dan perempuan dalam masalah utang piutang dan perdagangan (bisnis) (Q.S.al-Baqarah/2 :282) dengan alasan tabiat wanita dalam masalah bisnis cepat lupa, bukan tabiat umumnya wanita, tapi wanita wanita tertentu saja. Dan dalam permasalahan tertentu yaitu masalah bisnis, sebagai bukti :
Persaksian dalam masalah bisnis terdapat dalam Q.S.al-Baqarah/2 : 282 untuk menjegah perselisihan dan persengketaan dibuat 2 sarana yaitu ditulis dan disaksikan oleh 2 orang lakilaki atau seorang laki laki dan dua orang perempuan.
Persaksian dalam masalah selain bisnis, tidak ada perbedaan antara laki laki dan perempuan (Q.S.al-Thalaq/65 : 2) dan Q.S.al-Maidah/5 :106) saksi dalam masalah thalaq dan wasiat tidak dipersyaratkan seperti dalam masalah bisnis, namun dipersyaratkan adil, sedangkan adil dalam kesaksian mencakup laki laki dan perempuan, begitu juga jumlah dua orang merupakan lafadh umum yang mencakup laki laki dan perempuan.
Kesaksian dua orang laki laki atau seorang laki laki dan dua orang perempuan dalam masalah bisnis, oleh Mahmud Syaltut sebagai petunjuk pada waktu transaksi bisnis, bukan kapasitas sebagai saksi di pengadilan.
Bahwa saksi itu hanya untuk mengukuhkan dan menjaga hak, maka ketika tidak terpenuhi jumlah yang dikehendaki al-Qur’an, tentu cukup seorang saksi seperti yang dilakukan Rasulullah.
Perbedaan dalam kesaksian antara laki laki dan perempuan tidak berarti memberikan keistimewaan kepada laki laki, karena dalam kondisi tertentu syari’at islam hanya menerima kesaksian wanita semata, seperti untuk mengukuhkan kelahiran anak dari ibunya.
Perbedaan kesaksian antara laki laki dan perempuan dalam bisnis, bukan untuk membedakan laki laki dan perempuan. Karena Allah menjadikan saksi dalam masalah perzinaan adalah 4 orang laki laki, bukan berarti menurunkan derajat laki laki, melainkan untuk menjaga kehormatan wanita dan menjaga kemulyaannya
Syari’at islam ketika membedakan antara laki laki dan perempuan dalam kesaksian, maka perbedaan keduanya didasarkan kepada kehususan tabi’at manusia masing masing, dan jika syari’at islam menyamakan antara laki laki dan perempuan dalam satu masalah, maka hal itu dalam rangka kemaslahatan dan keadilan manusia, bukan untuk kemaslahatan wanita saja.[33]
Namun ada sebahagian pakar kontemporer tidak menggunakan metodologi yang benar, sehingga mereka mudah saja mengatakan ayat al-qur’an sudah tidak relevan, yang berarti tidak mengakui keberadaan ayat al-qur’an. Sementara Muhammad Quraish Shihab, menganggap semua ayat tetap eksis sampai hari qiamat. Sekalipun ayat itu sudah tidak relevan seperti ayat perbudakan, maka dikemudian hari mungkin saja ayat itu diberlakukan kembali. Hal ini juga sejalan dengan al-Marhum Prof.K.H.Ibrahim Hosen,LML ketika menanggapi tulisan Prof.Munawir Syadzali yang menyatakan:”Umar Bin al-Khaththab dianggap melanggar ayat, karena menghilangkan muallaf sebagai salah seorang yang berhak menerima zakat.”
Menurut Prof.K.H.Ibrahim Hosen,LML Umar Bin al-Khaththab tidak melanggar ayat, namun menurut dia wadah hukum yang tidak ada, maka jika muallaf sebagai wadah hukum timbul kembali, maka bagian muallaf ditimbulkan kembali.
D. Kesimpulan
Dari uraian diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
Saksi di hadapan Hakim di pengadilan tidak harus laki-laki, dan tidak berdasarkan jumlah tertentu tetapi harus sesuai dengan profesionalisme saksi itu sendiri.
Perbedaan pendapat para pakar memahami teks ayat tentang persaksian disebabkan dua faktor yaitu :
Perbedaan instrumen diantara para pakar, sebahagian berangkat dari teks, lalu mencari pembenran teks dengan hadis dan ilmu-ilmu yang lain, sedangkan sebahagian yang lain berangkat dari realitas sosial masyarakat, lalu mencari teks ayat atau hadis sebagai pendukungnya.
Sebahagian ulama mencampuradukkan antara memberi kesaksian di depan Hakim di pengadilan dan saksi sebagai alat bukti di depan hakim di pengadilan.




DAPTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman Wahid, at.al., Menakar Harga Perempuan, Bandung : Mizan, 1999
2. Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi, Tata Kehidupan Wanita Dalam Syari’at Islam, Jakarta : Wahyu Press, 2003
3. Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mesir : Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby Wa Awladih, 1974
4. Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, terjemahan Abdullah Ali, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001
5. Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, terjemahan Ahsin Wijaya, Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1989
6. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990
7. Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huquq al-Mar’ah Fi al-Mujtama al-Islam, Mesir : al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah Li al-Kitab, 1986
8. Ibtibsyarah, Hak Hak Perempuan Dalam Relasi Jender Pada Tafsir al-Sya’rawi, Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004
9. Majalah Tsaqafah Vol.1. No.3., 2003
10. Muhammad Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan, (Jakarta : Azan, 2001
11. Muhammad Imarah, al-Tahrir al-Islami Li al-Mar’ah, Cairo : Daar al-Syuruq, 1968
12. Muhammad Mutawally Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur’an, terjemahan Abu Abdillah al-Manshur, Jakarta : Gema Insani Press, 1996
13. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta : Lentera Hati,2000, Vol. 2
14. Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terjemahan Sahiron Syamsudin, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2004
15. Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah Wa Syari’ah, Mesir : Daar al-Qalam, 1966
16. Nasaruddin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran al-Qur’an, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin UIN Syahid Jakarta, 2002
17. Shahal Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembahasan Perempuan, terjemahan Khazin Abu Fakih, Surabaya : Era Intermedia, 2001
18. Said Hawa, al-Asas Fi al-Tafsir, Cairo : Daar al-Salam, 1985
19. Sayid Quthub, Fi Dhilal al-Qur’an, Cairo : Dar al-Syuruq, 1982
20. Salim al-Bahnawi, al-Mar’ah Baina al-Islam Wa al-Qawanin al-Alamiyah, Kuwait : Daar al-Wafa, 2003
21. Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, Kata Pengantar Zuhairi Misrawi, Jakarta : P3M, 2004
22. Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir, Bairut : Daar al-Fikr, 1991
23. Yusuf Qardhawi, Kedudukan Wanita Islam,terjemahan Melati Adhi Damayanti, Jakarta :PT.Global Media Publishing, 2003
24. Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Yogyakarta : LKIS, 1999







[1]. Nasaruddin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran al-Qur’an, (Pidato Pengukuan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syahid Jakarta,2002), h. 1
[2]. Ibid. 1
[3] Arief Subhan, Majalah Tsaqafah ,Vol.I. No. 3., 2003, h. 87
[4] . Ibid., h. 88
[5] Muhammad Mutawaly Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur’an, terjemahan Abu Abdillah al-Manshur, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 8
[6] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), Vol.2, h. 350
[7] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), h.770
[8] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. I, h.568
`[9] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, terjemahan Abdullah Ali, (Jakarta :PT.Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 152
[10] Ibid., h. 154
[11] Zuhairi Misrawi dalam kata pengantar buku karya Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, (Jakarta : P3M, 2004), h. xxiii
[12] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, (Yogyakarta : LkiS, 1999), h. 119
[13] Ibid., h. 119
[14] Muhammad Quraish Shihab, Op.Cit., h. 566
[15] Ibid., h. 567
[16] Ibid., h. 567
[17] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol.2, h. 355
[18] Ibid., h. 357
[19] Ibid., h. 357
[20] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 3, h. 229
[21] Mahmud Syaltut, op. cit., h. 250
[22] Ibid., h. 120
[23] Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, Terjemahan Ahsin Wijaya, (Solo :CV.Pustaka Mantiq, 1989), Cet.III, h. 36
[24] Muhammad Imarah, al-Tahrir al-Islami Li al-Mar’ah, (Cairo : Daar al-Syuruq, 1968), h. 71
[25] Ibid., h. 72
[26] Ibid., h. 73
[27] Ibid., h. 74
[28] Ibid., h. 75
[29] Ibid., h. 76
[30] Ibid., h. 77
[31] Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’ats al-Sujistani al-Azadi, Sunan Abi Dawud, (Cairo : Daar al-Hadits, 1999), Jilid IV, h. 1872
[32] Ibid., h. 80
[33] Salim al-Bahnawi, al-Mar’ah Baina al-Islam Wa al-Qawanin al-Alamiyah, (Kuwait : Daar al-Wafa, 2003), h. 182- 184
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 3:31 PM | 0 comments

Friday, March 17, 2006

RENCANA KERJA PSW-IIQ

RANCANGAN PROGRAM KERJA PUSAT STUDI WANITA
TAHUN 2006 – 2010


Jangka pendek (1 tahun): 2006

1. Kajian Qur’an & hadist berperspektif gender LPPI-Civitas
Academika
2. Up-dating blogspot iiq-psw , publikasi PSW mahasiswa,dll
3. Penulisan karya ilmiah untuk jurnal LPPI/MenegPP
4. Pengembangan kurikulum berperspektif gender untuk Smester VII/VIII LPPI
5. Berlangganan Jurnal, membeli buku

6. undangan seminar, workshop, dll. LPPM/LPPI/BEMIIQ/lain2
7. Pelatihan sensitifitas gender (internal IIQ) dengan civitas academica
8. program pertukaran pemimpin muda Islam dengan Australia
9. Video Conference dengan America
10. Sosialisasi laporan hasil program PSW MenegPP, Bimbaga, Diknas dan Civitas Academica

(Kerja sama dengan lembaga lainnya, Pemerintah Daerah DKI dan Banten atau daerah lainnya dalam rangka capacity building)

Jangka Menengah (2 tahun) 2007-2008
1. Menerbitkan Kajian Qur’an dan Hadist berperspektif gender bersama LPPI-civitas
2. Up-dating blogspot iiq-psw. Publikasi bersama mahasiswa,dll.
3. Penulisan Karya Ilmiah untuk jurnal LPPI/Meneg PP
4. Pengembangan kurikulum berperspektif gender Smester VII/VIII dengan LPPI
5. Berlangganan Jurnal, membeli buku
6. Menghadiri undangan seminar, workshop, dll. dengan LPPM/LPPI
7. Pelatihan sensitifitas gender (pengurusPSW) dengan Civitas academica
8. program pertukaran pemimpin muda Islam dengan Australia
9. Video Conference America
10. Sosialisasi laporan hasil program PSW
11. lain-lain
(Kerja sama dengan Pemerintah Daerah DKI, Banten atau daerah lainnya dan lembaga lain dalam rangka capacity building)

C Jangka Panjang (5 tahun)
Memelihara program yang sudah baik
Meneruskan program yang belum terealisasi
Mempunyai home page dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Arab yang mudah di akses
Memiliki Jurnal PSW
Memiliki fasilitas ruangan yang memadai untuk melaksanakan kegiatan PSW sesuai dengan buku panduan
Memiliki pengurus PSW yang handal dalam bidangnya (melalui kaderisasi) sesuai dengan buku panduan
Memiliki dana yang cukup
Dapat mempengaruhi/merekomendasi suatu kebijakan yang melindungi perempuan
9. Meningkatkan kerja sama dengan lembaga lain-lain misalnya dengan Pemerintah Daerah DKI dan Banten (Domisili) atau daerah lainnya dalam rangka capacity building.
Program Kerja PSW dapat dilihat dalam buku Panduan PSW yang dikeluarkan oleh Kementerian Pembedayaan Perempuan, Depdiknas dan Depag (dilampirkan).
Jakarta, 24 Januari 2006
Ketua Pusat Studi Wanit
Nadjmatul Faizah, SH, M.Hum
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 11:44 AM | 0 comments

Thursday, March 16, 2006

Perempuan dalam kutipan Pustaka isnet.org

Kebebasan Wanita Jilid 1
oleh Abdul Halim Abu Syuqqah

Indeks Islam Indeks Wanita Indeks Artikel Tentang Pengarang
ISNET Homepage MEDIA Homepage Program Kerja Koleksi Anggota
Pengantar Dr. Yusuf Qardhawi(Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3)
Bab. I. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PENULISAN BUKU

EMA PENULISAN
METODE PENULISAN BUKU
HASIL-HASIL KAJIAN
Karakteristik Wanita
Pakaian dan Perhiasan
Keterlibatan Wanita dalam Kehidupan Sosial
Keluarga
Bidang Seksual
APAKAH BUKU INI MENGAJAK PADA PETUNJUK?
ANTARA PERINGATAN ALLAH DAN RASUL-NYA DENGAN PERINGATAN KAWAN-KAWAN
Aisyah Menolak Pandangan Umar dan Ibnu Umar
Aisyah dan Ummu Salamah Menolak Pandangan Abu Hurairah dan al-Fadhal bin Abbas
Aisyah Menentang Pandangan Abdullah bin Amru
Aisyah Menentang Pandangan Ibnu Abbas
Ibnu Umar Menentang Pandangan Ibnu Abbas
Ibnu Abbas Menentang Pendapat Zaid bin Tsabit
Imran bin Hushain Menentang Pendapat Umar ibnul Khattab
Ali bin Abi Thalib Menentang Pendapat Utsman bin Affan
Ibnu Abbas Menentang Pendapat Ibnuz Zubair
UCAPAN TERIMA KASIH
DOA DAN PERMOHONAN MAAF
HIMBAUAN KEPADA PEMBACA
Bab. II. KARAKTERISTIK WANITA DALAM AL-QUR'AN
Pasal 1. Sebagian Karakteristik Wanita
PENDAHULUAN
LAKI-LAKI DAN WANITA DARI ASAL YANG SAMA
TANGGUNG JAWAB KEMANUSIAAN SEORANG WANITA
PEMBEBASAN WANITA DARI KEZALIMAN JAHILIAH
PEMBEBASAN WANITA DARI PENGHARAMAN HAL YANG BAIK
WANITA DIJADIKAN HARTA WARIS DAN BENDA, SERTA PENYEMPITAN KEBEBASAN DALAM PERKAWINAN
BURUKNYA HUBUNGAN KEKELUARGAAN AKIBAT PERKAWINAN
PENEGASAN TENTANG KARAKTERISTIK WANITA
KEMANDIRIAN DAN KEMERDEKAAN WANITA UNTUK MEMILIH ANTARA IMAN DAN KUFUR
KEDUDUKAN WANITA DALAM KELUARGA
Wanita adalah Ketenteraman bagi Laki-laki
Kepemimpinan di Tangan Laki-laki
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban Istri
Berdandan dan Melemah ketika Perdebatan adalah Bagian dari Ciri Wanita
Pengaturan Poligami
Pengaturan Talak
Hak Wanita yang Ditalak dan Janda
Hak Kembali kepada Suami Sesudah Ditalak
Hak Menyusui Anak dari Suami yang Menalaknya
Hak Menentukan Penyapihan Anaknya dengan Bermusyawarah Bersama Suami yang Menalaknya
Hak Berdandan dan Menerima Peminang setelah Berakhir Masa 'Iddahnya
Persamaan Suami dengan Istri dalam Hal Bebas dari Tuduhan dan Kekuatan Sumpah
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM MASALAH WARISAN
Penetapan Prinsip Keikutsertaan
Bagian Anak Laki laki dan Perempuan
Bagian Bapak dan Ibu
Bagian Suami dan Istri
Bagian Saudara Laki-laki dan Saudara Perempuan
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM KEWAJIBAN BERHIJRAH DARI NEGERI KUFUR (JIKA DIA BUKAN DARI KALANGAN TERTINDAS)
KEIKUTSERTAAN WANITA BERHIJRAH KE MADINAH
KEIKUTSERTAAN WANITA MEMBA'IAT RASULULLAH SAW.
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM TOLONG-MENOLONG DAN AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR
BERSAMA KAUM LAKI-LAKI MENGHADAPI KESULITAN DAN BENCANA
MENYERTAI SUAMI DALAM BERMUBAHALAH
TANGGUNG JAWAB WANITA MENYANGKUT MASALAH PIDANA
WANITA BERHAK MENJADI SAKSI DAN KESAKSIANNYA SETENGAH DARI KESAKSIAN LAKI-LAKI
MENJAGA CITRA DAN MARTABAT (NAMA BAIK) WANITA
DAHSYATNYA FITNAH YANG TERJADI ANTARA LAKI-LAKI DAN WANITA
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL DAN BERTEMU DENGAN KAUM LAKI-LAKI
Pada Zaman Ibrahim a.s.
Pada Zaman Musa a.s.
Pada Zaman Sulaiman a.s.
Pada Zaman Muhammad saw.
ETIKA BERTEMU DENGAN KAUM LAKI LAKI
Menahan Pandangan
Menutup Seluruh Tubuh Selain Wajah dan Kedua Telapak Tangan
Tenang dan Terhormat dalam Gerak-Gerik
Serius dan Sopan dalam Berbicara
Pasal 2. Sikap-sikap yang Baik dalam Al-Qur'an
IBU MUSA DAN KEPATUHANNYA TERHADAP PERINTAH ALLAH
SAUDARA PEREMPUAN MUSA A.S. DAN KEHEBATAN SIASATNYA
GADIS KOTA MADYAN DAN KEKUATAN FIRASATNYA
ISTRI FIR'AUN ADALAH PERUMPAMAAN DALAM KEIMANAN
ISTRI IMRAN MENAZARKAN BAYI YANG ADA DALAM RAHIMNYA UNTUK KEPENTINGAN AGAMA ALLAH
KHAULAH BINTI TSA'LABAH MENGAJUKAN GUGATAN KEPADA RASULULLAH SAW.
KEPRIBADIAN TOKOH-TOKOH WANITA
Balqis Ratu Saba'
Memimpin Kerajaan yang Luas dan Kaya
Suka Bermusyawarah dengan Para Petinggi Negara
Memahami Risiko yang Terjadi dan Kebijaksanaan Politiknya
Cepat Tanggap Terhadap Kebenaran
Maryam Putri Imran
Dinazarkan kepada Allah ketika Masih dalam Perut Ibunya
Allah Menerimanya dengan Baik
Maryam Mengandung Nabi Isa Tanpa Bapak Sebagai Tanda (Kebesaran Allah) Bagi Manusia
Tuduhan Bohong Kaum Yahudi terhadap Maryam yang Suci
Allah SWT Memilih Maryam atas Segala Wanita di Dunia
Allah SWT Menjadikan Maryam sebagai Teladan (dalam perjalanan hidup dan kemuliaan sifat-sifatnya)
Bab. III. KARAKTERISTIK WANITA DALAM KITAB SHAHIH BUKHARI DAN MUSLIM
Pasal 1. Beberapa Karakteristik Wanita Muslimah
KEMANDIRIAN KARAKTER WANITA
Bersama Laki-laki Wanita Menerima Seruan Allah Sejak Hari Pertama
Wanita yang Lebih Dahulu Beriman daripada Suaminya
Wanita yang Mengajak Kaumnya Beriman
HAK WANITA MENDAPATKAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN (SAMPAI KE TINGKAT YANG BISA MEMBANTUNYA MENUNAIKAN TANGGUNG JAWAB)
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM MERIWAYATKAN SUNNAH DAN MENGAJARKANNYA
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM KEGIATAN IBADAH YANG DILAKUKAN SECARA BERJAMAAH
Shalat Fardu
Shalat Gerhana
Shalat Jenazah
I'tikaf
Haji
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM PERAYAAN UMUM
Pesta Perkawinan
Pesta Hari Raya
Pesta Penyambutan
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM MELAYANI MASYARAKAT (DENGAN MENGIKUTI BERBAGAI MACAM KEGIATAN SOSIAL)
Bekerjasama dalam Perayaan
Menyediakan Tempat dan Makanan bagi Para Tamu
Berkiprah dalam Pelayanan Masyarakat
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM MENJAGA MASYARAKAT DAN MELURUSKAN JALANNYA (DENGAN MENGIKUTI KEGIATAN POLITIK)
Meninggalkan Kampung Halaman untuk Menjauhkan Diri dari Masyarakat Kafir
Usaha Memilih Pengganti Penguasa (untuk menjaga keamanan negara pada saat negara mengalami krisis)
Menentang Penguasa yang Zalim
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM ANGKATAN BERSENJATA (DENGAN MENGlKUTI KEGIATAN YANG SESUAI DENGAN KODRATNYA)
Bekerja dalam Bidang Konsumsi, Kesehatan, dan Transportasi
Bekerja di Bagian Belakang Garis Pertempuran dalam Bidang Konsumsi dan Perawatan
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM KEGIATAN PROFESI (YANG TIDAK BERTENTANGAN DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA)
Bekerja dalam Bidang Pertanian
Bekerja dalam Bidang Peternakan
Bekerja dalam Bidang Perawatan
KEDUDUKAN WANITA DI TENGAH KELUARGA (ISTRI SALEHAH ADALAH PERHIASAN DUNIA YANG TERBAIK)
HAK WANITA UNTUK MEMILIH PASANGAN
TANGGUNG JAWAB SUAMI DAN ISTRI DALAM KELUARGA
Tanggung Jawab Laki-laki
Tanggung Jawab Wanita
KERJASAMA SUAMI DENGAN ISTRI (AGAR TANGGUNG JAWAB TERTUNAIKAN)
Kerjasama dalam Memimpin (melalui introspeksi dan musyawarah)
Kerjasama dalam Memberi Nafkah
Kerjasama dalam Mengasuh dan Mendidik Anak anak
Kerjasama dalam Menangani Urusan Rumah Tangga
Hak Wanita Meminta Cerai kepada Suami
KEMULIAAN ALLAH UNTUK WANITA
Kemuliaan Allah untuk Wanita Sebagai Istri
Khadijah binti Khuwailid
Aisyah binti Abu Bakar
Kemuliaan Allah kepada Fathimah binti Rasulullah saw. sebagai Anak Perempuan
KEMULIAAN YANG DIBERIKAN RASULULLAH SAW. KEPADA WANITA
Ibunda Nabi saw.
Istri Nabi saw.
Putri Nabi saw.
Cucu Wanita Nabi saw.
Ibu Pengasuh Nabi saw.
Kaum Wanita Secara Umum
ISLAM MENGANJURKAN PENJAGAAN TERHADAP WANITA SEBAIK MUNGKIN
Menjaga Ibu
Menjaga Saudara Wanita
Menjaga Istri
Menjaga Anak Perempuan
Menjaga Budak Perempuan
MENYEBUTKAN NAMA WANITA
MENYEBUTKAN RUPA ATAU BENTUK WANITA
MENYEBUTKAN BERBAGAI KISAH NYATA WANITA
Pasal 2. Beberapa Sikap Mulia Wanita
BERKORBAN DI JALAN ALLAH
SANGAT MENDAMBAKAN KESEMPURNAAN
SENANG BERIBADAH
BERSEDEKAH DAN BERINFAK
BERBUAT BAIK KEPADA ORANG TUA (SELAGI MEREKA HIDUP DAN SETELAH MEREKA WAFAT)
PENUH TAWAKAL KEPADA ALLAH
SABAR DALAM MENGHADAPI COBAAN
KONSISTEN MENJAGA KEHORMATAN DIRI
CEPAT MENGAKUI DOSA ATAU KESALAHAN
MINTA DIRAJAM DEMI MENYUCIKAN DIRI
Pasal 3. Kekuatan Pribadi Muslimah serta Kesadarannya akan Hak dan Kewajiban
KAUM WANITA MENUNTUT KESEMPATAN BELAJAR
ASMA BINTI SYAKL MENGESAMPINGKAN RASA MALU
SUBAI'AH BINTI AL HARITS BERUSAHA MENEMUKAN KEYAKINAN
SEORANG WANITA KHATS'AM MEMIKIRKAN HUKUM MENGHAJIKAN BAPAKNYA
SEORANG WANITA MEMPERTAHANKAN HAK PEMILIHAN SUAMI
Khansa binti Khidam Mengadu karena Dikawinkan Padahal Dia Tidak Suka
Barirah Mempertahankan Haknya Meskipun Ada Syafaat Nabi saw.
Seorang Wanita Memilih Laki-laki yang Paling Mulia dan Menawarkan Diri kepadanya
SEORANG WANITA MEMPERTAHANKAN HAK BERPISAH DENGAN SUAMINYA
Istri Tsabit bin Qais Mempertahankan Hak Perceraian
Atikah binti Zaid Mempertahankan Hak Menghadiri Shalat Jamaah
SEORANG WANITA BERKARYA UNTUK MENDAPATKAN UANG
Zainab binti Jahsy Berkarya dengan Keterampilan Tangannya Sendiri dan Bersedekah
Zainab Istri Ibnu Mas'ud Berusaha Sendiri serta Menafkahi Suami dan Anak Yatim
KAUM WANITA MENGHADIRI PERTEMUAN UMUM DI MASJID
Ummu Kaltsum binti Abu Mu'ith Berhijrah untuk Menyelamatkan Agama
Ummu Haram Memohon Mati Syahid Bersama Pasukan Marinir
Ummu Hani Melindungi Prajurit dan Mengadukan Pencegahan oleh Saudara Laki-lakinya
Hindun binti Utbah Mengucapkan Selamat kepada Rasulullah saw. Setelah Dia Masuk Islam
Ummu Aiman Gelisah dan Sedih karena Putusnya Wahyu dengan Wafatnya Nabi saw.
Zainab binti al-Muhajir Berdialog dengan Abu Bakar
Hafshah binti Umar Menyadarkan Abdullah bin Umar
Ummu Ya'qub Berdialog dengan Abdullah bin Mas'ud
Ummu Darda Menentang Beberapa Perilaku Khalifah Abdul Malik bin Marwan
Pasal 4. Pasal Keempat. Kepribadian Wanita
SARAH ISTRI IBRAHIM A.S.
Kecantikan yang Luar Biasa
Tenang Menghadapi Cobaan
Penuh Tawakal kepada Allah
Pintar dan Memahami Risiko yang Dihadapi
Allah Memuliakan Sarah
Ikut Menerima Tamu dan Berita Gembira dari Para Malaikat
HAJAR IBU ISMAIL A.S.
Penuh Tawakal Kepada Allah
Tetap Tenang Meskipun Berada di Daerah Terpencil
Allah Memuliakan Hajar
Menggeluti Kehidupan dan Arif dalam Berbuat
KHADIJAH BINTI KHUWALID ISTRI RASULULLAH SAW.
Bergaul Baik dengan Suami
Sangat Cerdas dan Tawakal
Penuh Kasih Sayang dan Perhatian terhadap Suami
Melahirkan Keturunan yang Saleh
Rasulullah saw. sangat Mencintai Khadijah r.a.
Rasulullah saw. Memuliakan Khadijah r.a.
Rasulullah saw. Senantiasa Mengingat Khadijah r.a.
Allah Memuliakan Khadijah r.a.
FATHIMAH AZ-ZAHRA PUTRI RASULULLAH SAW.
Penuh Perhatian terhadap Ayah
Menikah dengan Ali bin Abu Thalib
Sabar dan Penuh Perhatian terhadap Rumah Tangga
Kemarahan Rasulullah saw. dalam Membela Fathimah
Rasulullah saw. Memuliakan Fathimah, Suami, dan Kedua Putranya
Mirip Fathimah dan Putranya
Allah Memuliakan Fathimah
AISYAH UMMUL MUKMININ
Lingkungan Khusus Tempat Aisyah r.a. Dibesarkan
Allah Memilih Aisyah r.a. sebagai Istri Rasulullah saw.
Resepsi Perkawinan Aisyah r.a.
Kedudukan Aisyah r.a. dalam Bidang Keilmuan
Antusias Menuntut Ilmu
Bukti atau Dalil tentang Ilmu Aisyah r.a.
Majelis Taklim di Rumah Aisyah r.a.
Tanggapan Aisyah r.a. terhadap Para Sahabat
Sikap Rendah Hati dan Tanggung Jawab Ilmiah Aisyah r.a.
Minat Aisyah untuk Mencapai Ketinggian Derajat
Sebelum Ayat Hijab Diturunkan
Setelah Ayat Hijab Diturunkan
Penuturan Aisyah r.a. tentang Kelebihan Keluarga Rasulullah saw.
Sifat Zuhud dan Pemurah Aisyah r.a.
Sifat Wara Aisyah r.a.
Keberanian Aisyah
Benar dalam Meriwayatkan Hadits
Ujian Berat dan Kasus Berita Bohong
Kemuliaan dari Allah untuk Aisyah r.a.
Kemuliaan dari Rasulullah saw. untuk Aisyah r.a.
Kemuliaan dari Para Sahabat untuk Aisyah r.a.
UMMU SALAMAH UMMUL MUKMININ
Ummu Salamah Hijrah ke Habasyah
Rasulullah saw. Memuliakan Suami Ummu Salamah (Abu Salamah)
Bersabar Demi Mematuhi Perintah Rasulullah saw.
Kesetiaan Ummu Salamah kepada Suaminya (Abu Salamah)
Perkawinan Ummu Salamah dengan Rasulullah saw.
Kepedulian Ummu Salamah terhadap Masalah Umum dan Keseriusannya dalam Mendengarkan Pidato Pemimpin Islam
Keberanian Ummu Salamah
Ummu Salamah Penuh Perhatian terhadap Anak-anaknya
Ummu Salamah Memiliki Akal Cerdas dan Saran yang Bermanfaat
Ummu Salamah Meriwayatkan Hadits
ZAINAB BINTI JAHSYI UMMUL MUKMININ
Perkawinan Zainab dengan Rasulullah saw. Berdasarkan Perintah Allah SWT
Sangat Rajin Mengerjakan Shalat Istikharah
Keistimewaan Walimah Perkawinan Zainab
Ayat Hijab Turun pada Pagi Hari Walimah Perkawinan Zainab
Kedudukan Zainab di Sisi Rasulullah saw.
Memiliki Banyak Keutamaan
Kebanggaan Diri Zainab atas Istri istri Nabi saw.
Paling Cepat Menyusul Nabi saw.
UMMU SULAIM AL-GHUMAISHA BINTI MILHAN
Perkawinan Ummu Sulaim Sangat Istimewa
Keutamaan Suami Ummu Sulaim
Penuh Perhatian dan Kesabaran terhadap Suami
Perhatian Rasulullah saw. terhadap Ummu Sulaim
Perhatian Ummu Sulaim dan Keluarganya terhadap Rasulullah saw.
Cerdas dan Penuh Tawakkal kepada Allah
Ikut Berbai'at dan Menepati Janji
Memiliki Sifat Malu yang Positif
Ikut Serta dalam Berjihad
ASMA BINTI ABU BAKAR PEMlLIK DUA IKAT PINGGANG
Sejak Kecil Peduli terhadap Masalah Umum
Berkembang dengan Baik
Perkawinan Asma dengan Pendukung Setia Rasulullah saw.
Hijrah dan Melahirkan Anak Pertama bagi Kaum Muhajirin
Penuh Perhatian terhadap Rumah Tangga
Bergaul Harmonis dengan Suami
Sifat Wara' dan Keinginannya untuk Melaksanakan Syari'at Allah
Pengorbanan Asma pada Jalan Allah
Rajin Beribadah dan Menuntut Ilmu
Ilmu dan Kealiman Asma
Keberanian dan Ketegasan Asma dalam Memberikan Penjelasan
ASMA BINTI UMAIS ISTRI TIGA SAHABAT YANG DIJAMIN MASUK SURGA
Masuk Islam Sejak Dini dan Hijrah ke Habasyah
Keberanian Moralitas
Melaksanakan Haji ketika Hamil Tua
Penuh Perhatian terhadap Anak dan Suami
Kesaksian Rasulullah saw. terhadap Asma
UMMU ATHIYYAH AL-ANSHARIYYAH
Ikut Berbai'at
Penuh Perhatian terhadap Rumah Tangga Rasulullah saw.
Ikut Berjihad
Memahami Sunnah
Dalam Kesedihan Tetap Mematuhi Syariat
Memuliakan Rasulullah saw. dengan Kalimat Khusus
FATHIMAH BINTI QAIS
Menikah Atas Saran Rasulullah saw.
Memahami Al-Qur'an dan Sunnah serta Memprotes Pendapat Beberapa Tokoh
Pemurah kepada Tamu
Peduli terhadap Urusan Umat Islam
Pasal 5. Salah Paham atas Hadits-hadits Sahih tentang Karakter Wanita
HADITS PERTAMA
HADITS KEDUA
Pengertian Umum
Pengertian Khusus
HADITS KETIGA
Pengertian Khusus Hadits
HADITS KEEMPAT
Pasal 6. Beberapa Komentar tentang Kepribadian Wanita Muslimah
KEBEBASAN KEPRIBADIAN WANITA
URGENSI MEMELIHARA KEKHUSUSAN KEPRIBADIAN WANITA
FAKTOR PENUNJANG PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN WANITA
Pelurusan atas Persepsi tentang Kepribadian Wanita Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Melaksanakan Kewajiban Agama
Menggunakan Hak yang Ditetapkan Syariat
ETIKA PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN WANITA MUSLIM
Teladan Nabi saw. dalam Memperlakukan Istri
Teladan Nabi saw. dalam Memperlakukan Anak Perempuan
Teladan Nabi saw. dalam Memperlakukan Wanita Muslimah
Teladan Nabi saw. dalam memperlakukan Wanita Nonmuslim
Wanita dan Pencapaian Kesempurnaan
(sesudah)
Kebebasan Wanita (Tahrirul-Ma'rah fi 'Ashrir-Risalah)Abdul Halim Abu SyuqqahPenerjemah: Drs. As'ad YasinJuni 1998Penerbit Gema Insani PressJln. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740Telp. (021) 7984391-7984392-7988593Fax. (021) 7984388
Indeks Islam Indeks Wanita Indeks Artikel Tentang Pengarang
ISNET Homepage MEDIA Homepage Program Kerja Koleksi Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 8:49 AM | 0 comments

Monday, March 13, 2006

Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

KEPEMIMPINAN LELAKI DAN PEREMPUAN DALAM
KELUARGA DAN MASYARAKAT
MENURUT ISLAM
Oleh : Drs. Anshori Lc
Ketua LPPI-IIQ
(Lembaga Penelitian dan Pengkajian Ilmiah-Institut Ilmu Al-Qur’an)

A. Pendahuluan
Kepemimpinan laki-laki dan perempuan dalam islam sering terjadi kontroversi dalam masyarkat islam, ini sebenarnya tidak perlu terjadi, bila memahami teks al-qur’an dan hadis secara benar.
Tampilnya Balqis dan Sulaiman adalah representasi kepemimpinan ratu dan raja dalam al-qur’an. Balqis dilukiskan sebagai pemilik tahta kerajaan” superpower”(Laha ‘arsyun ‘azhim) (Q.S.al-Namal/27 :23), dan tidak pernah ada dalam al-qur’an kata lahu ‘arsyun ‘azhim (bagi laki-laki memiliki tahta kerajaan) ,sementara Sulaiman mempunyai beberapa kemampuan, seperti menguasai dirgantara dengan perantaraan burung (Q.S.al-Namal/27:16), kemampuan melakukan mobilisasi sangat cepat, karena ia dapat merekayasa angin (Q.S.al-Anbiya/21:81), kemampuan untuk melakukan eksplorasi di dasar laut (.S.al-Anbiya/21:82), kemampuan untuk bekerja sama dengan jin dan burung Q.S.al-Namal/27:17), berkomunikasi dengan hewan dan serangga (Q.S.al-Namal/27:18), termasuk kemampuan untuk menguasai setan (Q.S.al-Anbiya/21:82). Dalam menghadapi kekuatan Balqis, Sulaiman terpaksa harus mengerahkan segenap potensi tersebut.[1]
Dari dua cerita kepemimpinan diatas, semestinya tidak ada perbedaan antra kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Namun yang perlu diperhatikan adalah perbedaan antara kepemimpinan di rumah tangga dan kepemimpinan di masyarakat, karena dua hal yang berbeda. Untuk itu penulis ingin mengemukakan perbedaan antara dua bentuk kepemimpinan.

B. Kepemimpinan Dalam Islam
Manusia sebagai makhluk sosial tentu memerlukan hubungan satu sama lain kemudian membuat kelompok-kelompok baik dalam lingkup kecil maupun besar, dan setiap kelompok apapun memerlukan seorang pemimpin. Maka ajaran islam telah mengatur sedemikian rupa yang berkaitan dengan kepemimpinan, ada kepemimpinan rumah tangga, kepemimpinan masayarkat, dan kepemimpinan negara dan sejenisnya. Untuk membahas masalah kepemimpinan, maka perlu dikelompokkan kepada dua macam kepemimpinan yaitu :


1. Kepemimpinan dalam rumah tangga
Diantara ayat yang mengatur kepemimpinan rumah tangga adalah (Q.S.al-Nisa/4 ayat 34 :
Artinya:”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Sifat kejantanan merupakan unsur pokok dalam kepemimpinan, maka suami adalah kepala rumah tangga menurut semua peraturan yang ada di dunia. Oleh karena itu anak-anak dinisbatkan kepada ayah walaupun seorang ibu yang banyak dibebani oleh seorang anak sejak dalam kandungan sampai melahirkan, bahkan sampai besar. Namun islam berbeda dengan peraturan yang ada di dunia, karena islam menjadikan suami menjadi pemimpin dengan dua alasan yaitu karena memiliki sifat kejantanan dan memberi nafkah. (Q.S.al-Nisâ/4 : 34).[2]
Jika laki-laki diwajibkan memberi nafkah kepada keluarganya, menjadikan sebab dia berhak menjadi pemimpin, maka bagaimana jika wanita yang mencari nafkah, apakah kepemimpinan dapat berpindah kepada sang istri ? Salim al-Bahnasawi menjawab:” Memberi nafkah semata bukan menjadikan sebab kepemimpinan ditangan suami, bahkan sebab yang paling prinsip adalah fisik yang dimiliki laki-laki.”[3]
Muhammad Shahrur pada aspek harta benda dalam firman-Nya Wabimâ Anfaqû Min Amwâlihim menyatakan:”Bahwa seorang pemilik harta benda pasti memiliki kepemimpinan (al-qiwâmah) tanpa harus melihat kecakapan dan ketinggian kesadaran dan kebudayaannya, sehingga seorang pemilik pabrik yang berpendidikan rendah, misalnya, bisa menunjuk seorang direktur yang berijazah tinggi untuk menjalankan pabriknya, dimana sang direktur akan tunduk terhadap seluruh kebijakan sang pemilik pabrik karena ia memeiliki kekuasaan untuk menyalurkan harta (qiwwâmât al-Infâq). Kekuasaan/kepemimpinan dalam bidang ekonomi ini tampak jelas pada individu-individu, keluarga, dan negara negara maju dan tidak berkaitan sama sekali dengan tingkat kebudayaan dan kecakapan.[4]
Menurut hemat penulis bahwa Muhammad Shahrur menghendaki kepemimpinan itu berada pada orang yang memiliki materi baik laki-laki maupun perempuan sekalipun dia tidak pandai dan lemah, kurang tepat karena Q.S.al-Nisâ/4 :34 bukan berbicara tentang sebuah perusahaan, tapi berbicara masalah rumah tangga yang memang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah, yaitu kepemimpinan dalam rumah tangga ada pada suami karena Allah sudah memberikan 2 hal yang ada pada seorang suami yaitu kelebihan dari segi fisik dan kewajiban memberi nafkah.
Kemudian Allah memberi Petunjuk kepada para suami dalam rangka mengatur dan mengantisipasi terjadinya pembangkangan para istri terhadap suaminya. Pertama suami harus menasehati mereka pada saat yang tepat dan dengan kata kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengkelan, dan kedua bila nasehat belum mengahiri pembangkangannya maka tinggalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah, tetapi di tempat pembaringan kamu berdua, dengan memalingkan wajah dan membelakangi mereka. Kalau perlu tidak mengajak berbicara paling lama tiga hari berturut-turut untuk menunjukkan rasa kesal dan ketidakbutuhanmu kepada mereka, dan ketiga kalau inipun belum mempan, maka demi memelihara kelanjutan rumah tanggamu, maka pukullah mereka, tetapi pukulan yang tidak menyakitkan agar tidak mencendrainya namun menunjukkan sikap tegas.[5]
Bila ketiga langkah tersebut tidak berhasil, maka langkah berikut adalah sebagaimana yang diperintahkan Allah (Q.S.Al-Nisâ/4 : 35) yang artinya:”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam (juru damai) itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Muhammad Quraish Shihab mengemukakan bahwa al-Rijalu Qawwamuna ala al-Nisa (laki-laki pemimpin wanita) bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan diatas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat, adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta mereka yakni untuk istri-istri mereka.[6]
Allah swt. menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok yaitu : Pertama, Bima Faddalallah Ba’dhahum Ala Ba’din (karena Allah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain), yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimilki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Disisi lain, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.[7]
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa"fungsi menciptakan bentuk" atau "bentuk disesuaikan dengan fungsi". Mengapa pisau diciptakan lancip dan tajam ? Mengapa bibir gelas tebal dan halus ? Mengapa tidak sebaliknya? Jawabannya adalah ungkapan diatas. Yakni pisau diciptakan demikian, karena ia berfungsi untuk memotong, sedangkan gelas untuk minum. Kalau bentuk gelas sama dengan pisau, maka ia berbahaya dan gagal dalam fungsinya. Kalau pisau dibentuk seperti gelas, maka sia sialah kehadirannya dan gagal pula ia dalam fungsinya.[8] Begitu juga bila fungsi suami disamakan dengan istri, maka akan terjadi dualisme kepemimpinan sehingga rumah tangga tidak akan terjadi mawaddah wa rahmah.
Kedua, Bima Anfaquu Min Amwalihim disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Bentuk kata kerja past tence /masa lampau yang digunakan ayat ini “telah menafkahkan“, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat ummat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal tersebut, sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini. Dalam konteks kepemimpinan dalam keluarga, alasan kedua agaknya cukup logis. Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak ? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas ? Tetapi pada hakekatnya, ketetapan ini bukan hanya atas pertimbangan materi.[9]
Wanita secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami, bahkan kekasihnya. Di sisi lain, pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama islam yang tuntunann tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya. Kewajiban itu diterima dan menjadi kebanggaan suami, sekaligus menjadi kebanggaan istri yang dipenuhi kebutuhan dan permintaannya oleh suami, sebagai tanda cinta kepadanya.[10]
Nah dari kedua faktor yang disebut diatas, lahir hak suami yang harus pula dipenuhi oleh istri. Suami wajib ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri. Ini bukan kewajiban taat secara muthlak. Jangankan terhadap suami, terhadap Ibu Bapakpun kebaktian kepada mereka tidak boleh mencabut hak-hak pribadi seorang anak.[11]
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menyatakan:”Perlu digaris bawahi bahwa kepemimpinan yang dianugrahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Bukankah musyawarah merupakan anjuran al-qur’an dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan yang dihadapi keluarga ?[12]
Muhammad Quraish Shihab mengutip perkataan Imam Fakhruddin al-Razi yang menyatakan:”Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. suami harus memperhatikan hak dan kepentingan istrinya, dan istri juga harus mendengarkan nasehat suaminya.”[13]
Berkaitan dengan kepemimpinan dalam rumah tangga, ada hal yang menarik pernyataan Muhammad Quraish Shihab yang dituangkan dalam buku karya beliau yang berjudul”Perempuan”mengungkapkan:” Bila dua syarat kepemimpinan suami dalam rumah tangga yakni kemampuan qawwâmah (sifat kepemimpinan) dan kemampuan memberi nafkah tidak dimiliki oleh seorang suami, atau kemampuan istri melebihi kemampuan suami dalam hal keistimewaan -misalnya karena suami sakit-sakitan maka bisa saja kepemimpinan rumah tangga beralih kepada istri. Tetapi ini dengan syarat kedua faktor yang disebut di atas tidak dimiliki suami. Jika suami tidak mampu memberi nafkah, namun tidak mengalami gangguan dari segi keistimewaan yang dibutuhkan dalam kepemimpinan, maka istri belum boleh mengambil alih kepemimpinan itu.[14]
Suami dijadikan pemimpin dalam rumah tangga oleh Allah, karena ada 2 ‘illat (motif penetapan hukum) yaitu memiliki kelebihan fisik dan kewajiban memberi nafkah, maka jika kedua hal tersebut tidak ada, maka dapat diambil alih kepemimpinan rumah tangga itu oleh istrinya yang memang memiliki kedua hal tersebut.
Wahbah al-Zuhaily dalam menafsirkan (Q.S.al-Nisâ/4:34) sejalan dengan M.Quraish Shihab dia menegaskan dalam tafsirnya:”Bahwa penafsiran ayat diatas adalah suami/lelaki adalah pemimpin daripada istri/wanita, dia sebagai kepala rumah tangga, dia sebagai hakim dalam rumah tangga dan sebagai pendidik istri bila istri menyimpang, dia sebagai pemelihara dan pengelola rumah tangga, oleh karena itu dia wajib berusaha dengan sungguh-sungguh, dia berhak mendapatkan waris lebih besar dari istri karena dia yang diberi beban untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya..[15] Ini merupakan bagian dari kebaikan islam sebagaimana ditegaskan dalam (Q.S. al-Baqarah/2 : 228)
Ahmad Mushthafa al-Maraghi juga sejalan dengan M.Quraish Shihab, dia menegaskan:”Suami memimpin istri, karena suami yang melaksanakan urusan istri, dan memperhatikan untuk menjaganya, sebab suami dilebihkan daripada istri, karena dua hal pertama, secara alami laki-laki itu diciptakan Allah kuat dan sempurna fisiknya seperti kuat akalnya, pemandangannya jernih dalam menghadapi permasalahan sejak awal sampai ahir permasalahan. Kedua, dari segi usaha, laki-laki memiliki kekuatan untuk usaha dan mengatur segala urusan, oleh karena itu laki-laki dibebani untuk memberi nafkah kepada istri dan melakukan kepemimpinan dalam rumah tangga.[16]
Begitu juga Zamakhsyari,[17]Sayyid Qutub,[18] Said Hawa, [19]mempunyai pandangan yang sama yaitu, bahwa kepemimpinan itu berada di tangan kaum lelaki (suami) disebabkan dua faktor, pertama kaum laki-laki diberi kelebihan oleh Allah seperti akal, ide, cita-cita, kekuatan fisik, kesempurnaan puasa, sholat, kenabian, kepemimpian, menjadi imam, azan dalam sholat, khuthbah, saksi dalam hukum pidana, qishash, mendapat waris yang berlipat, memiliki nikah, dan talak. Kedua disebabkan kaum lelaki diwajibkan memberi nafkah dan mahar pada sang istrinya dan anak-anaknya.

2. Kepemimpinan dalam masyarakat/pemerintahan
Kaum wanita bebas berpendapat dan berfikir karena Allah telah berfirman dalam beberapa ayat tentang musyawarah antara lain (Q.S.Ali Imrân/3:159) dan (Q.S.al-Syurâ/42 : 38). Di dalam musyawarah tidak ada perbedaan dalam mendiskusikan masalah-masalah umum dalam masyarkat antara laki-laki dan perempuan. Wanita pada permulaan islam selalu ikut serta dalam urusan sosial dan tidak dipencilkan/diasingkan dari aktifitas masyarakat ditengah-tengah keberadaan Nabi saw., begitu juga pada masa al-Khulafa al-Rasyidin, bahkan tidak ada seorangpun yang mengingkari hak bersekutu bagi kaum wanita dalam masalah-masalah umum di masyarkat.[20]
Jamaluddin Muhammad Mahmud mengatakan:"Bahwa islam mengajak kepada semua pakar baik laki-laki maupun perempuan di masyarkat untuk menyatakan pendapatnya demi kebaikan di masyarakat.[21] Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah (Q.S.Ali Imrân/3:104) yang artinya:”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini mengajak untuk menyatakan pendapat dan mengambil sikap positip dalam memperbaiki masyarakat melalui ceramah atau mengeluarkan pendapat, baik laki-laki maupun perempuan dalam kapasitas yang sama.
Ada sekelompok wanita pergi menghadap Nabi saw. mereka menuntut untuk berbaiat (janji setia), lalu Nabi membaiat mereka, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah (Q.S.al-Mumtahanah/60:12)
Ayat ini merupakan bukti, bahwa wanita dapat menyatakan hak-haknya dalam masalah aqidah, pemikiran, dan mengembangkan agama yang dia pilihnya, lalu Nabi menerimanya. Ini merupakan contoh yang nyata atas kebebasan kaum wanita dalam aqidah, menyatakan pendapat dan mengambil keputusan, dalam hal ini bukan hal yang aneh di masyarakat yang menganut prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah menyatakan pendapat.[22]
Begitu juga Nabi sebagai Hakim Agung, Mufti yang paling alim, dan Hakim yang bijak, mau mendengar pengaduan wanita terhadap suaminya, sebagaimana ditegaskan Allah (Q.S.al-Mujâdalah/58:1) yang artinya:” Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Ayat ini menunjukkan, bahwa istri tidak dilarang mengajukan gugatan suaminya kepada penguasa yang tertinggi dalam masyarakat. Begitu juga wanita tidak boleh diasingkan dari masyarkat, karena Nabi saw. mengizinkan kaum perempuan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu juga Nabi mengizinkan pergi ke Masjid untuk menunaikan sholat.
Islam meletakkan kaum wanita di belakang kaum laki-laki dalam sholat, bukan berarti wanita memiliki kekurangan, tetapi sebaliknya dalam rangka menjaga kesucian dan kehormatan wanita itu sendiri, sebab jika kaum wanita diletakkan di baris depan kaum lelaki, maka kaum lelaki akan melihat ruku dan sujud kaum wanita sehingga akan menimbulkan fitnah.[23]
Banyak diantara wanita yang menjadi penyair seperti al-Khansa, Rabiah al-Adawiyah begitu juga banyak kaum wanita yang mengemban amanah periwayatan hadis dari Nabi saw. seperti Aisyah, Asma Binti Abi Bakar, Hafshah Biti Umar, Ummu Hani Binti Abi Thalib, Fathimah al-Naisaburiyah, Nafisah Binti Hasan al-Anwar, Asma Binti Asad Ibnu al-Furat dari Qairuwan, dan banyak para ulama mengambil hadis yang diriwayatkan oleh kaum wanita tersebut. Dari sini jelaslah bahwa wanita pada masa awal islam sudah ikut serta dalam bidang sastra dan pemikiran.[24]
Kaum wanita berhak menjdi pemimpin dalam masyarakat umum karena sebahagian ulama berpendapat:”Bahwa islam tidak mengharamkan wanita berpolitik sebagaimana terdapat dalam Q.S.al-Baqarah/2 :228 dan Q.S.al-Taubah/9 :71 begitu juga adanya ikut serta wanita pada kaum laki-laki dalam kegiatan di masyarakat seperti Aisyah ikut serta menyelesaikan sengketa politik antara Ali dan Muawiyah, begitu juga Nailah istri Usman Bin Affan, ini menunjukkan adanya pengakuan ajaran islam terhadap kebolehan wanita berpolitik khususnya memiliki hak memilih dan dipilih untuk menjadi anggota DPR/MPR yang melakukan prinsip-prinsip musyawarah.[25]
Wanita dibolehkan mengendalikan urusan peradilan (menjabat sebagai qadhi atau hakim), karena ada riwayat yang menyatakan bahwa Umar Bin Khatthab pernah mengangkat seorang wanita bernama Syifa untuk menjabat Qadhi hisbah (Hakim yang menyangkut pelanggaran terhadap hak masyarakat) di pasar. Dengan demikian, wanita boleh menjabat sebagai Qadhi (Hakim) [26]
Ada sebagian ulama yang mengharamkan wanita sebagai pemimpim dengan alasan sebuah hadis riwayat al-Bukhari yang artinya:”Dari Abi Bakrah telah berkata:”Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku pada waktu perang jamal dengan kalimat yang saya dengar dari Rasulullah saw. setelah aku hampir bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka, Abu Bakrah berkata:”Ketika ada berita sampai kepada Rasulullah, bahwa penduduk Persi telah mengangkat putri Kisra menjadi Ratu, maka Rasulullah bersabda:”Tidak akan sukses suatu kaum jika masalah pemerintahan diserahkan kepada wanita. Diriwayatkan olehal-Bukhari.
Jika kita menelaah hadis diatas, maka celaan Rasulullah terhadap orang orang yang menyerahkan urusan pemerintahannya kepada seorang wanita, merupakan respon beliau terhadap informasi yang dia dengarnya yaitu bahwa bangsa Persia dipimpin oleh seorang wanita. Hadis ini tentu dikhususkan untuk topik ini, tidak terkait dengan persoalan yang lain. Artinya tidak dapat digeneralisir segala persoalan.
Apalagi bila dilihat dari latar belakang pengungkapan Rasulullah yang terdapat pada kitab Imam Bukhori yang artinya:”Ibnu ‘Abbas memberi tahukan, bahwa Rasulullah saw. telah mengirim surat kepada Kisra melalui ‘Abdillah ibnu Khuzafah al-sahmi. Rasulullah saw. memerintahkannya untuk menyerahkan surat tersebut kepada pembesar bahrain, lalu diserahkan kepada Kisra. Ketika Kisra membaca surat tersebut , maka surat itu dirobek robeknya. Lalu saya mengira bahwa ibnu al-Musayyab mengatakan:”Maka Rasulullah mendoakan agar mereka dirobek-robek seperti robekan surat tersebut. (H.R.Bukhari.)
Ahmad Fudhaili mengutip perkataan al-Asqallany dalam kitab Fathu al-Bari yang mengatakan :”Kisra yang telah merobek-robek surat Nabi dibunuh oleh anak laki-lakinya. Sebelum matinya, Kisra mengetahui bahwa ia dibunuh oleh anaknya sendiri, Syairuwiyah, maka ia memerintahkan kepada pembantunya yang setia untuk membunuh anaknya setelah ia mati. Berselang enam bulan sejak kematian bapaknya, Syairuwiyahpun mati diracun. Pada saat itu tidak ada yang menggantikan kedudukan raja, karena di samping membunuh ayahnya Syairuwiyah juga membunuh saudara saudaranya yang lain karena ambisi untuk menduduki tahta kerajaan, kecuali anak perempuannya, Buran bint Syairuwiah ibn Kisra bin Barwiz. Anak perempuan inilah yang kemudian menduduki tahta kerajaan. Tidak lama kemudian kekuasaannya hancur berantakan, sebagaimana sumpah Nabi kepada mereka.[27]
Kemudian Ahmad Fudhaili mengutip perkataan Husen Muhammad yang mengatakan:”Dalam konteks inilah Nabi bersabda:”Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintahkan oleh perempuan”. Hadits ini diungkapkan dalam kerangka pemberitahuan, hanya sebuah informasi yang disampaikan Nabi dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum dan tidak memiliki relevansi hukum.[28]
Penulis setuju bahwa wanita mempunyai kewenangan publik seperti menjadi anggota parlemen (DPR), menjadi Hakim bahkan menjadi Presiden, selama wanita itu memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Sesuai dengan salah satu riwayat yang artinya:” Apabila urusan diberikan bukan pada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Sebahagian ulama membedakan antara dua wilayah yaitu pertama, Al-Wilâyah al-Khâshah seperti masalah jual beli, hibah, wakaf, wasiat dan semacamnya. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan. Kedua, Al-Wilâyah al-âmmah yaitu kekuasaan yang ditetapkan dalam urusan kolektif, seperti jabatan Hakim, DPR/MPR atau kepala Negara dengan kata lain tiga kekuasaan yaitu legislatif, ekskutif dan yudikatif.[29] Wilayah ini hanya bisa dijabat oleh lelaki.
Sedangkan Muhammad Imarah menyatakan:”Jumhur ulama fiqih tidak ada perbedaan tentang al-Imâmah al-Uzhmâ dan Khilâfah al-âmmah (kepala negara) harus laki-laki. Sedangkan fiqih modern tidak membicarakan al-Imâmah al-Uzhmâ dan Khilâfah al-âmmah, karena hal itu sudah hilang sejak jatuhnya khilafah Usmaniyah (1342 H/1924 M) sampai sekarang.[30]
Pemahaman al-Wilâyah al-âmmah pada masa kita sekarang sudah berubah dengan perubahan kekuasaan individu (sulthan al-Fardhi) kepada kekuasaan kolektif (Sulthan al-Muassasah) yang di dalamnya ikut serta semua yang memiliki kepemimpinan dan keahlian, begitu juga hakim individu kepada hakim kolektif yang didalamnya terkumpul para hakim. Maka ikut serta wanita sebagai hakim di pengadilan, bukan karena adanya hadis yang membolehkan wanita menjadi hakim. Artinya karena memang sudah ada pada fiqih klasik. Sebab kepemimpinan sekarang baik laki-laki maupun perempuan di (lembaga apapun) adalah kepemimpinan kolektif bukan individu. Hakim sekarang tidak berijtihad dalam memutuskan hukum, tapi hanya sebagai pelaksana undang- undang yang sudah dibuat oleh pemerintah secara kolektif.[31]
Dengan adanya perubahan ijtihad dari individu kepada kolektif, maka keikut sertaan wanita dalam pengadilan, bukan karena ada hadis yang membolehkan wanita menjadi hakim, melainkan karena adanya perubahan kepemimpinan dari kepemimpinan individu kepada kepemimpinan kolektif.
Al-Qur’an berbicara tentang Ratu Saba, lalu al-Qur’an memuji Ratu dan kepemimpinannya dalam wilâyah âmmah (kepala negara) karena dia melakukan prinsip musyawarah, bukan prinsip individu. (Q.S.al-Namal/27 :32) dan al-Qur’an mencela Firaun Raja Mesir, karena dia menggunakan prinsip kekuasaan individu.(Q.S.Ghâfir/40 :29) kedua ayat itu tidak berbicara laki-laki atau perempuan dalam wilâyah âmmah (kepala negara), tapi berbicara prinsip individu atau kolektif.[32]
Orang yang tidak membolehkan wanita bekerja di luar rumah mengacu pada (Q.S.al-Ahzâb/33:33) artinya:”Dan hendaklah kamu (kaum wanita) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Shalah Qazan mengutip komentar Yusuf Qardhawi mengatakan:” Bahwa ayat tersebut ditujukan kepada para istri Nabi saw. Mereka memang berhak mendapat perlakuan khusus yang tidak dilakukan kepada selain mereka, disamping juga berlaku aturan berat yang tidak dibebankan kepada perempuan lain. Meskipun demikian, ayat ini tidak menghalangi Aisyah Ummu al-Mu’minîn, untuk pergi keluar dalam perang Jamal dan menuntut sesuatu yang diyakininya sebagai hal yang benar dalam masalah politik. Beliau disertai oleh dua orang Sahabat besar yang dicalonkan untuk menjadi Khalifah dan keduanya termasuk sepuluh Sahabat yang dijamin masuk surga.[33]
Anwar Jundi mengatakan:”Islam mengarahkan aktivitas wanita terutama menyangkut kepada pekerjaan-pekerjaan yang berkenaan untuk mengatur dirinya dan keluarga. Bila wanita terpaksa harus bekerja, maka ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, diantaranya pekerjaan tersebut harus sesuai dengan kodrat kewanitaannya, pekerjaan tersebut adalah untuk membantu suami, pekerjaan tersebut akan membawa kemaslahatan bagi kehidupan rumah tangga, dan pekerjaan tersebut tidak akan membawa fitnah bagi dirinya maupun bagi rumah tangganya.[34]
Kemudian Anwar Jundi mengutip perkataan Isa Abduh:”Bahwa menyamakan pekerjaan wanita dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang pria merupakan penganiayaan. Dan hal tersebut hanya akan mencampur adukkan ketentuan tugas yang telah diciptakan oleh al-Khaliq (Allah).[35]
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang terlibat pada persoalan politik praktis, Ummu Hani misalnya dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik. Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a. memimpin langsung peperangan melawan Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu tersebar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terbunuhnya Khalaifah ketiga Usman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun.[36]
Muhammad Quraish Shihab mengatakan:”Harus diakui bahwa memang ulama dan pemikir masa lalu, tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan Kepala Negara, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan, jangankan Kepala Negara, menteri atau kepala daerah pun tidak. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karena itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau memimpin negara.[37]
Bahkan Muhammad Imarah lebih jelas argumentasinya mengenai kebolehan wanita menjadi kepala negara, yaitu disebabkan kepemimpinan sekarang ini bukan kepemimpinan individu, melainkan kepemimpinan kolektif, jadi kepala negara yang ada saat ini bagaikan boneka yang hanya merupakan simbul, karena semua keputusannya sudah diatur bersama.
Faisar Ananda Arfa menyimpulkan :”Dari diskursus di atas terlihat perbedaan interpretasi antara kelompok islam tradisional dan modern dalam melihat soal kepemimpinan wanita dalam islam. Bagi kelompok islam tradisional kepemimpinan tersebut berada di tangan laki-laki dengan asumsi bahwa Allah telah melebihkan laki-laki dari wanita secara fisik maupun mental yang merupakan prasyarat mutlak bagi kepemimpinan yang baik. Pembebanan kewajiban nafkah kepada laki-laki menambah kesan yang kuat bahwa Tuhan mempercayakan laki-laki sebagai pemimpin. Ketentuan Allah ini merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar dalam kondisi dan situasi apapun.[38]
Sebaliknya bagi kelompok Islam modern, ajaran Islam diklasifikasikan dalam dua bagan besar, yakni ajaran dasar dan ajaran bukan dasar. Masalah kepemimpinan dimasukkan ke dalam bagian ajaran bukan dasar, yang bersifat interpretatif dan karenanya sangat mungkin berubah sesuai dangan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan manusia. Mereka kelihatanya memandang bahwa kepemimpinan dalam Islam bukan sesuatu yang given, namun merupakan ajang kompetisi terbuka yang dapat diperebutkan baik oleh laki-laki dan perempuan. [39]
Ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan dipandang sebagai ayat yang bersifat kondisional, dan merupakan cerminan dari msyarakat Arab ketika ayat tersebut diturunkan. Oleh karena itu ayat-ayat itu tidak merupakan ayat yang mengikat kaum muslimin sepanjang masa dan di berbagai tempat di pelosok dunia. Jadi dasar pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok Islam modern dalam masalah ini adalah bahwa dalam soal ajaran yang bukan dasar dan bersifat muamalah seperti soal kepemimpinan ini, Islam tidak memberikan aturan yang ketat dan kaku, namun dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat. [40]
Penulis tidak sependapat dengan pernyataan Faisar Ananda Arfa yang menyatakan bahwa perbedaan masalah kepemimpinan dalam Q.S.al-Nisâ/4 :34 di kelompokkan pada penafsiran para mufassir klasik dan modern, tapi yang jadi pokok masalah adalah kepemimpinan dalam rumah tangga atau kepemimpinan dalam masyarakat, karena kepemimpinan dalam rumah tangga mayoritas ulama baik ulama kalsik maupun modern telah sepakat bahwa suami adalah pemimpin tertinggi dalam keluarga. Namun kepemimpinan dalam masyarkat para ulama memang berbeda pendapat dan semuanya mengacu pada (Q.S.al-Taubah/9:71).
Sekalipun perempuan boleh jadi pemimpin dalam masyarakat, namun jangan dijadikan alasan bahwa perempuan boleh menjadi imam kaum laki-laki dalam sholat, karena hasil Musyawarah Nasional VII Majlis Ulama Indonesia tangggal 29 Juli 2005 menetapkan :
a. Wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah
b. Wanita menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.[41]

C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Kepemimpinan di rumah tangga berada pada suami, karena dia memeliki dua hal yaitu memiliki sifat kejantanan dan kewajiban memberi nafkah.
2. Kepemimpinan di masyarakat tidak ditentukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, tapi ditentukan oleh kwalitas dan profesionalisme seseorang
3. Wanita menjadi Kepala Negara yang oleh sebahagian ulama dilarang, maka dengan kepemimpinan sekarang yang bersifat kolektif, bukan kepemimpinan individu sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, maka otomatis tidak berlaku larangan tersebut.


DAPTAR PUSTAKA
1. Abu al-Hasan Ali Bin Muhammad Bin Habib al-Mawardi al-Bashari, al-Nukat Wa al-Uyun Tafsir al-Mawardi, Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.
2. Ahmad Fudhaili, Perempuan Di Lembah Suci, Yogyakarta : Pilar Media,2005
3. Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi, Tata Kehidupan Wanita Dalam Syari’at Islam, Jakarta : Wahyu Press, 2003
4. Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mesir : Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby Wa Awladih, 1974
5. Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, terjemahan Ahsin Wijaya, Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1989
6. Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i, Nudzum al-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995
7. Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004
8. Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huquq al-Mar’ah Fi al-Mujtama al-Islam, Mesir : al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah Li al-Kitab, 1986
9. Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’I al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur’an, Cairo : Daar al-Shabuni, 1999
10. Muhammad Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan, Jakarta : Azan, 2001
11. Muhammad Imarah, al-Tahrir al-Islami Li al-Mar’ah, Cairo : Daar al-Syuruq, 1968
12. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta : Lentera Hati,2000, Vol. 2
13. _______, Membumikan al-Quran, Bandung : Mizan, 1992
14. _______, Perempuan, Ciputat : Lentera Hati, 2005
15. Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terjemahan Sahiron Syamsudin, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2004
16. Nasaruddin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran al-Qur’an, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin UIN Syahid Jakarta, 2002
17. Shahal Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembahasan Perempuan, terjemahan Khazin Abu Fakih, Surabaya : Era Intermedia, 2001
18. Said Hawa, al-Asas Fi al-Tafsir, Cairo : Daar al-Salam, 1985
19. Sayid Quthub, Fi Dhilal al-Qur’an, Cairo : Dar al-Syuruq, 1982
20. Salim al-Bahnawi, al-Mar’ah Baina al-Islam Wa al-Qawanin al-Alamiyah, Kuwait : Daar al-Wafa, 2003
21. Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir, Bairut : Daar al-Fikr, 1991
22. Yusuf Qardhawi, Kedudukan Wanita Islam,terjemahan Melati Adhi Damayanti, Jakarta :PT.Global Media Publishing, 2003
23. Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘An Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil Wa Uyun al-Haqaiq Fi Wujuh al-Ta’wil, Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995




[1] Muhammad Anas Qasim Ja’far, Kata Pengantar Nasaruddin Umar, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan, (Jakarta : Azan, 2001), h. xii
[2] Salim al-Bahnasawi, al-Mar’ah Baina al-Islam Wa al-Qawanin al-Alamiyah, (Kuwait: Daar al-Wafa, 2003), h. 2001
[3] Ibid., h. 2002
[4] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terjemahan Sahiron Syamsudin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), h. 449
[5] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta :Lentera Hati, 2001), h. 403
[6] Ibid., h.403
[7] Ibid., h.404
[8] Ibid., h. 405
[9] Ibid., h. 407
[10] Ibid., h.407
[11] Ibid., h. 408
[12] Ibid., h. 408
[13] Ibid., h. 409
[14] Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (Ciputat : Lentera Hati, 2005), h.334
[15] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir, (Bairut : Daar al-Fikr, 1998), Juz 5, h. 54
[16] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir : Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Halabi Wa-Awladih,1974) Jilid. 5., h. 26 Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min al-Qur’an, (Cairo : Daar al-Shabuni, 1999), Jilid.I. h. 332 Lihat Abi al-Hasan Ali Muhammad Bin Habib al-Mawardi al-Bashari, al-Naktu Wa al-Uyun Tafsir al-Mawardi, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), Jilid.I, h. 480 Lihat Tafsir Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i, Nudzum al-Durar Fi Tanasub al-Ayaat Wa al-Suwar, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), Juz 2, h. 251
[17] Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘An Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wjuh al-Ta’wil, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), Jilid.I, h. 495
[18] Sayyid Qutub, Fi Dhilal al-Qur’an, (Cairo: Daar al-Syuruq, 1981), Jilid.II, h.649
[19] Said Hawa, al-Asas Fi Tafsir, (Cairo : Daar al-Salam, 1985), Jilid. II, h. 1052
[20] Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huquq al-Mar’ah Fi al-Mujtama’i al-Islam,(Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah Li al-Kitab, 1986), h.53
[21] Ibid., h. 53
[22] Ibid., h. 54
[23] Ibid., h. 55
[24] Ibid., h. 59
[25] Ibid., h. 64
[26] Achmad Junaidi Ath-Thayyibiy, Tata Kehidupan Wanita Dalam Syariat Islam, (Jakarta :Wahyu Press,2003), h. 81
[27] Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci Kritik Atas Hadis Hadis Sahih, (Yogyakarta : Pilar Religia, 2005), h. 228
[28] Ibid., h. 228
[29] Ibid., h. 121
[30] Muhammad Imarah, al-Tahrir al-Islam Li al-Mar’ah, (Cairo: Daar al-Syuruq,1968), h. 103
[31] Ibid., h. 104
[32] Ibid., h. 105
[33] Shahal Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, Terjemahan Khazin Abu Fakih, (Surakarta : Era Intermedia, 2001), h. 54
[34] Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, Terjemahan Ahsin Wijaya, (Solo : CV.Pustaka Mantiq,1991) Cet. III,h. 61
[35] Ibid., h. 62
[36] Ibid., h. 316
[37] Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, Op.Cit., h. 350
[38] Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta : Pustaka Firdaus,2004), h. 111
[39] Ibid., h. 112
[40] Ibid., h. 112
[41] Keputusan Fatwa MUI Nomor:9/MUNAS VII/MUI/13/2005 tentang Wanita Menjadi Imam Sholat, h. 3
READ MORE...
posted by KETUA PSW IIQ at 1:41 PM | 0 comments