|
Sunday, July 22, 2007
Proposal penelitian Pimpinan PTAI Berperspektif Gender
Oleh: Nadjematul Faizah, Ketua PSW IIQ dan Sekretaris Jaringan PSW-PSG PTAI se-Indonesia
PENDAHULUAN Latar Belakang Ketimpangan gender dalam masyarakat merupakan salah satu indikasi rendahnya kesadaran dan moral masyarakat untuk menghargai sesama atas dasar nilai kesetaraan. Islam sebagai agama universal telah meletakkan nilai kesetaraan tersebut sebagai dasar normatif relasi laki-laki dan perempuan, antara lain seperti yang diisyaratkan Q.S. Al-Hujurat: 11 dan 13. Ayat tersebut mengandung larangan saling mengejek dan mencela antara satu kaum terhadap kaum lainnya serta larangan memberi julukan yang buruk. Ayat selanjutnya menggambarkan bahwa diciptakannya manusia laki-laki dan perempuan yang bersuku-suku dan berbangsa itu tiada lain untuk menjalin relasi; dan pada dasarnya mereka setara, karena kemuliaan di antara mereka semata diukur dari ketakwaan kepada-Nya. Mewujudkan nilai kesetaraan dalam kehidupan, termasuk kesetaraan gender, merupakan keniscayaan demi tegaknya keadilan sebagai nilai universal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dunia. Perhatian dunia internasional dalam menegakkan nilai kesetaraan mulai muncul setelah ditetapkan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB (1948); ditandai dengan semakin gencarnya gerakan perjuangan dan kesadaran perempuan untuk majukan kaumnya dan memperbaiki kedudukannya dari berbagai segi. Untuk mengejar ketertinggalan perempuan maka dikembangkan konsep emansipasi antara laki-laki dengan perempuan (1950-1960-an). Gerakan global perempuan pun (12 Juli 1963) berhasil mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOC) Nomor 861 F (XXVI), dan diakomodasi oleh pemerintah Indonesia dengan membentuk Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia dengan SK Menteri Negara Kesra No. 34/KPTS/Kesra/1968. Dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Republik Indonesia 1978, untuk pertama kalinya ada bab khusus tentang peranan wanita dalam pembangunan. Dampak dari GBHN 1978 ini adalah diangkatnya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita dalam Kabinet Pembangunan III. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dimuat kebijakan, langkah-langkah dan Program Peningkatan Peranan Wanita (P2W). Pemerintah dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk merencanakan, melaksanakan, memantau, dan melakukan evaluasi atas hal-hal yang ditetapkan dalam Repelita. Untuk melaksanakannya disediakan anggaran bagi tiap-tiap departemen. Esensi pokok dari GBHN 1978 yakni wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan serta secara penuh dalam segala kegiatan pembangunan. Peranan wanita dalam pembangunan tidak mengurangi perannya dalam pembinaan keluarga sejahtera dan pembinaan generasi muda. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan wanita sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya pada Konferensi perempuan dunia di Kopenhagen (1980) diusahakan Convension on the Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW ) yang meniadakan segala macam bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan. Pendekatan pemberdayaan perempuan tanpa keterlibatan laki-laki (WID) yang selama ini diterapkan menimbulkan sinistis dari laki-laki. Setelah dilakukan analisis terhadap pendekatan tersebut pada the 3th Commission on the Status of Women (1990) di Vienna, ternyata pemberdayaan perempuan tanpa peranserta laki-laki tidak membawa hasil yang signifikan. Oleh karena itu digunakan pendekatan Gender and Development (GAD). Setelah melalui proses diskusi dalam the International Conference on Populational Development di Cairo (1994) dan di the 4th conference on Women (1995) di Beijing, akhirnya dari konferensi tersebut disepakari komitmen operasional tentang perbaikan terhadap status dan peranan perempuan dalam pembangunan mulai dari tahap perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan menikmati hasil pembangunan. Dengan demikian terjadilah perubahan konsep yang sangat mendasar, yaitu dari pembahasan masalah fisik biologis (biological sphare) ke masalah sosial budaya (socio-cultural sphare). Dalam setiap Repelita selalu ada bab yang memiliki penekanan utama pada peningkatan kesejahteraan dan peranan perempuan dalam pembangunan. Repelita V memberikan penekanan utama pada Program Peningkatan Peranan Wanita (P2W) yang terdiri atas (a) program khusus, yaitu program yang diperuntukkan khusus wanita untuk mengejar ketinggalannya di berbagai bidang; (b) program umum yang ditujukan kepada masyarakat (pria dan wanita) yang mengintegrasikan aspirasi, kepentingan dan peranan wanita (sekarang disebut gender mainstreaming – pengarusutamaan gender). Dalam Repelita V ada empat bidang utama ditambah dengan mekanisme P2W di tingkat nasional dan daerah. Repelita V ini secara khusus memuat dibentuknya Pusat Studi Wanita di lingkungan universitas. Sejak tahun 1990 hampir semua universitas negeri, IAIN dan beberapa universitas swasta mempunyai Pusat Studi Wanita (PSW). Pada tahun 2001 ada 78 PSW atau Kelompok Studi Wanita diseluruh Indonesia. PSW di daerah menjadi anggota dari Tim pengelola P2W, melakukan penelitian dan pengkajian mengenai keadaan wanita, hambatan dan masalah yang dihadapi, kemudian memberikan rekomendasi kepada Tim Pengelola P2W. Dalam GBHN 1999, terdapat penekanan pada kedudukan dan peranan perempuan. Yaitu meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Selain itu, ditekankan pula untuk meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai histories perjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Pada era reformasi, Repelita diubah menjadi Program Perencanaan Nasional (PROPENAS) dengan penekanan pada pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan akses pada sumber daya pembangunan. Juga penekanan pada pengarusutamaan gender (gender mainstreaming yang diterbitkan dalam Inpres No. 9 tahun 2000). Selain itu, pelaksanaan zero-tolerance policies untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan (Achie Sudiarti Luhulima, 1995 dan 2001).
Signifikansi Konferensi Perempuan Sedunia keempat di Beijing merupakan momentum digunakannya pendekatan Gender and Development (GAD) dan istilah Gender mainstreaming tercantum dalam Beijing Platform of Action, yang berarti: “Gender mainstreaming is a strategy for integrating gender concerns in the analysis formulation and monitoring policies, programs and projects”. Secara eksplisit seluruh negara peserta, termasuk Indonesia, dan organisasi yang hadir mendapatkan mandat untuk mengimplementasikan gender mainstreaming di negara dan tempat masing-masing. Untuk implementasi gender mainstreaming sebagai strategi pembangunan pemerintah Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional; bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam seluruh bidang pembangunan; mulai dari tahap kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Dengan demikian diharapkan dapat tercapai kedudukan dan peran, akses dan kontrol, serta manfaat pembangunan secara setara dan adil gender. Implementasi PUG dalam pembangunan ini dilaksanakan di bawah koordinasi Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP). Sebagai konsekuensi dari Inpres ini KPP meningkatkan upaya mewujudkan KKG dengan mengefektifkan koordinasi dengan departemen dan institusi terkait, termasuk Departemen Agama. Dan untuk pengembangan program-programnya, KPP membentuk POKJA yang melibatkan instansi terkait untuk merancang program strategis dan mempersiapkan konsep kegiatannya; termasuk di dalamnya adalah POKJA PSW. Oleh karena PSW berada di dalam lingkungan kampus Perguruan Tinggi Agama Islam, maka perannya sangat signifikan untuk mengimplementasikan PUG di lingkungan kampus masing-masing di seluruh daerah Indonesia. Dalam rangka implementasi PUG di perguruan tinggi Kementrian Pemberdayaan Perempuan memberdayakan POKJA PSW dan mengefektifkan peran PSW, yang pada kesempatan sebelumnya telah berperan sebagai pusat kajian dan penelitian isu-isu gender. Di lingkungan kampus, PSW menjadi motor penggerak dan pengendali implementasi PUG dalam kebijakan, perencanaan, kegiatan, monitoring dan evaluasi program dan kegiatan di perguruan tinggi, termasuk PSW di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, di bawah Departemen Agama RI. Untuk menjalankan peran tersebut lembaga PSW Perguruan Tinggi Agama Islam, harus berdaya dan didukung oleh pimpinan setempat. Pemberdayaan perempuan di Perguruan Tinggi Agama Islam, ini merupakan langkah yang harus dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan, karena upaya ini bukanlah semata-mata tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Upaya ini membutuhkan peran serta seluruh kementerian dalam Kabinet untuk mengintegrasikan strategi PUG tersebut dalam program-programnya. Bahkan secara khusus program afirmatif pemberdayaan perempuan pun dapat dilakukan. Dasar-dasar hukum pembentukan Pusat Studi Wanita dapat dilihat pada buku panduan pembentukan dan pembinaan Pusat Studi Wanita/Pusat Studi Gender yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Antara lain: 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang merupakan ratifikasi dari Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW). 3. Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional; 4. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5. Ketetapan MPR Nomor 4 Tahun 1999 tentang GBHN tahun 1999-2004; 6. Keputusan Presiden Nomor 163 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara yang diubah dengan Kepres No. 171 No. 9 Tahun 2000; 7. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; 8. Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 03/KEPMENEG.PP/I/2001 tentang organisasi dan Tata Kerja Staf Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; 9. Naskah Kerja Sama Menteri Peranan Wanita, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama, tanggal 24 Nopember 1998 tentang Pembinaan Pengembangan PSW/PSG. Dari kutipan peraturan di atas menunjukkan bahwa keberadaan PSW/PSG di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, Masalahnya apakah Perguruan Tinggi Agama Islam, sudah melaksanakan PUG dilingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya lembaga PSW/PSG yang akan dirumuskan dalam perumusan masalah di bawah ini.
TELAAH PUSTAKA Penelitian tentang kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam, terhadap implementasi gender mainstreaming oleh PSW belum ditemukan datanya.
FOKUS PENELITIAN (PERUMUSAN MASALAH) Masalah penelitian ini difokuskan: pertama, pada kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam mengintegrasikan PUG, khususnya dalam perhatian pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam mengembangkan PSW sebagai lembaga, sehingga lembaga ini dapat memperoleh akses, kontrol, dan manfaat pemberdayaan; kedua, pada eksistensi PSW dalam pelaksanaan program dan kegiatan di Perguruan Tinggi Agama Islam, baik karena diperankan oleh pimpinan maupun atas usaha dan kemampuan PSW sendiri untuk memerankan diri. Untuk mengarahkan kajian atas masalah ini maka permasalahan utama penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: "Apakah kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam sudah mencerminkan implementasi pengarusutamaan gender (PUG)/gender mainstreaming di kampus melalui pemberdayaan PSW? Dalam hal ini, apakah PSW pada Perguruan Tinggi Agama Islam tersebut memiliki peranan yang signifikan?". Untuk memperoleh data dan informasi yang memadai, berikut ini dikemukakan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai penjabaran atas perumusan masalah tersebut. (1) Apakah kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam berpihak pada keberadaan lembaga PSW? (2) Apakah PSW dilibatkan dalam penyusunan perencanaan program Perguruan Tinggi Agama Islam? (3) Apakah PSW dilibatkan dalam pelaksanaan program dan kegiatan di Perguruan Tinggi Agama Islam? (4) Program dan kegiatan apa sajakah yang telah dan akan dilakukan PSW sebagai wujud implementasi gender mainstreaming, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam?
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian Ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesediaan Perguruan Tinggi Agama Islam dalam mengintegrasikan PUG/gender mainstreaming dalam pelaksanaan program dan kegiatan, khususnya dalam bentuk pemberian perhatian dan pemberian kesempatan partisipasi kepada lembaga PSW. Selanjutnya, penelitian ini akan menjelaskan peranan PSW dalam mengimplementasikan PUG di kampus dari sisi kegiatan yang telah dan akan dilakukan. Adapun manfaat penelitian ini adalah: (1) Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi awal bagi peneliti untuk mengadakan kajian lebih lanjut. (2) Demikian juga bagi para funding dan instansi terkait, bahwa gambaran tentang kondisi PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia ini dapat menjadi dasar dan sumber inspirasi untuk pengembangan dan untuk membangun kerjasama dengan PSW (3) Informasi penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam setempat untuk penentuan kebijakan pada masa yang akan datang yang berperspektif gender. (4) Informasi ini dapat dijadikan bahan pertimbangan Dirjen Pendidikan Islam dan atau Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI dalam penentuan kebijakan tentang keberadaan PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam.
KERANGKA TEORITIK Gender Mainstreaming (Pengarusutamaan Gender) merupakan sebuah strategi pemberdayaan perempuan yang digunakan Pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan ini ditetapkan dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional. Gender Mainstreaming (Pengarusutamaan Gender) adalah “strategi yang dibangun pemerintah untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas berbagai kebijakan dan program pembangunan nasional”. Dengan demikian tujuan akhir yang akan dicapai adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi yang di dalamnya tidak ada lagi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki sehingga keduanya memiliki akses, kesempatan/peran, kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari semua hasil pembangunan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk semua sektor pada semua tingkatan, termasuk sektor pendidikan, agar mandiri melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Keberadaan PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1988 dengan diselenggarakannya kursus Women and Development oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan kedutaan Belanda, yang diikuti oleh wakil dosen perempuan dari 14 IAIN se Indonesia. Kegiatan tersebut merupakan momentum sejarah berdirinya lembaga kajian wanita di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Pada saat itu para peserta sepakat untuk mendirikan lembaga kajian perempuan di masing-masing perguruannya; dan nama yang mereka berikan untuk lembaga ini cukup beragam, antara lain Kelompok Studi Wanita (KSW), Forum Studi Wanita (FSW), dan Kelompok Diskusi Studi Wanita (KDSW). Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1995 pertemuan Menteri Pemberdayaan Perempuan (pada waktu itu Menteri Negara Urusan Perempuan) dengan para rektor perguruan tinggi se Indonesia menghasilkan kebijakan tentang pemberian nama lembaga ini menjadi Pusat Studi wanita (PSW). Berdirinya STAIN di berbagai daerah sejak tahun 1997, meningkatkan jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAI-N) dan jumlah PSW pun semakin banyak, ketika lembaga ini secara berangsur berdiri di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang baru. Setelah tahun 2000-an PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam semakin bertambah jumlahnya, dan pada tahun 2002/2003 terdata 39 Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri telah berdiri PSW dari 46 Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang ada saat itu. Dari 39 PSW , sekitar 12 PSW yang belum aktif mengembangkan kegiatannya sendiri, dan masih terbatas pada kegiatan partisipatif untuk menghadiri undangan kegiatan. Ini menunjukkan bahwa kondisi PSW yang ada di Perguruan Tinggi Agama Islam beragam kondisinya, sebagian sudah mandiri dan sebagian lainnya masih membutuhkan dukungan dan pendampingan untuk pengembangan lembaganya. Berdasarkan data jaringan PSW Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia tahun 2005, sebagian pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (39%) belum memberi perhatian sepenuhnya terhadap keberadaan PSW di perguruannya, termasuk untuk mendirikan lembaga tersebut, pemberian kantor dan fasilitas kesekretariatan, serta dukungan dana dan kegiatan. Padahal dana oprasional pendidikan di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri sepenuhnya diserahkan pengelolaannya ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri masing-masing. Oleh karena itu sudah semestinya pemberdayaan PSW di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam menjadi tanggungjawab pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam setempat. Karena lembaga ini merupakan salah satu komponen perguruan tinggi yang membantu Perguruan Tinggi Agama Islam mampu menampilkan reputasi akademik yang sensitif gender sebagai prasyarat bagi terwujudnya perguruan tinggi yang modern dan humanis. Tanggung jawab ini merupakan salah satu bentuk konsekuensi dari komitmen bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dengan Departemen Agama dan dengan para rektor, khususnya ditegaskan dalam pertemuan tahun 1995 tentang keberadaan pusat-pusat kajian perempuan di perguruan tinggi dan pemberian nama lembaga ini dengan nama Pusat Studi Wanita (PSW). Kemudian dilanjutkan dengan Naskah Kerja Sama Menteri Peranan Wanita, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama, tanggal 24 Nopember 1998 tentang Pembinaan Pengembangan PSW/PSG dan Rumusan Hasil Pertemuan Koordinasi Kebijakan Pimpinan Perguruan Tinggi/Rektor Se-Indonesia, 14 Juni 2002. Tim perumus terdiri dari Prof. Dr. Ir. Bambang Guritno (Rektor Universitas Brawijaya, Malang), Prof. Dr. H. Abdul Muin Salim (Rektor IAIN Alauddin, Makassar) dan Drs. Andarus Darahi, MPA (Deputi Bid. Pengembangan & Informasi Kementrian Pemberdayaan Perempuan).Rumusan hasil pertemuan tersebut mencakup: Menindaklanjuti naskah keja sama antara Menteri Negara Peranan Wanita, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama yang dilaksanakan di Cibogo pada tanggal 24 Nopember 1998 maka dilakukan Pertemuan Koordinasi Rektor/Pimpinan Perguruan Tinggi dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 11-14 Juni 2002, dengan hasil sebagai berikut: 1. Perguruan Tinggi, melalui Tri Dharmanya akan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kondisi (kualitas dan kemampuan) dan posisi (kedudukan dan peran) perempuan dalam pembangunan daerah. 2. Pusat Studi Wanita atau Pusat Studi Gender (PSW/PSG) di perguruan tinggi yang pembentukannya diprakarsai oleh Menteri Negara Peranan Wanita (Seakrang bernama Kementrian Pemberdayaan Perempuan) bersama-sama dengan sejumlah rektor perguruan tinggi negerim swasta dan IAIN pada Rapat Nasional Peningkatan Peranan Wanita dalam pembangunan bulan Januari 1990, dipandang perlu kebradaannya dalam upaya menyukseskan program pemerintahan dibidang pemberdayaan perempuan. 3. Keberadaan PSW/PSG di perguruan tinggi ditetapkan berdasarkan keputusan rektor/pimpinan perguruan tinggi. Pembinaan PSW/PSG dilakukan bersama-sama antara Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama dengan rektor/pimpinan perguruan tinggi agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, baik dalam aspek manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia, maupun penyediaan fasilitas dan program kegiatannya. 4. Dalam menjalankan tugasnya PSW/PSG dapat melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga donor guna meningkatkan kemampuan dan mendukung pelaksanaan program kegiatan, baik berskala nasional maupun daerah. 5. Rektor/pimpinan perguruan tinggi akan memberikan dukungan dan penyediaan sumber daya manusia, fasilitasi, dan sarana, sesuai kemampuan yang dimiliki. 6. Kementrian Pemberdayaan Perempuan akan melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada pemerintah daerah, agar PSW/PSG yang ada diwilayahnya diikutsertakan dan difasilitasi dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. 7. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan rektor/pimpinan perguruan tinggi menyarankan untuk menyelenggarakan rapat kooridnasi dan konsultasi minimal setiap tahun. Bagaimanapun juga pengimplementasian PUG oleh PSW tidak terlepas dari kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam terkait. Siapa saja yang ditugasi sebagai pimpinan puncak dari sebuah organisasi, maka mempunyai hak untuk mempengaruhi perilaku dari anggota organisasi. Setiap pemimpin mempunyai gaya khusus, karakteristik pola perilaku yang dimunculkan oleh pimpinan dalam pengambilan keputusan. Kepemimpinan sangat sulit didefinisikan secara tepat. Oleh sebab itu, banyak orang mencoba memperkenalkan definisinya sesuai fungsinya masing-masing. Kepimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan peran, dan tempatnya pada satu posisi administrasi (Yukl G 1994). Robert Schuller (Hatten dan Hatten 1988), mengatakan bahwa kepemimpinan sebagai kekuatan yang menyeleksi mimpi seseorang dan menyeleksi tujuan-tujuannya. Sedangkan menurut Rauch dan Behling (1984) dalam Indrianawati Usman (2003), kepemimpinan mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan. Selanjutnya menurut Afsaneh Nahavandi (2000) dalam Indrianawati Usman (2003), kepemimpinan adalah seseorang yang mempengaruhi individu-individu dan kelompok yang ada pada organisasi, membantu dalam menentukan tujuan-tujuan dan memandu pencapaian tujuan-tujuan mereka. Dalam teori organisasi dapat dipahami bagaimana organisasi dapat berproses, para anggotanya saling berinteraksi, dan tetap hidup dan berkembang. Proses organisasi tidak lepas dari peranan dan perilaku setiap anggotanya dalam berinteraksi. Dalam proses tersebut ada kemungkinan terjadinya kemenduaan peranan dan konflik, yang mau tidak mau akan melibatkan kelompok untuk dapat menyelesaikan konflik tersebut. Demikian juga, kita dapat memahami perilaku organisasi dari sudut pandang mikro dan makro, serta organisasi sebagai sistem dan sistem sosial. Suatu organiasi dalam era global mau tidak mau harus beradaptasi dengan era global tersebut yang tentunya penuh dengan perubahan yang cepat dan persaingan yang semakin tajam. Beberapa strategi yang harus dimainkan oleh organisasi agar tetap survive dan berkembang, bergantung kepada beberapa hal, antara lain perubahan yang harus dilakukan dalam lingkup internal dan eksternal, disain organisasi yang adaptif dan luwes menghadapi perubahan, termasuk bagaimana organisasi dapat beroperasi secara efektif dan efisien. Bagaimana cara memotivasi orang-orangnya, peningkatan mutu dan pelayanan kepada pemakai jasa. Perlu juga memperhatikan perkembangan teknologi dan komunikasi karena berkaitan dengan ketersediaan, keakuratan dan kecepatan memperoleh informasi. Selain itu juga memperhatikan sikap dan perilaku anggota organisasi dan keterkaitannya dengan kinerja. Kepuasan para anggota organisasi akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Dalam organisasi dan manajemen, ada beberapa faktor yang dapat menghantar keberhasilan seseorang mengarahkan kegiatan orang-orang yang dipimpinnya ke arah pencapaian tujuan organisasi secara efektif. Faktor tersebut terkait dengan gaya kepemimpinan seseorang, termasuk karakteristiknya dan karakteristik bawahan, serta terkait dengan bagaimana ia membawa organisasi yang dipimpinnya di dalam lingkup perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian. Menjalankan fungsi-fungsi tersebut merupakan pekerjaan manajer. Khusus berkenaan dengan fungsi actuating, kemampuan menggerakkan orang untuk mencapai tujuan organisasi, adalah kemampuan yang harus dimiliki pemimpin. Menurut Paul Hersey & Ken Blanchard (1988:3) – 3.4 UT, manajemen adalah ”proses kerja sama dengan dan melalui orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasi”. Harold Koontz dan Heinz Weihrich (1990:4) menyebutkan bahwa manajemen adalah ”.. the process of designing and maintaining an environtment in which individuals working together in groups, efficiently acoomplish selected aims…” orang yang bertugas mengelola proses organisasi dan tetap menjaga agar organisasi tempat orang-orang bekerja sama dalam kelompok dapat terselenggara secara efisien menuju pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dan oleh karena itu ia menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang disebut manajer. Upaya agar tugas-tugas tersebut berhasil, maka seorang manajer harus mampu menggerakkan orang lain. Kemampuan menggerakkan orang lain harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Melalui fungsi kepemimpinannya atau fungsi menggerakkan, maka seorang manajer mampu memanfaatkan potensi seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Disisi lain kepemimpinan adalah konsekuensi logis melaksanakan fungsi-fungsi manajemen. Kepemimpinan juga seni dalam proses mempengaruhi orang lain sedemikian rupa, sehingga orang lain tersebut akan dengan rela dan penuh semangat menuju ke arah pencapaian tujuan kelompoknya. (Koontz & Weihrich, 1990:344) Menurut Chester I Barnard fungsi utama pemimpin (eksekutif) adalah menciptakan komunikasi dan menekankan serta menggunakan komunikasi sebagai proses untuk memperoleh kerja sama dari seluruh anggota organisasi; membuat rumusan tentang tujuan organisasi dan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai organisasi sesuai dengan tujuannya, yang memberikan arti bahwa organsiasi adalah suatu sistem kegiatan yang kooperatif dan berorientasi pada tujuan organisasi dan tujuan bersama. Semenjak abad ke dua puluh satu keorganisasian di Perguruan Tinggi berkembang budaya organisasi yang digunakan untuk mengurangi suatu kegiatan yang tidak perlu. Kunci pokoknya adalah penjelasan antara budaya dengan gaya manajemen. Keberhasilan atau kegagalan dalam manajemen Perguruan Tinggi terletak pada kemampuan dari komite dalam meletakkan manajemen yang tepat. Pengertian Budaya Organisasi, mencakup budaya kekuatan, budaya peraturan, budaya tugas dan budaya masyarakat. Perubahan budaya di Perguruan Tinggi didasari oleh budaya yang mempunyai empat substansi yaitu kolektif, birokrasi, kerja sama lembaga (institusi). Perubahan budaya di Perguruan Tinggi tergantung dari apa yang mereka kerjakan. Konsep Budaya Organisasi sangat berguna untuk menemukan tujuan. Budaya pendidikan tinggi atau academy culture adalah berperan sebagai produser pengetahuan dan mengembangkan pengetahuan masyarakat apakah hasilnya dalam bentuk ilmiah atau melatih masyarakat secara ilmiah dengan kata lain university is a key knowledge-producing institution. Selain itu, budaya organisasi di universitas, keputusan diambil berdasarkan kolektif dan collegial dan didominasi oleh guru besar senior dan kelompoknya. Pada Pendidikan tinggi atau higher education (HE) ada dua jenis manajer yang berbeda pertama, ada yang menjalankan bagian akademik atau bagian utama mengajar, penelitian atau kombinasi keduanya. Kedua, yang menjalankan bagian pelayanan atau bagian esensial akademik misal, pendaftaran, perpustakaan, dukungan fisik seperti akomodasi gedung dan buruh dimana manajer bagian ini disebut administrator. Istilah Rektor sebagai pemimpin di universitas banyak digunakan di semua wilayah Eropa seperti di Italy, Jerman, Scandinavia, Belanda, Spanyol dan Skotlandia termasuk Indonesia adalah rektor atau dalam bahasa Inggris “the rector is the highest academic official of many universities” . Menurut hasil penelitian Catherine Bargh, Jean Bocock, Peter Scott dan David Smith yang dibukukan dengan judul University Leadership – The Role of the Chief Executive . Kultur organisasi pendidikan tinggi itu dibentuk oleh dialektika antara kelestarian, konservasi, tradisional yang dibentuk secara ilmiah dan otoritas intelektual (social). Dalam pandangan tradisional, tujuan didirikannya perguruan tinggi memiliki pandangan dasar yang menekankan pada dua aspek. Pertama, sebagai peran yang memprodusir pengetahuan (its role as a producer of knowledge). kedua, perguruan tinggi memainkan peran kepemimpinan dalam menstimulasi kemampuan pengetahuan (knowledgeability) melalui formasi elit, sosial dan teknikal. Dalam praktek selalu ada tekanan antara tujuan perguruan tinggi dan anti scientific (anti positivist). Hal ini menunjukkan bentuk dari perang kultur (culture wars) yang menyebabkan terjadinya perselisihan mengenai bagaimana perguruan tinggi harus ditata. Pendidik menekankan pada perguruan tinggi sedangkan peneliti pada jurusan (bagian). Peranan Rektor (Catharine Bargh, Jean Bocock, Peter Scott dan David Smith) adalah antara lain: penyusun renstra, memprakarsai proses dan bertanggung jawab akan kemajuan dan pelaksana setiap perubahan yang terjadi dilembaganya. Pemimpin di perguruan tinggi yang memiliki wawasan renstra sebagai bagian dari budaya managerial yang baru. Pendorong yang kuat terhadap kebutuhan dewan penyantun dan pertumbuhan dari budaya pasar di perguruan tinggi. Tugas rektor mengembangkan strategi kepemimpinannya, memiliki visi arah dan tujuan universitas, merencanakan pendidikan jangka menengah dan jangka panjang di universitas; membukakan kesempatan sebagian anggota dewan/struktur pemerintah masuk ke dalam dunia industri atau bisnis yang relevan dengan menata universitas. Seorang rektor hendaknya meyakini adanya pemisahan antara kepemimpinan akademik dan kepemimpinan pendidikan. Sebagai pemimpin, rektor juga menjadi penghubung antara kepala daerah dan para kolega akademik yang lebih senior. Seorang rektor sebagai pengambil keputusan yang penting, namun mampu berbeda suara pada setiap arahan strategi yang telah disusun dan/atau tetap memberikan pencerahan pada perkembangan-perkembangan baru. Dalam institusi kepemimpinan akademik merupakan mitra antara dekan fakultas dan rektor. Bahkan menjadikan kepemimpinan yang berbadan hukum. Gaya manajemen dan budaya, gaya masa kini dan budaya adalah suatu keanekaragaman dan bagaimana universitas menghubungkan antara misi akademik, penataan misi dan arah misi yang akan disebarkan. Gaya manajemen lebih mengarah pada kreatifitas individual dan tidak bergantung pada sistem kontrol atau sistem hirarki. Dalam hal ini rektor secara personal dapat menjadi simbol dari universitas namun tidak berjalan lama sehingga kebijakan misi dan tujuan akademik tidak berubah. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah para pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam terkait membuat kebijakan yang mengarah pada tujuan PUG. Akselerasi perubahan yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam yang disebabkan oleh PUG harus diperhatikan oleh pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam. Pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam dituntut untuk selalu merujuk kepada PUG dalam setiap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas berbagai kebijakan dan program secara umum di Perguruan Tinggi Agama Islam dan secara khusus di PSW.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian adalah suatu proses mencari sesuatu secara sistematis dalam waktu yang relatif lama dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan yang berlaku. Desain penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif ini merupakan single cross-sectional study, yaitu penelitian dilakukan hanya dengan mengukur contoh dari populasi pada satu waktu tertentu. Pendekatan metodologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian survei. Survei digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang populasi yang besar dengan menggunakan sampel yang relatif kecil. Populasi tersebut bisa berkenaan dengan orang, instansi, lembaga, organisasi, unit-unit kemasyarakatan dan lain-lain. Banyak orang percaya bahwa penelitian survei memiliki sifat paling ketat dan secara ilmiah paling bisa dipercaya. Seperti yang dikatakan oleh Diana Russel yang dikutip dalam “Feminist Methods in Social Research”, hal. 76. Peneliti melakukan eksplorasi data terkait dengan masalah yang diteliti. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang dikirim via e-mail, fax dan pos. 1. Variabel penelitian (1) Fasilitas kesekretariatan (2) Kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pemberdayaan PSW (3) Kegiatan yang dilakukan PSW Perguruan Tinggi Agama Islam dalam implementasi gender mainstreaming. 2. Sumber Data Penelitian menganalisis data primer yang bersumber dari dokumen PSW Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia dan persepsi pengurus PSW terkait. Berhubung besarnya populasi PSW di Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia (550 buah), sementara ada beberapa keterbatasan peneliti terutama dalam hal waktu, tenaga dan dana, maka dalam penelitian ini digunakan sampel sebanyak 40 PSW Perguruan Tinggi Agama Islam. Teknik penarikan sampel secara purposive sampling mencakup wilayah: • Jawa Timur dan sekitarnya • Jawa Tengah dan sekitarnya • Jawa Barat dan sekitarnya • Sumatera Barat & Selatan • Sumatera Utara dan sekitarnya • Kalimatan Selatan dan sekitarnya • Sulawesi dan sekitarnya 3. Instrumen Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Dalam penelitian ini, instrumen utama penelitian yaitu kuesioner (Lampiran 1). Instrumen yang digunakan berjenis non-test, yaitu instrumen sikap. Jenis instrumen ini tidak ada jawaban ”salah atau benar”, tetapi bersifat ”positif dan negatif” (Sugiyono 2005). 4. Analisis Data Data yang diperoleh dari kuesioner dimasukkan ke dalam komputer. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel, untuk melakukan analisis terhadap fasilitas kesekretariatan, kebijakan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pemberdayaan PSW, dan kegiatan yang dilakukan PSW Perguruan Tinggi Agama Islam dalam implementasi gender mainstreaming. Analisa data mengikuti urutan sebagai berikut: 1. Persiapan. 2. Tabulasi. 3. Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian.
DURASI DAN DANA Penelitian akan dilaksanakan selama 3 bulan. Adapun rincian dana yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: No Komponen Biaya (Rp) Keterangan 1. Gaji ( 50 %) 5 juta Pembuatan kuesioner, pengolahan data dan analisis data 2. Bahan (10 %) 1 Juta ATK dan penggandaan bahan 3. Seminar hasil proposal (10 %) 1 Juta Logistik dan konsumsi 4. Perjalanan ( 20 %) 2 Juta Penyebaran dan sosialisasi penelitian 5. Lain-lain (10 %) 1 Juta - BIAYA TOTAL 10 Juta -
DAFTAR RUJUKAN
Bargh, Catharine, Bocock, Jean, Scott, Peter & Smith, David. University Leadership- The Role of the Chief Executive. Buckingham: The Society for Research into Higher education & Open University Press. 2000. Creswell, John W. Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Terjemahan dari: Research Design, Quantitative and Qualitative Approaches. Jakarta: KIK Press. 2003. Depson, Sue & McNay, Ian. Organizational Culture. Dalam David Warner and David Palfreyman (Ed.) Higher Education Management – The Key elements. The Society for Research into Higher Education & Open Univetsity. 1996. Hatten, Kenneth J, dan Hatten, Mary Louise. Effective Strategic Management. Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1988. http://www.library.gunadarma.ac.id/files/disk1/2/jbptgunadarma-gdl-s1-2003-hendrakurn-72-bab3.pdf -. Diakses pada 14 Juni 2007. http://www.library.gunadarma.ac.id/files/disk1/3/jbptgunadarma-gdl-s2-2004-arivianipe-127-bab3.pdf -. Diakses pada 14 Juni 2007 http://www.wikipedia.org, di akses pada 14 Juni 2007 Reinharz, Shulamit. Feminist Methods in Social Research. New York: Oxford University. 1992. Sukamadinata, Nana S. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: remaja Rosdakarya. 2005. Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. 2005. Usman, Indrianawati. Materi Pokok Manajemen Strategik. Jakarta: Universitas Terbuka. 2003. Warner, David & Palfreyman, David (Ed). Higher education management – The Key Elements. Buckingham: The Society for Research into Higher Education & Open University.1996. Yukl, Gary A. Leadership in Organization. Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: Prenhalindo. 1994.
READ MORE...
Monday, July 16, 2007
PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
oleh: Aan Kharkanah,SHI Satu kata yang memiliki kekuatan bagi tolok ukur suatu bangsa atau umat; dinilai maju atau mundurnya peradaban dan keadaban masyarakat, PENDIDIKAN! Ketika mendengar kata pendidikan, mungkin segera terbersit dalam benak kita sebuah proses belajar mengajar mulai dari tingkat playgroup sampai pendidikan tinggi di universitas. Selain itu, kita juga sering mendengar perdebatan tentang kewajiban pemerintah untuk memberikan dukungan dalam menyelenggarakan suatu sistem pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara definitif, pendidikan dapat disamakan dengan alur kehidupan manusia. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar. Oleh karena itu, pendidikan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya (long life education) sejak lahir bahkan sejak awal hidup dalam kandungan hingga ajal. Seperti dalam hadis “Uthlubul ‘Ilma min al-Mahdi Ila al-Lahdi” tuntutlah ilmu dari buaianmu hingga akhir hayatmu. Dan patut diketahui pula bahwa pendidikan tidak diperuntukkan bagi laki-laki saja atau bagi perempuan saja, kedua makhluk yang sempurna dengan nalarnya ini memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan mengembangkan karakternya, “Thalabul ‘Ilmi Faridhatun ‘Alaa Kulli Muslimin wa Muslimatin” (HR Ibnu Majah). Inilah yang dimaksud dengan pendidikan dalam arti yang luas. Dalam pengertian sempit, pendidikan adalah sekolah atau persekolahan (schooling). Sekolah adalah lembaga pendidikan formal sebagai salah satu hasil rekayasa dari peradaban manusia untuk menyelenggarakan pendidikan, dan penciptaannya berkaitan erat dengan penguasaan bahasa tertulis dalam masyarakat, agar mereka (anak didik) mempunyai kemampuan sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka. Sedangkan menurut UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab I pasal 1 disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pada pasal 2 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. Pemahaman pendidikan sendiri tidak hanya terbatas pada peran institusi pendidikan formal semata, seperti jenjang sekolah hingga universitas. Atau lembaga nonformal dan lembaga informal. Lebih dari itu, bahwa nilai pendidikan saat ini dibutuhkan dimana-mana dan pada semua lingkup kehidupan manusia. Proses belajar mengajar tidak hanya didapatkan dari institusi yang tersebut di atas. Kita dapat belajar pada lingkungan, alam, atau sesama kita yang secara profesi berbeda dengan kita, bahkan anak kecil sekalipun, dan dari setiap subyek hukum yang memiliki akal budi. I. Pendidikan menurut pandangan Islam Pengetahuan dan peradaban dirancang oleh al-Qur’an adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama al-Qur’an menjelaskan dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, and Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya”(QS al-‘Alaq/96:1-5) Mengapa iqra’ merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian? Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya. Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga. Mengulang-ulang membaca ayat al-Qur’an menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang “membaca” alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat al-Qur’an yang kita baca dewasa ini tak sedikitpun berbeda dengan ayat al-Qur’an yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya serta limpahan kesejahteraanNya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung dalam iqra’ wa Rabbukal akram (bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah). Atas kemurahanNyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai. Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. “Membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban. A. Tujuan pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam. Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu: 1. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam. 2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya. 3. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT. Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu: 1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll. 2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll. Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya. B. Pendidikan adalah tanggung jawab negara Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda: اَلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim)
Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. Ayat wa tawashauw bil haq dalam QS al-‘Ashr (103):3 bukan saja mencanangkan “wajib belajar” tetapi juga “wajib mengajar”. Bukankah tawashauw berarti saling berpesan, saling mengajar, sedang al-Haq atau kebenaran adalah hasil pencarian ilmu? mencari kebaikan menghasilkan akhlak, mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan sekaligus mewarnai suatu peradaban. Dalam pendidikan Islam, tujuan umumnya adalah membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah atau sekurang-kurangnya mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhir manusia (al-Baqarah/2:30). Sedangkan tujuan utama khalifah adalah beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total kepadaNya (al-Dzariyat/51:56). II. Pendidikan di Indonesia Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemericik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh. Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu : Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraaan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan dan sebagainya. Undang-Undang Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah". Dan dalam pasal 3 dikatakan “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya". Pada satu sisi persoalan kewajiban negara menyiapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN atau sekitar Rp 100 triliun lebih merupakan sebuah jalan formal bagi terjaminnya sarana dan pra sarana pendidikan dalam skala nasional. Pemerintah telah mencoba meletakkan persoalan pendidikan sebagai prioritas. Lahirnya UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen sekarang ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melepaskan lilitan permasalahan pada bidang pendidikan (yang dalam kacamata pakar pendidikan masih pincang dan menuai pro-kontra), hanya saja persoalan yang mengiringinya sangat banyak dan tidak mudah dituntaskan. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo (Mantan Gubernur Lemhannas) berpendapat bahwa inti permasalahan pendidikan, adalah kepemimpinan bangsa, tingkat pusat maupun daerah, yang menyadari bahwa pendidikan adalah investasi utama satu bangsa. Tanpa pendidikan yang baik, masa depan bangsa akan celaka. Inilah yang sedang kita alami akibat masa lampau. Disamping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan luar sekolah bagi mereka yang tidak mampu atau tidak tertampung dalam jalur pendidikan formal. Menjadi sangat perlu untuk memberdayakan seluruh potensi anak bangsa melalui pendidikan. Pendidikan yang baik pada dasarnya dapat menjadi salah satu alat pemutus mata rantai kemiskinan. Dengan pendidikan, keadilan dapat ditegakkan, dan keadilan akses pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat adalah kunci utamanya. Kembali pada potensi manusia yang tidak bisa dibatasi oleh sistem pendidikan yang tersedia, perlu dikembangkan sebuah langkah kongkrit untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada siswa untuk memilih masa depannya. Tidak semua manusia Indonesia harus melalui perguruan tinggi untuk dapat mengawali karir dalam dunia pekerjaan. Telah terjadi salah kaprah dalam dunia pendidikan Indonesia, seolah-olah pendidikan formal yang tinggi menjadi tiket keberhasilan dalam dunia kerja. Rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini bisa jadi karena cara pandang masyarakat yang salah terhadap dunia pendidikan. Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap ijazah adalah sarana, sesuatu yang harus dikejar, tanpa memahami makna sebuah pendidikan. Saat ini sekolah dan kuliah hanya dilaksanakan sebatas kewajiban ritual pendidikan dari playgroup hingga universitas. Dan ironisnya para pengelola pendidikan negeri ini menangkap fenomena tersebut sebagai sebuah peluang bisnis sehingga terjadi komersialisasi pendidikan dan langsung berdampak pada nilai-nilai pendidikan, yaitu wajah pendidikan yang materialistik. Pendidikan melekat dalam kehidupan kita sehari-hari dan bukan hanya di bangku sekolah dan melulu soal prestasi. Pendidikan mencakup sebuah tanggung jawab yang sangat besar di pundak kita bersama untuk menyebarluaskan ketauladanan yang baik. Dibutuhkan kesadaran dari semua pihak untuk meluruskan sistem pendidikan di negeri ini, pemerintah, para penyelenggara pendidikan serta masyarakat. Pendidikan di Indonesia memang belum bangkrut, tetapi sedang menuju kebangkrutan jika tidak segera dibenahi! III. Pendidikan Islam Indonesia Tujuan pembangunan bangsa Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila, yaitu meliputi material dan spiritual. Untuk itu pendidikan keislaman di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan nasional, karena pendidikan keislaman disamping telah tercantum dalam GBHN sejak pelita I sampai VI juga telah berakar secara mendalam sejak masa pra penjajah. Departemen Agama yang memiliki kewenangan pada pendidikan pesantren, saat ini kurikulum pesantren harus memuat kurikulum nasional. Penggabungan kurikulum yang berbasis keagamaan dengan ilmu umum diharapkan mampu mencetak kader-kader muslim yang kaffah dan sanggup bersaing dalam arus globalisasi. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap “tantangan modernisasi”, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam. Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik. Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam. Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.” Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan. b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi. c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang. e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan. f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal. Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977: “Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.” Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN). Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan: “Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.” Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, peran orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita). Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang masa pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangan anak menuju usia dewasa. Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai-nilai moral, berbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam. Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamanya, untuk mengatur strategi yang tepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan – bukan malah mempersulit – segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Lembaga-lembaga Islam semacam pesantren perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembaga semacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintah di dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta huruf di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia. Di lain pihak lembaga-lembaga Islam tradisional semacam pesantren, khususnya pesantren salaf perlu melepaskan diri dari blue-print lamanya dan memodernisasi sistem dan metode pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melaju begitu pesat. Secara histories sejak awal berdirinya pada sekitar abad enam belas melewati masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi saat ini, pesatren salaf dikenal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan (Federspiel, 1995) dan pemerintahpun enggan mendekati pesantren kecuali saat-saat menjelang PEMILU. Di “Orde Reformasi” ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak. Dalam hal ini sikap arogansi kekuasaan di satu pihak dan rasa inferioritas di pihak lain, mutlak harus dihapuskan. Sementara itu sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda, para ilmuwan terbagi dalam dua kategori yaitu, (a) ilmuwan agama, yakni ilmuwan yang mengadakan pengkajian khusus berbagai disiplin ilmu agama dan (b) ilmuwan umum, yakni para pakar yang mengambil spesifikasi berbagai disiplin ilmu duniawi kontemporer. Para ilmuwan umum tentunya akan ‘menggarap’ ladang yang sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi keahlian mereka masing-masing sementara fungsi para ilmuwan agama di sini adalah (a) sebagai mediator antara aspirasi umat dengan para pakar iptek, (b) mengadakan hubungan yang proporsional dengan para pakar komunikasi massa dalam rangka memanfaatkan media massa, khususnya televisi dan internet, sebagai upaya unifikasi dan pengembangan umat dan (c) menyatukan paradigma para pakar iptek Muslim bahwa apa yang akan, sedang dan telah diperbuat selalu mengandung dua dimensi yaitu pengabdian kepada Allah (ibadah) dan untuk kebaikan serta rahmat seluruh umat manusia (Nawwab, 1979). Yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada Islamisasi iptek sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Faruqi di atas. Gambaran solusi Islami terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangan mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi (a) semakin menipisnya dikotomi antara – meminjam istilah Clifford Geertz – Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang terjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari ‘demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan. Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo.
Referensi: Aburrahman Saleh Abdullah, Teori-teori pendidikan berdasarkan al-Qur’an, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) Buletin Lsmart edisi IV, Juli 2007 http://www.duniaesai.com/pendidikan/index.html. http://alkhoirot.wordpress.com/2005/09/06/tantangan-pendidikan-islam-di-era-globalisasi/ http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/new/?p=121 http://www.ditpertais.net/artikel/gusdur01.asp Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 1996) Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001)
READ MORE...
Friday, July 13, 2007
AGENDA
Institut Ilmu Al-Qur'an 'Insya Allah akan mengadakan workshop RENSTRA yang dipandu oleh LPTQ Pemrov. DKI pada: Hari : Senin, 16 Juli 2007 Pukul: 09.00 - 16.00 Tempat: Gedung LPTQ DKI - Harmoni Peserta: Civitas Akademika IIQ (42 orang)
Selamat ber workshop dan semoga bermanfaat sehingga dapat merumuskan, menghasilkan strategi yang dapat dilaksanakan guna meningkatkan dan memajukan keberadaan Lembaga IIQ yang kita cintai. amin.
Rapat Senat akan diadakan pada: Hari: Selasa, tanggal 17 Juli 2007 Pukul: 09.30 - selesai peserta: Anggota Senat IIQ
Pertemuan Dosen tentative akan diadakan pada 5 Agustus 2007
READ MORE...
Wednesday, July 11, 2007
KESEHATAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
Oleh: Hilyatuzzahrah Islam merupakan agama yang diturunkan sebagai Rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu, Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan. Tuntunan tersebut dapat kita temukan pada Al-Qu’ran dan Hadits sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada umat manusia. Tuntunan mengenai kesehatan ini bersifat umum dan ditujukan bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan bangsa, suku maupun jenis kelamin. Karena pada dasarnya, semua manusia menginginkan kesehatan yang optimal bagi dirinya. Setiap laki-laki dan perempuan dari suku dan bangsa apapun pasti sepakat bahwa kesehatan lahir batin merupakan bentuk anugrah Allah yang terutama serta berhak dan wajib dipelihara. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai "ketahanan jasmaniah, ruhaniah dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya dan memelihara serta mengembangkannya." Islam sebagai rahmat bagi semesta alam tidak membedakan hak antara laki-laki dan perempuan dalam memelihara kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun sayangnya, ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam “mengebiri” dan meminggirkan hak-hak perempuan dalam bidang kesehatan. Pandangan ini jelas tidak tepat. Tulisan ini mencoba memaparkan hak-hak perempuan dalam bidang kesehatan menurut Al-Qur’an dan selanjutnya mencoba menawarkan sudut pandang baru mengenai hal tersebut. Setidaknya ada beberapa hal yang akan diangkat dalam tulisan ini, yaitu mengenai hak kesehatan perempuan secara fisik, mental maupun reproduksi. Yang terakhir disebutkan merupakan isu yang paling banyak dibahas dan dikaji dewasa ini.
KESEHATAN FISIK Dalam konteks kesehatan fisik, Nabi Muhammad Saw. bersabda: اِنّ لجسدك عليك حقّا . الحديث رواه البخاري Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu. Demikian beliau menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu. Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik dimulai dengan meletakkan prinsip: الوقاية خير من العلاج Pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan banyak petunjuk Al-Qur'an dan hadits Nabi Saw. yang lebih condong ke arah pencegahan penyakit. Contohnya pada ayat-ayat berikut ini: انّ الله يحب التّوّابين ويحبّ المتطهّرين Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertaubat dan senang kepada orang yang membersihkan diri. Menurut Quraish Syihab dalam bukunya, wawasan Al-Qur'an, tobat menghasilkan kesehatan mental. Sedangkan kebersihan lahiriah lebih lanjut menghasilkan kesehatan fisik dan merupakan upaya pencegahan terhadap penyakit. Mengenai perintah membersihkan diri ini juga dapat ditemui pada ayat lainnya: وثيابك فطهّر والرّجز فاهجر Dan pakaianmu bersihkanlah, dan segala macam kekotoran (perbuatan dosa) tinggalkanlah (QS Al-Muddatstsir [74]: 4-5). Tingkat kebersihan seseorang akan mencerminkan pribadinya. Bahkan dalam sebuah hadis yang amat populer dikatakan bahwa "Kebersihan adalah bagian dari iman". Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadits dha'if. Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut. Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Selain itu, ditemukan pula peringatan bahwa perut merupakan sumber penyakit: Al-ma'idat bait adda'. Sehingga banyak sekali tuntunan agama, baik dari Al-Qur'an maupun hadis Rasulullah Saw., yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya. Dalam Al-Qur'an kita dapat menemukan ayat yang artinya, "Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A'raf [7]: 31). Lebih lanjut Nabi Saw. menjelaskan peringatan itu dalam sabdanya: ما ملأ آدمى وعاء شرّ من بطن بحسب ابن آدم اكلات يقمن صلبه فان كان لا محائة فثلث لطعامه وثلث لشرابه وثلث لنفسه. رواه الترمذى Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra-putri Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra dam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya. Hujjatul Islam, Imam al-Gazhali berkata bahwa sesuatu yang paling berbahaya bagi anak Adam adalah syahwat perut. Karena syawat tersebut Adam dan Hawa' dikeluarkan dari sorga ke dalam alam yang penuh kehinaan dan kefakiran (dunia). Dan ternyata, perut merupakan gudang segala bentuk syahwat dan tempat bersemayamnya penyakit. (Muhammad 'Athiyah al-Abrasy, 2002: 102-103). Menurut al-Qaradhawi juga, ternyata jenis penyakit memang banyak datang dari perut manusia yang mereka penuhi dengan berbagai jenis makanan apa saja yang mereka senangi yang tidak pernah mereka beda-bedakan; apakah makanan tersebut baik atau tidak, halal atau haram. Dalam dunia kesehatan sendiri, para ahli kesehatan telah lama mengetahui bahwa kunci utama tubuh yang sehat terletak dari makanan. Hal ini mencakup pola makan yang sehat dan fungsi pencernaan yang bekerja maksimal. Logikanya begitu sederhana, pola makan yang sehat, baik dan seimbang akan membuat fungsi pencernaan bekerja secara maksimal. Jika fungsi pencernaan bekerja maksimal, dengan sendirinya penyerapan zat gizi akan berjalan lancar, dan pembuangan racun tubuh pun tidak terhambat. Hasilnya, pastilah tidak bisa lain adalah tubuh yang sehat. Terlalu banyak menyantap makanan sumber protein (hewani), pati, dan lemak mengakibatkan tubuh mengalami asidosis, yakni kondisi keasaman darah dan jaringan tubuh berlebihan. Asidosis dapat menimbulkan peradangan pada berbagai jaringan dalam tubuh, menyebabkan butir-butir darah melekat satu sama lain, atau terbentuknya jejaring serabut-serabut halus (fibrin) dalam darah. Jejaring serabut-serabut ini yang memberi kesan seolah-olah darah menjadi pekat. Serabut-serabut ini mengakibatkan peredaran sel-sel darah terganggu, sehingga pasokan zat makan dan oksigen ke sel-sel jaringan tubuh lainnya terhambat. Tubuh kita dikaruniai enzim-enzim yang diperlukan oleh berbagai fungsi metabolisme dalam tubuh dalam jumlah terbatas, termasuk proses pencernaan. Tubuh tidak akan menggunakan enzim-enzim ini apabila makanan yang kita makan masih memiliki enzim. Terus-menerus menggunakan enzim tubuh akan menghabiskan energi dan menyebabkan peradangan pada pankreas. Pankreas adalah organ vital yang memproduksi enzim-enzim pencernaan pada usus kecil. Gangguan pada pankreas menyebabkan pencernaan tidak lancar dan tubuh semakin banyak memproduksi ampas. Usus besar tidak memiliki kemampuan untuk mencerna makanan. Tubuh akan memadatkan makanan yang tidak tercerna ke sepanjang dinding usus halus. Secara alami proses ini akan mengundang pengeluaran lendir dari sistem kekebalan tubuh yang ada pada dinding-dinding usus. Kondisi ini akan mengakibatkan sembelit (sulit buang air besar) dan penyumbatan pada saluran usus besar. Setelah beberapa waktu, kotoran ini akan membusuk dan menghasilkan gas beracun. Gas lebih mudah terserap melalui pori-pori halus pada dinding usus, mengalir dalam darah dan masuk ke sel-sel tubuh dan sewaktu-waktu siap menimbulkan penyakit. Pembersihan besar-besaran alias detoksifikasi yang dilakukan secara berkala, perlu bagi tubuh kita. Selain untuk mengurangi ampas-ampas beracun dari dalam tubuh, tidak ada organisme pembawa penyakit atau virus yang tahan dalam tubuh yang bersih. Khusus untuk masalah pencernaan, Islam telah memberikan solusinya, baik dari segi pencegahan maupun pengobatan, yaitu puasa. Puasa merupakan terapi detoks paling tua dan sudah ratusan tahun dilakukan oleh manusia. Allah telah mewajibkan ibadah puasa kepada manusia pada bulan Ramadhan. Tidak mungkin Allah mewajibkannya pada bulan tersebut, kecuali mengandung rahasia-rahasia yang luar biasa, hikmah yang tinggi, ada yang sudah diketahui dan ada yang belum diketahui oleh manusia, sebagian dari hikmah dan rahasia tersebut telah diketahui oleh para ilmuwan sejalan dengan kemajuan zaman (Dr. Yusuf al-Qaradhawi, 1995: 288). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa tiga ratus orang telah terhindar dari penyakit diabetes karena menjalani proses pengobatan dengan berpuasa. Maka, benarlah apa yang telah diproklamirkan oleh Rasulullah saw. bahwa berpuasa dapat menyehatkan badan (Shumu Tashihhu; Puasalah niscaya kamu akan sehat (HR. al-Thabrani, Sanad para perawinya adalah tsiqat sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab "al-Targhib, karya al-Mundziri)) [al-Qaradhawi, Ibid., 290]. Dasar pemikiran semua ini dari segi kesehatan mesti dilihat dari prinsip detoksifikasi. Detoksifikasi (detoks) adalah proses pengeluaran racun atau zat-zat yang bersifat racun dari dalam tubuh. Puasa merupakan salah satu metode efektif detoksifikasi. Pembersihan dan detoks meningkatkan proses alamiah pengeluaran toksin dari dalam tubuh kita. Organ vital yang menjadi target dalam program pembersihan racun yang efektif adalah usus besar (pengeluaran) dan liver (detoksifikasi). Hampir semua penyakit degeneratif dapat dihubungkan dengan kondisi keracunan dalam saluran usus (intestinal toxemia). Karena setiap jaringan dalam tubuh mendapatkan makanan dari darah, dan darah mendapatkannya dari usus. Setiap zat yang masuk ke dalam tubuh kita akan terserap ke dalam darah melalui dinding-dinding usus. Artinya, toksin yang berada usus juga akan ikut beredar bersama aliran darah sampai ke sel-sel di seluruh penjuru tubuh kita. Toksin-toksin inilah yang menyumbangkan terjadinya berbagai kondisi penyakit kronis, akut, dan degeneratif. Begitu juga menurunnya tingkat energi dan penuaan dini. Selain memberikan solusi berupa tuntunan berpuasa, Islam juga memerintahkan untuk berobat pada saat ditimpa penyakit. Hal ini diisyaratkan dalam sebuah hadits Rasulullah riwayat Abu Daud dan At-Tirmidzi dari sahabat Usamah bin Syuraik yang artinya, "Berobatlah, karena tiada suatu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan". Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadits tentang keharusan berobat, maka prinsip-prinsip pokok yang diangkat dari Al-Qur'an dan hadits cukup dijadikan dasar untuk upaya pengobatan dan kesehatan. Selain itu, dari beberapa prinsip pokok tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam bertujuan memelihara agama, akal, jiwa, kesehatan dan harta benda seluruh umat manusia. Islam sangat menghormati hak-hak asasi manusia, yang merupakan anugrah Allah, tanpa membedakan suku, bangsa, ras dan jenis kelamin. Dari penjabaran ayat-ayat di atas, tidak ada satu ayatpun ditemukan yang membedakan hak dan kewajiban memelihara kesehatan fisik antara laki-laki dan perempuan.
KESEHATAN MENTAL Al-Qur'an banyak berbicara tentang penyakit mental. Mereka yang lemah iman dinilai oleh Al-Qur'an sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya. Islam memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak (kandungan Alquran, Surat Attahrim:6). Rasulullah saw. dalam salah satu hadisnya bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tauhiidulllah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi" (H.R. Bukhari & Muslim, dalam Panitia Mudzakarah Ulama, 1988). Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran Islam pada saat bayi berada di dalam kandungan. Karena para psikolog berpendapat bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat pembuahan. Mengenai hal ini, telah diisyaratkan dalam hadis-hadis nabi, jauh sebelum hal ini menjadi bahan penelitian oleh para psikolog. Dalam suatu hadis Rasulullah Saw. diceritakan tentang seorang anak yang sedang digendong oleh beliau, kemudian pipis dan membasahi pakaian beliau. Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Kemudian Rasulullah menegurnya, مهلا بأم الفضل إن هذه الاراقة الماء بطهرها فاى شىء يزيل هذا الغبار عن قلبه Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)? Seperti diungkapkan oleh beberapa psikolog, sebagian kompleks kejiawaan yang diderita oleh orang dewasa dapat diketahui penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa, khususnya dari lingkungan keluarga dan orang tuanya. Penyakit kejiawaan ini, menurut Al-Qur'an dapat mencakup banyak hal, beraneka ragam dan bertingkat-tingkat, serta dapat menimpa hati maupun akal. Sikap angkuh, dendam, benci fanatisme, loba dan kikir merupakan contoh penyakit kejiwaan yang disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah bentuk kekurangannya. Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam surat As-Syu'ara': 88-89 يوم لا ينفع مال ولا بنون. إلاّ من أتى الله بقلب سليم Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat. Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari segala macam penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Allah Swt., karena: الا بذكر الله ثطمئنّ القلوب. [الرّعد: ٢٨] Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah lah, jiwa akan menjadi tenang. Dalam hal ini, orang tua, baik ibu maupun bapak memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kesehatan mental anak. Peranan orang tua dalam mendidik dan membimbing anak ini tidak dibeda-bedakan antara bapak (sebagai laki-laki) dan ibu (sebagai perempuan). Keduanya memiliki porsi peran dan tanggung jawab yang sama besar terhadap perkembangan kesehatan mental anak. Dari kedua belah pihak orang tua, anak akan belajar pengetahuan yang lebih beragam dan pengalaman yang lebih kaya jika dibandingkan dengan pengasuhan oleh satu pihak orang tua saja. Perawatan oleh keduanya yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya, yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Melalui perawatan, dan perlakuan yang baik dari orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-biologis, maupun sosiopsikologisnya. Berkenaan dengan peran orang tua, baik ibu maupun bapak, dalam mendidik anak, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ikhtisar Ihya Ulumuddin terjemahan Mochtar Rasidi dan Mochtar Yahya (1966:189) mengemukakan bahwa anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata, baik atau buruknya perkembangan anak, amat bergantung kepada baik atau buruknya pembiasaan yang diberikan kepadanya. Orang tua mempunyai peranan penting karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry). Orang tua juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial budaya anak (Hurlock, 1956; dan Pervin, 1970). Pengokohan penerapan nilai-nilai Islam oleh orang tua dalam keluarga merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kondisi atau tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera. Namun sebaliknya, apabila terjadi pengikisan atau erosi nilai-nilai Islam dalam keluarga, atau juga dalam masyarakat, maka akan timbul malapetaka kehidupan yang dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk menciptakan keluarga sebagai lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mental yang sehat, suasana sosiopsikologis keluarga yang bahagia, khususnya perkembangan karakteristik pribadi anak yang saleh, agama Islam telah memberikan petunjuk atau rambu-rambu, yang di antaranya adalah sebagai berikut. (1) Membangun keluarga melalui pernikahan yang sah berdasarkan syariat atau ketentuan agama. (2) Pernikahan hendaknya didasarkan kepada niat beribadah kepada Allah. Dengan demikian, suami-istri, ibu-bapak dan anak adalah mitra dalam beribadah kepada Allah. 3) Pada saat berhubungan suami-istri, hendaknya berdoa kepada Allah agar diberi anak yang terhindar dari godaan setan. Doa yang diajarkan Rasulullah adalah Bismillaahirrahmaanirrahiim, Allahumma jannibnasysyaithana, wajannibisysyaithana mimmaa razaqtanaa (dengan nama Allah, ya Allah jauhkan kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari rezeki/anak yang Engkau berikan kepada kami). (4) Memperbanyak doa, Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrota 'ayun waj'alnaa lilmuttaqiina imaamaa (Ya Allah Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami (suami/istri) dan keturunan kami yang membahagiakan mata hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa). (5) Pada saat istri mengandung, hendaknya melakukan beberapa amalan ibadah. Hal ini berlaku tidak hanya untuk pihak yang mengandung saja (perempuan), tetapi pihak laki-laki (suami) juga wajib mengamalkannya. 6) Menciptakan pola pergaulan yang ma'ruf (baik atau harmonis) antara suami-istri, atau orang tua-anak. Insya Allah, dengan mengamalkan nilai-nilai Islam dalam pola hubungan keluarga, akan tercipta generasi-generasi yang sehat secara mental dan bebas dari penyakit-penyakit kejiwaan.
KESEHATAN REPRODUKSI Islam memberikan hak-hak reproduksi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan tradisi jahiliyah di kawasan Timur-Tengah yang seolah-olah menganggap reproduksi sebagai domain laki-laki, dengan kata lain segala yang berkaitan dengan hal tersebut ditentukan oleh mereka. Perempuan tidak mempunyai hak apapun, bahkan hanya menjadi objek pemuas nafsu laki-laki. Perempuan yang cantik dipaksa melacurkan diri. Ketika suami mereka meninggal dunia, tidak mendapatkan hak waris, malah dapat diwarisi oleh anaknya. Banyak model pernikahan yang menjadi budaya Arab jahiliyah yang menunjukkan betapa rendahnya martabat perempuan di mata bangsa Arab pada waktu itu. Mitologi perempuan di kawasan ini sebelum kedatangan Islam mempersepsikan perempuan tidak layak sejajar dengan laki-laki. Hak-hak reproduksi adalah hak-hak prerogatif laki-laki. Konsekuensinya, sudah sepatutnya menjadi kewajiban suci perempuan untuk melayani hak-hak laki-laki tersebut. Selanjutnya, Al-Qur'an diturunkan dengan salah satu misi utama li raf'i darajat an-nisa' (untuk meninggikan derajat perempuan). Perempuan di dalam Al-Qur'an mendapat perhatian sangat istimewa, suatu perhatian yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain perempuan. Banyak sekali surat di dalam Al-Qur'an yang berbicara tentang hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan, antara lain al-Baqarah, an-Nisa', al-Maidah, an-Nur, ath-Thalaq, al-Ahzab, al-Mujadalah, al-Mumtahanah dan at-Tahrim. "Di antara kebudayaan dan peradaban dunia yang hidup pada masa turunnya Al-Qur'an, seperti Yunani, Romawi, Yahudi, Persia, Cina, India, Cina, Kristen dan Arab (pra-Islam), tidak ada satu pun yang menempatkan perempuan lebih terhormat dan bermartabat daripada nilai-nilai yang diperkenalkan di dalam Al-Qur'an", demikian ditegaskan Yvonne Yazbeck Haddad. Ketika Islam datang dan Al-Qur'an diwahyukan, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan sejati. Urusan reproduksi berangsur-angsur menjadi hak bersama antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki tidak lagi dapat seenaknya memilih pasangan dan menentukan jodoh, karena dibatasi oleh konsep keserasian dan keselarasan (kafa'ah). Laki-laki juga tidak boleh seenaknya mengawini perempuan tanpa batas, tetapi dibatasi sampai empat orang, itupun setelah memenuhi kriteria yang amat ketat. Sebaliknya perempuan juga mempunyai hak untuk menerima atau menolak calon yang diajukan kepadanya. Selain itu perempuan juga dapat melamar calon yang dianggap cocok untuknya, seperti yang telah dicontohkan oleh Khadijah istri Rasulullah. Hak-hak seksual tidak lagi merupakan hak utama laki-laki, tetapi perempuan juga diberikan hak "meminta" atau "menolak" sesuai dengan kondisi obyektif fisik perempuan. Setidaknya, keseimbangan hak-hak reproduksi laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam beberapa konsep hukun kekeluargaan (al-akhwal al-syakhsiyah) berikut ini: 1. Memilih Jodoh. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, memilih jodoh bukan lagi hak istimewa kaum laki-laki, terutama yang dikenal sebagai hak ijbari ayah. Anak perempuan berhak memberikan pandangan dan pendapat yang berbeda dengan pilihan ayahnya. Selanjutnya, dia dapat menerima ataupun menolak yang diajukan oleh ayahnya dan dapat menerima atau menolak pinangan laki-laki yang dianggap tidak cocok. Perempuan bahkan boleh mengajukan maupun melamar calon yang dianggap baik untuknya. 2. Menentukan perkawinan. Menentukan perkawinan tidak hanya menjadi kewenangan laki-laki, termasuk wali mujbir, tetapi perempuan juga berhak menentukan perkawinannya sendiri. Misalnya dalam hal kapan dan dengan siapa dia akan menikah. Sebab hal ini akan sangat terkait dengan persiapan lahir dan batin, dan yang lebih mengetahui hal itu adalah dirinya sendiri. Meskipun dikenal hak ijbar, tetapi mendengar persetujuan anak gadis tetap dianjurkan oleh Rasulullah, "Perempuan janda lebih berhak atas dirinya dibanding ayahnya, sedangkan anak gadis harus didengar persetujuannya dan diamnya itulah persetujuannya". 3. Menikmati hubungan seksual Kenikmatan seksual tidak hanya untuk kaum laki-laki dengan anggapan bahwa perempuan/istri hanya untuk melayani keinginan seksual laki-laki/suami. Seks bagi eorang perempuan tidak hanya sebuah kewajiban, tetapi perempuan berhak memperoleh kenikmatan di dalamnya atau menolak ketika dia tidak siap untuk berhubungan. Karena itu, Al-Qur'an menganjurkan untuk melakukan hubungan seks dengan cara yang ma'ruf. "Dan pergaulilah istrimu dengan cara yang ma'ruf (QS. An-Nisa: 19). Selanjutnya Al-Qur'an menerangkan fungsi suami-istri satu sama lain dalam ayat yang artinya, "Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka". 4. Menikmati standar kesehatan seksual dan reproduksi Sebagai pengemban fungsi dan peran reproduksi, sepantasnya perempuan mendapatkan jaminan kesehatan seksual dan reproduksi mengingat resiko yang harus diterimanya, bahkan bisa menyebabkan terjadinya kematian. Kesehatan reproduksi yang dimaksud mencakup kesehatan fisik, mental dan sosial. Dengan kata lain mencakup seluruh fase kehidupan wanita. Al-Qur'an secara tegas melarang laki-laki menggauli istrinya dalam keadaan menstruasi, "Dan janganlah kamu mendekati mereka (melakukan hubungan suami-istri) sebelum mereka suci" (Al-Baqarah:222). 5. Memiliki keturunan Anak adalah tanggung jawab bersama suami dan istri. Maka menentukan apakah sebuah pasangan akan mempunyai anak atau tidak (dengan melakukan rekayasa reproduksi) tidak bisa hanya diputuskan oleh satu pihak (biasanya kaum laki-laki), tetapi perempuan berhak meminta atau menolak untuk memiliki keturunan. Apalagi, untuk memiliki keturunan pasti melibatkan partisipasi kedua belah pihak. 6. Menentukan jarak dan waktu kehamilan Kehamilan sampai melahirkan adalah rangkaian proses reproduksi yang sangat berat yang harus dipikul oleh perempuan. Karena itu, perempuan berhak menentukan jarak dan waktu kehamilannya demi alasan kesehatan fisik maupun mental ibu dan anak yang dikandungnya. Jarak kehamilan yang terlalu dekat bukan saja berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik seorang ibu, tetapi juga berpengaruh pada anak yang tidak mendapatkan pengasuhan yang memadai dari orang tuanya. 7. Menetukan tata cara mengatur reproduksi Pengaturan reproduksi, khususnya penggunaan alat kontrasepsi, lebih banyak dibebankan kepada kaum perempuan/istri, bahkan terkadang mengabaikan apakah alat kontrasepsi tersebut cocok atau tidak bagi perempuan yang bersangkutan. Karena itu, perempuan juga berhak menentukan jenis dan alat kontrasepsi yang cocok bagi dirinya. Jika ternyata tidak ada yang cocok bagi dirinya ataupun membahayakan kesehatan dan keselamatannya, maka alat kontrasepsi itu sebaiknya diterapkan pada suaminya. Masdar F. Mas'udi dalam Nasarudin Umar mengkategorikan hak-hak kaum perempuan sebagai pengemban fungsi reproduksi menjadi tiga hal, yaitu hak jaminan keselamatan dan kesehatan, hak jaminan kesejahteraan dan hak ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan, khususnya yang berkaitan dengan reproduksi. Hak jaminan keselamatan dan kesehatan ini mutlak diperlukan mengingat resiko sangat besar yang dapat terjadi pada perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi reproduksinya, mulai dari menstruasi, berhubungan suami-istri, mengandung, melahirkan sampai menyusui. Hak jaminan kesejahteraan diperlukan bukan hanya selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan dan menyusui) berlangsung, tapi juga di luar masa-masa itu dalam statusnya sebagai istri dan ibu, seperti yang disebutkan Al-Quran, "Di atas pundak ayah terletak tanggung jawab memberikan nafkah dan perlindungan bagi ibu anak-anaknya secara ma'ruf" (Al-Baqarah:233). Sedangkan hak ketiga dapat dipahami dari "jatah" fungsi perempuan yang lebih besar dibandingkan kaum laki-laki. Selain itu juga dapat dipahami dari tuntunan Al-Qur'an tentang bagaimana suatu keputusan yang menyangkut pihak-pihak terkait dalam lingkup apapun harus diambil secara musyawarah, "Urusan mereka haruslah dimusyawarahkan (dibicarakan dan diambil keputusan) di antara mereka" (As-Syura': 38). Kemaslahatan merupakan prinsip utama syari'at Islam. Begitu pula dalam pengelolaan hak-hak reproduksi antara laki-laki dan perempuan, khususnya yang menyangkut kesehatan reproduksi. Dalam hal ini kemaslahatan juga harus menjadi prinsip utama. Yaitu sebuah kondisi yang memastikan adanya jaminan kesehatan reproduksi dari semua segi, baik untuk suami maupun istri.
PENUTUP Islam memandang semua manusia pada derajat yang sama, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada perbedaan, ditentukan oleh kualitas ketakwaannya. Batas-batas sosial seperti suku, bahasa, ataupun jenis kelamin tidak bisa dijadikan ukuran untuk menentukan seseorang menjadi lebih baik dan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang lain. Allah menegaskan hal tersebut dalam firmannya, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian" (Al-Hujurat:13). Dengan demikian, laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak dan kewajiban dalam bidang kesehatan, baik secara mental maupun fisik. Termasuk dalam kategori fisik adalah kesehatan reproduksi. Sangat tidak diharapkan terjadinya dominasi satu pihak atas pihak lain dalam menentukan segala keputusan yang terkait hak-hak tersebut. Sebaliknya, semoga dengan adanya kesetaraan hak-hak kesehatan antara laki-laki dan perempuan dapat membawa perbaikan kualitas kehidupan di Indonesia. Amin.
READ MORE...
|